Tuesday, October 2, 2012

PARLOW

Buku Narasi Kapten David Woodarddan Empat Awak Kapal (1793), yang ditulis oleh William Vaughn (1804)


MINGGU ini dan setiap tanggal 27 September, umur kota ini bertambah. Umur yang sama dengan umur saya: tiga puluh empat tahun.

Kalau kota-kota besar lain mulai susah berlari karena sesak akibat pertambahan penduduk dan wilayah yang semakin sempit, Palu dalam analogi itu malah sebaliknya. Pertambahan penduduk meningkat dari hari ke hari. Kost menjadi fenomena baru kota. Lalu lintas manusia dan barang mulai terlihat. Buat saya, identifikasi sebuah kota menjadi sebenar-benarnya kota adalah ketika semakin sulitnya kita bertemu dengan kenalan di ruang-ruang publik. Banyak orang baru yang membuat kata dinamika menemukan tempatnya.

Ruang di wilayah sabuk (green belt) di timur dan barat kota masih banyak yang kosong. Di beberapa titik di kekosongan itu rumah-rumah baru yang dibangun seragam mulai nampak mengisi kekosongan. Bisnis pemukiman menjadi komoditi baru bagi Palu. Pun di tengah kota yang mulai tak asing dengan gaya klaster, yang eksklusif, dan menegaskan esklusifitasnya melalui tembok-tembok pembatas.

Di beberapa ruas jalan di tengah kota, pada jam-jam tertentu kemacetan mulai menjadi kebiasaan baru. Kendaraan baru dari berbagai merek keluar ke jalan dalam hitungan puluhan, mungkin bahkan ratusan, dalam hitungan hari. Di beberapa titik di ruas kesibukan itu, waktu terasa berdenyut 24 jam.

Kepala kita mulai belajar mendongak ke atas. Bangunan kantor, hotel-hotel, tempat hiburan yang sebagian besar bisnis waralaba tumbuh menjulang memanfaatkan ruang. Daftar bisnis waralaba itu sekarang menunggu antrian melihat ceruk pasar yang memungkinkan bisnis dijalankan. Ada yang agak tidak biasa bagi Palu  di umurnya yang masuk tiga puluh empat tahun itu.

Sama seperti kita, yang selalu punya resolusi, cita-cita ketika ulangtahun tiba. Palu pun demikian. Dalam cita-cita itu, masyarakat tumbuh berkembang dalam kesehariannya. Ada kekhawatiran di sana, beberapa kelompok dari masyarakat itu, ketinggalan dan meningkatkan kapasitas masyarakat menjadi kebutuhan. Negara melalui agennya, pemerintah daerah punya kewajiban untuk memastikan tak ada yang ketinggalan dalam proses kota yang sedang bergegas itu.

Saya membayangkan umur kota-kota memang seperti manusia. Beberapa kota setanah air malah ada yang sudah berumur ratusan tahun. Kota-kota dengan umur uzur itu bagi saya telah mengalami regenerasi, sebagaimana sekumpulan manusia yang tinggal di dalamnya, yang membentuknya, sebagai warga kota.

Interaksi manusia di Palu yang penamaannya berasal dari nama lokal untuk bambu ini, dalam catatan sejarah sebenarnya sudah sangat panjang. Di catatan harian pelaut David Woodard yang disunting oleh William Vaughn, The Narrative of Captain David Woodard (1793), tercatat sebuah nama: Parlow, yang berarti Palu, nama tempat yang oleh Woodard, dilisankan orang-orang yang berinteraksi dengannya saat itu. Agak mundur ke belakang, pada 1603, seorang datuk dari tanah Minangkabau datang untuk siar Islam. Abdullah Raqie, yang gelar datuknya dalam penyebutan lokal kemudian menjadi Dato, lengkapnya Dato Karama. Dalam proses dakwah itu, interaksi tentu saja terjadi dan membentuk kebiasaan-kebiasaan baru khas kota, ketika ada interaksi antara yang lahir dan tinggal di situ dan yang datang.

Umumnya umur kota ditandai oleh peristiwa-peristiwa administratif, dan bukan penanda historis. Pengertian ini membuat imajinasi kota dibangun oleh negara dan bukan komunitas masyarakat yang tinggal dan beranak pinak di kota itu. Tapi karena kesepakatan berkota terasa lebih mudah dicapai dengan cara yang seperti itu.

Untuk menyebut beberapa contoh, Bandung menetapkan waktu kelahirannya dengan pendekatan historis, ketika Daendels menancap patok untuk pembukaan jalan raya pos (Groote Postweg Anyer-Panarukan sepanjang kurang lebih 1000 km) di Bandung  –sekarang jalan Asia Afrika, titik nol kota itu pada 25 September 1810. Makassar, tetangga Palu menetapkan peristiwa historis yang jika ditilik, kurang lebih sama dengan Palu, ketika Gowa menerima kali pertama Islam masuk ke sana pada 9 Nopember 1607, beda empat tahun lebih lama ketika Datokarama tiba di Palu pada 1603.   

Kota-kota di Indonesia dibentuk oleh kolonisasi dan sejarah pergolakan politik nasional. Ketika Pelabuhan Donggala masih sibuk, dunia luar lebih mengenalnya sebagai urban, dan Palu adalah suburbannya. Pelabuhan, pasar tradisional, adalah penanda penting terbentuknya lokus yang dinamai kota, sejak dulu kala. Begitu pula halnya secara administrasi. Ketika kekuasaan kolonial berpusat di Batavia (Jakarta), yang kemudian membentuk pola ajeg hingga sekarang ketika Jakarta menjadi ibukota negara, dan daerah-daerah diluar itu didefinisikan dari sana oleh dua hal: secara vertikal oleh pemerintahan kolonial (negara) dan pasar (interaksi masyakarat) yang horisontal. 

Dinamika modernisasi kota selanjutnya ditentukan oleh interaksi antara negara dan pasar.  Sejarah juga menunjukkan demikian. Sebuah fiksi bagus yang menggambarkan terbentuknya sebuah kota adalah film Gangs of New York (Martin Scorsese, 2002) megapolitan yang terbentuk oleh pertentangan kelas dan ras.
    
Negosiasi itu sekarang mengarah ke pilihan-pilihan, kota akan berorientasi pada kepentingan publik atau privat. Kita suka luput, di kota-kota dari negeri yang kita anggap sangat kapitalis, misalnya, yang diktum privat adalah segalanya dan peran negara perlahan lenyap, ruang kota malah berorientasi publik, ruang publik ramah bagi siapa saja termasuk buat kelompok rentan: orang tua, anak-anak, dan yang cacat fisik (disable). Mulai dari taman, pedestrian, angkutan massal, hingga toilet. 

Mungkin masih dini bicarakan soal-soal di atas dalam hal Palu. Beberapa yang dirasa mendesak adalah mental berkota misalnya untuk hal mudah tapi susah: memperlakukan sampah, misalnya, untuk menyebut salah satu dari sekian persoalan berkota.

Akhirnya selamat hari ulang tahun Palu, yang selalu saya tulis di depannya kata “kota” dalam huruf K besar (kapital) sebagai penegas, tapi kali ini tidak. Sebelumnya kata kota itu administratif dan lahir di alam bawah sadar saya sebagai warga yang mencintai kotanya. Sekarang saya tak merasa perlu menuliskannya karena saya merasa kita sudah jadi kota dalam pengertian yang sesungguhnya, bukan? 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..