Tuesday, July 17, 2012

MICE


Landskap Jalan Emi Saelan yang saya foto dari
gerai bakso Senayan di Mall Tatura Palu 
 KOTA-kota memang menjadi begitu identik dengan jasa sebagai penggerak utama ekonominya. Penamaan yang lebih khusus atas pengertian jasa itu sekarang disebut MICE, singkatan dari Meeting, Incentive, Convention, Exhibition atau Expo.

Kota-kota dibenahi, berkompetisi menjadi kota MICE. Ruang-ruang publik dibedaki mulai dari jalan-jalan termasuk penerangannya, khususnya yang protokol sebagai jalan utama, juga taman-taman. Seiring dengan itu, investasi di sektor transportasi dan akomodasi ditingkatkan, mulai dari fasilitas bandara, pelabuhan, moda angkutan publik, hingga hotel-hotel berbintang. Juga bisnis hiburan dan kuliner dari yang waralaba hingga yang khas lokal.

Prasyarat kota MICE di atas akan dipengaruhi faktor lainnya: situasi nyaman dan ramahnya kota, sosial budaya dan sejarahnya, terlebih jika sebuah kota memiliki perbedaan unik karena faktor alam: punya laut, sungai, danau, bukit, gunung, pulau, dst.

Syarat lain yang tak kalah pentingnya tentu saja fungsi relasi kota itu ke luar, ke banyak kepentingan: investor, media massa, institusi-insitusi profesi, agensi. Di ranah formal pemerintahan, kota-kota merasa berkepentingan dengan kebijakan Jakarta, karena misalnya sebuah kegiatan berskala nasional bahkan internasional diputuskan dari level kementerian yang berada di ibukota negara itu. Inisiatif kadang lahir dari acara-acara dan promosi yang diselenggarakan individu, masyarakat atau komunitas di beberapa kota untuk mengundang banyak jejaringnya di luar kota.

Dan kita sebut saja tamu yang datang ke sebuah kota karena MICE itu adalah pelancong atau turis, karena niat tamu MICE ini sebenarnya wisata, melancong, melakukan perjalanan.

Yang seolah dapat langsung terbaca dari gambaran di atas adalah tamu-tamu yang membawa uang dari kota tempat mereka tinggal ke kota yang mereka kunjungi. Sejak tiba, saat kaki tamu menjejak di bandara sebuah kota dan membayar buruh angkut dan memesan taksi, misalnya, hingga ketika akan pulang saat membayar pajak bandara kota itu adalah belanja. Sepanjang hari selama di kota itu tamu-tamu belanja. Ada yang masuk ke saku warga kota, ada yang masuk ke saku kota itu, karena sebagian besar item belanja para tamu ada pajaknya. Paling minim buat tamu yang tak boros seperti saya, mengabarkan kota-kota unik yang berkesan juga punya nilai tambah.

MICE harusnya menjadi nilai tambah bagi kota dan penghuninya. Fasilitas publik dari pendapatan kota atas MICE jadi banyak dan bermutu, pendapatan sektor riil karena MICE meningkat.

Sebagai warga Kota Palu yang sedang berada di Kota Manado di minggu terakhir di bulan Mei 2012, saya merasakan gambaran-gambaran di atas. Belum lama lewat kementerian komunikasi dan informasi merayakan acaranya di Manado. Di waktu yang bersamaan, kota itu sibuk dengan banyak kegiatan MICE. 96 kota dari seluruh Indonesia kumpul untuk pameran. Belum lagi pemerintah-pemerintah kabupaten dan sebuah kegiatan cabang olahraga bertaraf nasional.

Belum juga 2012 lewat, persiapan acara nasional lainnya yang akan digelar pada tahun depan sudah disosialisasikan.

Pada akhir bulan Mei ini hunian hotel di Manado meningkat tajam, jalanan terlihat sibuk dengan penjemputan protokoler. Dari pagi hingga pagi lagi pesawat dari macam-macam maskapai penerbangan melintas di langit Manado. Kapal USNS Mercy dari Amerika Serikat merapat di teluk (31/5) untuk sebuah acara internasional. Di sudut-sudut kota, spanduk, baliho, billboard, dan media sosialisasi lainnya dipampang memberi sambutan. Warga kota Manado seolah menyatu dengan kebiasan baru kota mereka sejak World Ocean Conference dan Sail Bunaken pada 2009 lalu sebagai kota MICE.

Ah, tak tahu apa lagi yang harus saya tuliskan untuk mengakhiri kolom saya ini. Entah kenapa, mungkin karena MICE, saya jadi tiba-tiba mengingat visi kota tempat saya tinggal, sambil merindukan kota saya itu dari sebuah kamar hotel.


Landskap Kota Manado yang saya foto dari lantai 6 hotel Swisbel. Tampak di
kejauhan pulau Manado Tua

POLITISI


SEORANG kawan mengirimkan statusnya yang terbaru melalui Facebook. Status yang isinya pertanyaan, apa sebenarnya tupoksi politisi? 

Saya tak tahu dan juga sebenarnya tak mau tahu, maksud dibalik pertanyaan kawan saya itu, perihal tupoksi (singkatan dari tugas pokok dan fungsi) politisi itu. Menurut saya, pertanyaan itu tidak saja menggelitik, tapi juga memantik saya untuk menulis.

http://indonas.blogspot.com/p/tak-bisa-bicara.html
Saya menanggapi status kawan itu. Ada dua hal dalam singkatan (akronim) dari tupoksi itu. Pertama bahwa tugas pokok politisi menurut saya adalah bicara. Kedua dan seterusnya sebagai fungsi politisi menurut saya bicara juga. Saya dapat tanggapan balik. Enak juga jadi politisi kalau tupoksinya hanya bercerita, tulis kawan saya itu. Maksud bercerita itu adalah bicara. Dan masih menurut kawan saya itu, ada dua model politisi, yang formal dan yang tidak formal, lengkap dengan penandanya, satu di partai politik, satunya lagi biasanya di warung kopi.

Memang ada yang rancu di soal-soal itu. Singkatan tupoksi hanya dikenal dalam konteks formal. Artinya ketika kita lekatkan dia dengan kata politisi, atau orang yang bekerja di dunia politik, politisi yang dimaksud adalah orang atau pribadi yang bekerja sebagai perwakilan banyak orang melalui partai politik di gedung parlemen. Singkatnya, adalah mereka yang sering disebut dengan anggota dewan yang terhormat.

Saya meyakini bahwa kerja sesungguhnya seorang politisi baik yang tidak formal, apalagi yang formal, adalah bicara, meneruskan pembicaraan (baca kebutuhan) banyak orang, ke orang lain atau pihak tertentu yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan bersama itu. Ini yang misalnya membedakan politisi dengan birokrat sebagai profesi. Ranah kerja birokrat ada di urusan-urusan administrasi. Yang menyamakan keduanya secara formal adalah bahwa keduanya sama-sama mengambil keputusan.  

Coba bayangkan, kalau politisi tak suka bicara, lebih sering diam, dan kalau pun bicara lebih sering tak ada isinya alias asal bicara atau asal bunyi untuk sekadar dianggap bicara. 

Ada soal disini yang menurut saya, tidak saja karena sistem, tapi juga keterampilan, berpolitik. Soal-soal itu kemudian mempengaruhi persepsi awam pada realitas bahwa politik menjadi begitu identik dengan hal-hal yang bertendensi negatif. Ini buah dari para pelakunya, politisi, dan bukan karena politik sebagai substansi, sebagai seni mengelola kepentingan.

Tak jarang, kita menyaksikan politik hari ini dalam pernyataan-pernyataan banal para politisi juga birokrat yang berhamburan di media massa, dan di ruang-ruang sidang, memang sudah tak lagi mencerahkan, memberikan jaminan kesejahteraan, apalagi mencerdaskan. Yang tinggal dalam realitas itu adalah kesan bahwa politik begitu absurd, keras, tidak santun, kotor, dan ah, sudahlah…

Banyak cerita tak baik itu membungkam cerita-cerita kecil yang baik dari proses politik yang ada yang harusnya dikonsumsi publik dan sekalipun kecil dan sedikit, tapi mengisyaratkan bahwa kita masih punya masa depan. Lagi-lagi ini soal keterampilan politisi.

Saya bertanya lagi pada kawan saya itu, terus tupoksi politisi yang ideal menurut dia apa? Karena kayaknya dia tak puas dengan tanggapan saya bahwa tupoksi politisi sekadar “bicara” itu, yang mungkin terlalu menyederhanakan. Kawan saya itu menjawab, menginginkan politisi yang berjuang untuk rakyat, yang menjadikan politik sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk merebut kekuasaan. Di tengah tanggapannya itu diselipkannya kalimat yang di dipagarinya dalam tanda baca kurung. Kawan saya itu menulis, ah basi.

Masih rancu juga. Kawan saya masih tak menerima bahwa politik adalah perebutan kekuasaan. Bagi saya, selain seni mengelola kepentingan, politik juga hadir sebagai seni merebut kekuasaan. Soalnya ada pada bagaimana cara merebut kekuasaan. Memilih santun atau tidak santun. Ini serupa upaya mencari keseimbangan, meminjam istilah hukumnya, antara das sein dan das sollen, antara harapan dan kenyataan. Tuduhan atas pendekatan demikian adalah sebagai Machiavellian, pola pikir yang dipengaruhi filsuf politik itu. Tak apalah, karena buat apa berpolitik, kalau hanya sekadar bicara. 

Postingan Sebelumnya..