AKU mau, kelak, anak-anak perempuanku tumbuh sebagai anak-anak
perempuan yang cantik dan cerdik.
Kata cerdik kupilih sebagai sesuatu yang menurutku unik. Kata cerdik seolah
menegaskan sisi cantik dalam diri perempuan sebagai kemampuan membaca, memahami
situasi tentang kedirian mereka, tubuh mereka, dan yang berada di luar itu
semua. Wajah peradaban hari ini begitu maskulin, lelaki, patriarki. Pelakunya
tak hanya lelaki. Perempuan yang menjadi korban dari situasi yang patriarki ini
tak jarang menjadi yang melanggengkan, melegitimasi.
Aku membayangkan itu semua. Semacam kecemasan dari bayanganku sendiri
sebagai mahluk lelaki melihat apa yang terjadi sehari-hari.
Dua anak perempuanku yang masih kecil-kecil itu bertanya tentang penamaan-penamaan
itu, terlebih pada kata-kata yang di telinga mereka terdengar asing, baru. Dan
ini adalah yang paling sulit. Anak-anak kecil tidak butuh definisi. Yang
dibutuhkan anak-anak kecil adalah penjelasan yang bisa mereka rasa dari melihat
dan mendengar tanpa perlu berimajinasi. Apa yang mesti aku jelaskan pada mereka
untuk menerangkan arti patriarki.
Aku ingin, kelak, anak-anak perempuanku bisa berkeliling dunia, melihat
apa yang terjadi di luar sana, merasakannya, menemukan hal-hal baru yang
beragam itu dan memahaminya sebagai kenyataan.
Serupa burung di lagu Nelly Furtado itu (I'm Like a Bird, 2000), terbang jauh, kadang sendiri, kadang beramai-ramai, hinggap kemana saja tempat nyaman yang
dia suka, bermigrasi, menjadikan tubuh adalah rumah, tempat pulang dan mesti dilindungi. Mereka pernah bercerita soal ini kepadaku dan
bercita-cita atas cerita mereka itu. Keliling dunia. Naik pesawat, kereta, bus,
kapal, dan semua moda transportasi yang mereka pelajari dari buku ajar di
sekolah. Pindah dari satu kota di satu negara ke kota berikutnya di negara yang
lain.
Aku bilang kepada mereka harus pandai agar bisa mewujudkannya. Tentang
pandai seperti apa yang harus mereka capai, adalah yang dihargai dalam banyak
bentuk. Tak puas, mereka bertanya lagi, bisakah tanpa mesti pandai? Lama aku
diam menghadapi pertanyaan yang terasa sederhana itu dan akhirnya memang tidak bisa
aku jawab. Aku malah menambahkan, pandai dibutuhkan perempuan agar tak dibodohi
lelaki. Dua anak perempuanku itu hanya bersitatap dan lalu tertawa.
Untungnya aku tidak ditanya oleh mereka berdua, apakah lelaki memang
suka membodohi. Aku malah ingin menambahkan, menguasai. Pada kata yang terakhir
itu, biarlah nanti ketika mereka beranjak dewasa dan membaca tulisan di blog
ayah mereka ini. Mereka memanggilku “ce” dari pace yang artinya ayah. Soal
panggilan itu, aku juga ingin agar mereka tahu kelak, dalam bahasa latin, kata
itu –ditulis che, adalah bermakna kawan.