SAYA mengikuti proses selama dua hari (26-27 Maret) kegiatan Forum SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah) –kata lain dari kantor, dinas, badan, yang
dirangkaikan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang diselenggarakan
Bappeda Kota Palu. Ada banyak catatan dari kegiatan yang baru pertama kalinya
saya ikuti itu.
Kegiatan dua hari itu dibagi dalam dua sesi besar, hari pertama adalah
presentasi dari SKPD, hari kedua para peserta yang juga termasuk unsur masyarakat
dan akademisi, digabung dalam pembagian kelompok berdasarkan 3 isu utama dalam
hal usulan: sosial budaya, ekonomi produktif, dan fisik prasarana.
Sebagai sebuah forum besar di level kota, kegiatan itu saya anggap
sebagai proses formal terakhir setelah proses-proses yang sama sebelumnya
dilaksanakan secara bertahap dari tingkat kelurahan dan lalu kecamatan. Itulah
forum di mana kantor, melalui kepala dinasnya, atau yang mewakili, menjelaskan
apa yang belum dicapai, apa yang sudah dicapai, dan apa yang akan dicapai
setahun ke depan.
Itu pula forum di mana semua hal harusnya diperdebatkan dengan elegan, terkait
anggaran dan kegiatan-kegiatan penting yang jadi prioritas karena sumber daya
anggaran terbatas, sebagai upaya merasionalisasi kebutuhan, juga untuk
mendekati visi dan misi kota yang disepakati itu, yang dikuatkan pula oleh
peraturan.
Forum yang seyogyanya dirayakan sebagai alat ukur capaian berkota itu,
juga adalah alat menyaring banyaknya kepentingan, kenapa yang x didahulukan,
sebaliknya yang y tidak, dan seterusnya.
Apa yang saya rasakan dari proses dua hari itu? Kejenuhan yang teramat
sangat. Yang lainnya? Saya membayangkan sebuah kota, yang di dalam kota itu
orang-orang bekerja sendiri-sendiri untuk satu hal yang tidak begitu pula dimengerti:
visi.
Pada tema kemiskinan misalnya. Kantor-kantor bekerja dengan pendekatan
sendiri-sendiri, dengan dampingan masyarakat sendiri-sendiri, pendekatan
program dan kegiatan di masing-masing yang sendiri-sendiri, yang itu berarti
sajian datanya pun sendiri-sendiri.
Seperti yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pariwisata, Sudaryano
Lamangkona, yang merasa berjalan sendiri perihal kawasan religi di jalan Sis
Aljufri itu. Sebagai leading sector di topik itu, ada sektor-sektor lain yang
harusnya mendukung: penataan ruang, penyiapan infrastruktur, dukungan bagi ukm,
dan pendukung lainnya untuk mewujudkan kawasan tersebut. Dinas yang harusnya
jadi perhatian karena menjadi salah satu kata kunci terkait visi kota itu, juga
merasa sendiri pada soal-soal lain terkait tata kawasan Gandaria, yang diakui
dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang kawasan, sebagai teras depan
di sepanjang pesisir teluk, sebagai fokus prioritas kawasan wisata.
Kolaborasi, integritas, dua kata kunci yang menjadi judul tema kegiatan
itu, bersama kata lainnnya, koordinasi, dan kata-kata teknis dari bahasa
serapan asing itu menjadi yang paling sering diucapkan, diumbar, dipilih
sebagai diksi yang orientasinya retorika belaka tanpa jiwa, yang enak di lidah
tapi tanpa pelaksanaan.
Saya jadi ingat penggalan syair WS Rendra, “perjuangan adalah
pelaksanaan kata-kata.”
Itu belum soal lain terkait pemberdayaan masyarakat atau akses
pelayanan publik pada dua hal dasar, pendidikan dan kesehatan, yang secara
nasional diakui sebagai prioritas.
Saya kemudian merepresentasikan kejenuhan saya itu pada situasi yang
sama: jenuhnya birokrasi. Mungkin karena saya pikir itu adalah kegiatan rutin
yang sifatnya wajib. Seperti orang yang beribadah karena tendensi menggugurkan
kewajiban, dan bukan refleksi, dari apa-apa yang terjadi di keseharian kota:
penataan ruang dan kawasan, sampah, konflik komunal, reformasi birokrasi, akses
layanan pendidikan dan kesehatan, yang semuanya terasa masih jauh panggang dari
api, dan setumpuk soal lain.
Bappeda sebagai yang punya hajatan, sebagai event organizer kegiatan
tahunan itu, tentu tak bisa disalahkan sepenuhnya. Pun juga para peserta,
termasuk saya, yang ketika presentasi berlangsung tak merasa betah
berlama-lama. Sayangnya, sekalipun dalam banyak hal kegiatan itu punya banyak
keterbatasan, saya kecewa tak ada satu pun wakil rakyat yang hadir dalam
kegiatan itu. Entah kenapa.
Saya tidak dapat undangan resmi yang berupa kertas fisik. Keterlibatan
dalam banyak hal dengan kota, membuat saya merasa wajib hadir, sekali pun hanya
tahu dari bincang-bincang di warung kopi. Saya merasa ada yang harus diubah
pelan-pelan dari kota ini soal partisipasi, inisiasi, dalam beragam bentuk:
hadir dan atau sekadar menulis kegalauan berkota.
Kegalauan yang sama seperti ketika pembagian kelompok pembahasan di
hari yang kedua. Saya berpikir, untuk urusan sederhana menata ruang kelompok
saja kita punya masalah, bagaimana pula kita melihat yang lebih besar dari
sana: menata kota. Dua kelompok yang di tata di satu ruang pembahasan tentu
akan saling bertabrakan suaranya karena pengeras suara, chaos, memecah
konsentrasi.
Hal-hal sederhana yang terasa biasa, yang liyan dan karenanya sepele, mungkin serupa contoh lain
ketika kita berupaya menuju kota yang bersih. Mari kita tengok kantor-kantor
kita, bersihkah? Jika belum, di situasi masyarakat yang begitu kental
paternalistiknya, jangan berharap ada perubahan jika anutan tak berubah, bukan?
Saya juga tidak menemukan penjelasan sedikit pun dari yang mengelola
pendidikan, sektor penting yang bagi saya wacananya lebih banyak ke soal fisik infrastruktur
daripada hal-hal yang substantif terkait pemutuan dan layanan.
Menarik tidaknya kemasan sebuah acara, akan tergantung metode kreatif
yang digunakan. Kejenuhan birokrasi terjadi di mana-mana, saya pikir karena
soal birokrasi itu sendiri, yang lebih suka merebahkan dirinya pada soal-soal
ajeg perihal protokoler dan kesantunan yang kulit ari, dan bukan pada
substansi, di mana kreatifitas dan seni mengelola keajegan –atau kebekuan
dimungkinkan dan bahkan dipraktikkan menjadi sebuah pendekatan.
Sebagai insitusi perencana daerah, di kegiatan itu saya membayangkan Bappeda
sebagai sutradara teater yang pemain-pemainnya adalah SKPD, atau sebagai
konduktor bagi sekumpulan orang yang memainkan musik orkestra. Sebagai
sutradara, Bappeda harusnya punya kewenangan menentukan skenario yang
diperankan SKPD dalam semua proses pembangunan, mengawal akting teater atau
bunyi orkestra agar tidak keluar dari tema, menegur bila perlu jika salah, dan
sampai pada akhirnya merayakannya dalam forum rutin yang hanya dua hari itu. Selain
DPRD dan Dinas Pendidikan, olehnya saya juga kecewa kegiatan itu tak dihadiri
wali kota, yang berkuasa penuh pada sutradara teater dan konduktor orkestra.
Kita patut mengapresiasi pencapaian-pencapaian yang telah diupayakan
dari apa-apa yang disampaikan oleh para kepala dinas, dengan tentu saja banyak
catatan.
Nyaris tak ada masalah di kota ini dari semua paparan itu.
Capaian-capaian angka disebutkan, target-target diraih, dan proyeksi-proyeksi
ke depannya disampaikan. Kesan yang coba saya tangkap, kalau pun ada masalah,
ya mungkin begitulah dinamikanya, begitulah adanya. Terima saja. Sembari
berjanji akan memperbaikinya di hari depan.
Catatan: tulisan ini dipublikasikan di rubrik mingguan Indie, Media Alkhairaat, terbit sabtu, 30 Maret 2013