Masih adakah dari kita yang hari
ini mendengar lagu dari kaset, yang itu juga berarti menggunakan tape?
LAGU-lagu di dalam hard disk di laptop saya tak banyak. Lagu-lagu yang isinya
kurang lebih sama dengan teman-teman saya sebaya. Nama-nama folder yang juga biasanya
sama: barat, Indonesia, asing, lokal, bule, dst. Nama-nama folder yang seragam
buat, biasanya film, termasuk film esek-esek. XXX. Lagu-lagu itu tersimpan di
sana untuk menemani saya menulis, melamun, atau memang menikmatinya sebagai album
dalam pengertiannya yang utuh. Pada soal yang terakhir itu –menikmati, saya ingin
mengantar tulisan ini.
Hari ini rasanya, musik tak lagi dinikmati sebagai keutuhan, seperti
halnya buku. Sekalipun tak sedikit juga buku dengan isi buruk karena tak bisa
dinikmati sebagai sebuah proses kreatif yang utuh. Musik hari ini bagi saya
dinikmati sebagai proses kreatif terpenggal musisi baik solo ataupun band. Lagu-lagu
dinikmati dalam apa yang didefinisikan media massa sebagai hits. Seringkali
kita menemukan ada nama folder untuk menyimpan yang hits-hits belaka. Biasanya campur,
laguku, favorite, dst.
Pola konsumsi pada produk kebudayaan berubah. Teknologi informasi
memudahkan kita untuk mengenal dan mendekati sebuah produk, sekaligus mereduksi
empati kita untuk mengalami bersama proses bagaimana sebuah produk lahir. Pada musik,
saya merasa menjadi tidak lagi memiliki empati untuk mengapresiasi musisi yang
saya sukai. Detourn, album terakhir The Sigit yang mereka lepas di website
mereka itu, toh akhirnya tinggal copy lalu paste. Kita tak perlu merasa harus
antri ke toko untuk menunggu sebuah album musik dijual, seperti ketika misalnya
produk sebuah gadget terkenal dirilis atau serupa serial Harry Potter.
Tidak sedikit toko-toko kaset gulung tikar atau bermetamorfosa menjadi
toko cd, dvd, dan music merchandise. Musisi pun sama. Dalam situasi ketika
karya-karya mereka tak dibeli massif dalam konteks produk, tur dan merchandise menjadi
jalan keluar.
“Coba cari saja di youtube atau
soundcloud. Atau kalau tidak dapat di situ, ya tanya google.”
Tidak seperti delapan tahun yang lalu, yang rasanya menjadi tahun
terakhir saya menikmati musik sebagai keutuhan, pada band yang sama, The Sigit.
Tahun ketika record store day juga baru diperkenalkan, mungkin untuk merayakan
semacam kematian sebuah babak dalam skena musik dunia. Tahun 2008, saya menikmati
album Visible Idea of Perfection (2006, ffcuts records) dalam bentuk kaset. 13
lagu dalam album itu seperti menjadi satu dalam kepala. Utuh. Di tahun yang
sama, band itu saya nikmati di depan mata kepala saya sendiri. Di Palu!
“I hate the disco, give me some
rock n’ roll…”
Saya membaca pengalaman yang dilakukan teman-teman saya di Makassar, di
Kampung Buku. Sebuah inisiatif pernah digelar di sana dan diberi nama Rewind! Ketika
orang-orang datang untuk mengaktualisasikan dirinya dengan cara berkisah:
pengalaman pribadi dengan lagu dari kaset yang sudah barang tentu dia suka, dia
menjadi utuh di dalamnya. Menarik sekali!
Di tengah apresiasi yang tidak utuh itu, televisi-televisi kita
menyumbang sebuah tradisi baru menikmati musik, dengan meracuni pagi kita yang
suci dengan lagu-lagu –meminjam syair Efek Rumah Kaca, benar-benar melayu /
suka mendayu-dayu… manusia dikumpul dalam apresiasi yang kaku dan menjadi
serupa babu. Jadi hapal lagunya karena didengar terus.
Ah, dengar saja lagu. Tak perlu sedu-sedan itu.