Thursday, December 11, 2008

Aimar

Kamis, 20 Nopember 2008. Awan hitam menggantung diudara lembah Palu siang itu. Tetapi udara diluar sana tetap saja gerah. Juga pada sebuah sudut disebuah kamar lantai dua Rumah Sakit Budi Agung.

Hari di siang yang asing itu adalah hari yang berat bagi Harry Wibowo, bapak muda beranak dua itu. Hari yang tak biasa buatnya, mungkin bagi perjalanan hidupnya. Dia dipanggil dokter ke ruang konsultasi. Lembaran kertas dibuka dihadapannya. Kop surat kertas bikin dia terang, kertas yang digenggam dokter itu adalah informasi dari laboratorium swasta.

Prosedur yang biasa dalam pemeriksaan. Harry tak berpikir macam-macam. Namun setelah dokter angkat cerita seketika suasana berubah cepat.

Harry diam. Seperti ada sesuatu yang begitu berat menimpa pundaknya. Segalanya seperti berkecamuk dalam dirinya secara bersamaan. Dokter dihadapannya yang sedang menerangkan, baginya juga seperti televisi yang suaranya dimatikan. Ruangan kecil yang tak cukup terang itu seperti membekapnya. Dua kata tertera mencolok di kertas itu dicetak kapital, miring, tebal, dan diberi garis bawah, SUSPECT LEUKEMIA. Matanya mulai berkaca-kaca.

Terinspirasi oleh nama gelandang lincah asal Argentina yang jadi idolanya, Pablo Aimar, Harry mengambil unsur vokal dari nama itu, Aimar, untuk nama anak pertamanya 5 tahun yang lalu. Lengkapnya Raihan Aimar. Dipanggil Aimar.

Tiga hari sebelumnya, Aimar yang demam dan batuk dibawa Harry ke Rumah Sakit Budi Agung. Diagnosis sementara Aimar terkena Demam Berdarah Dengue (DBD). Aimar disarankan menjalani opname. Pemeriksaan darah dilakukan. Inilah untuk pertamakalinya Dokter menaruh curiga. Sel darah putih yang mengalir ditubuh Aimar membiak pesat jauh diambang rata-rata manusia dan anak-anak seusianya. Untuk meyakinkan, dokter minta pemeriksaan lanjutan ke laboratorium swasta.

Aimar diduga kuat mengalami kanker darah, untuk menyebut penjelasan lain bagi Leukemia. Harry tak begitu tahu seluk-beluknya. Yang dia tahu penyakit itu mengerikan. Sama seperti penyakit-penyakit mematikan lainnya. Dokter memberi saran agar Aimar segera ditangani. Sayangnya, dikota Palu tak ada alat medik yang bisa memastikan jenis Leukemia yang diidap Aimar. Yang terdekat adalah Makassar. Teknik medis yang dilakukan untuk memastikan itu adalah melalui pengambilan sampel di sumsum tulang belakang penderita atau Bone Marrow Puncture (BMP). Badan si sakit ditekuk agar tulang belakang merenggang dan jarum disuntikkan kesana.

Tanpa pikir panjang, Harry memutuskan berobat lanjut ke Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) Wahidin Soedirohusodo di Makassar (22/11). Di loket registrasi dia ditanya petugas, ”yang umum atau yang Jamkesda”. Jaminan Kesehatan Daerah adalah jaminan kesehatan yang diterbitkan pemerintah daerah Sulawesi Selatan bagi keluarga miskin (Gakin) diwilayah adminsitratif Sulsel. Prosedur Gakin dari daerah diluar Sulsel juga diterima. Syaratnya, ada rujukan dari rumah sakit umum pemerintah tempat pemohon berasal. Dan Harry tak punya rujukan itu. Agar cepat ditangani, lagi-lagi, Harry tak pikir panjang. ”Yang umum”, jawabnya singkat.

Dokter yang menemuinya saat visitasi perdana memberi saran soal pengobatan Aimar dan dampak biaya yang akan ditimbulkan. ”Yang kaya saja mengeluh”, kata dokter padanya. Untuk sekali Kemoterapi bagi penderita Leukemia kata Harry bisa mencapai Rp. 1.750.000. Dokter juga menjelaskan soal bahwa tak semua obat penderita Leukemia ditanggung Jamkesda.

Seorang kerabat Harry di Makassar membantu mengurusi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan tempat dia tinggal, setelah sebelumnya mengurusi Kartu Keluarga (KK) baru untuk pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Makassar. Berbekal surat-surat itu, Harry mengantongi Jamkesda yang sangat membantunya dalam hal biaya pengobatan.

Sebelum ditangani, Harry disodori semacam surat perjanjian. Protokol yang harus disetujui keluarga atas tahapan medik yang harus dilalui pasien. Protokol itu termasuk untuk tidak ikut ke ruangan khusus waktu Kemoterapi model Intratekal dilakukan. Harry cuma bisa mendengar raung sakit anaknya dari luar ruangan.

Jenis Leukemia yang diderita Aimar adalah Leukemia limfositik akut (LLA), merupakan tipe leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak. Dan untuk pertamakali sejak masuk rumah sakit (04/11) Aimar menjalani Kemoterapi. Ada dua macam Kemoterapi yang akan Aimar jalani selama 3 bulan pertama sebagai fase awal. Yang pertama dengan cara Intratekal, penyuntikan pada ruas tulang belakang, kedua, melalui cairan infus.


Sehari setelahnya (05/11) Aimar terlihat payah karena pengaruh Kemoterapi yang dia jalani. Dia mengeluh sakit sekujur tubuh. Minta dipijat pelan diselangkangan. Jarum infus menancap dipunggung tangan kirinya. Tangannya yang satu memegang crayon memberi warna pada robot yang digambar Bapaknya, Harry. Sesekali Ibunya, Risma, membujuknya makan. Disekeliling ranjang, tentara-tentara dan tank mainan favoritnya, dibariskan rapi seolah-olah sedang menjaganya.

Aimar jauh dari keluarganya di Palu dan teman-teman sepermainannya di Basuki Rahmat. Keluarga dan teman-temannya yang senantiasa mendoakan kesembuhannya.

Friday, October 31, 2008

Pohon

Apa pendapatmu tentang penebangan pohon seperti pada gambar ini? (lokasi gambar berada di bundaran taman kota depan car showroom Honda Balindo, ruas jalan Monginsidi dan Hasanudin, Palu. Gambar difoto pada tanggal 31/10/2008)






Thursday, July 24, 2008

Baliho*

Selain udara, air, bunyi bising yang repetitif, ruang publik yang tercemar adalah ruang publik yang dijejali oleh kepentingan massif memperkenalkan orang, barang, institusi, atau unsur komoditif lainnya dengan tujuan meraih ekspektasi positif publik.

Salah satu media yang sering digunakan sebagai alat memperkenalkan itu bernama baliho. Media dengan ukuran fisik jauh lebih besar dibanding media-media konvensional lain seperti koran, spanduk, billboard, neonsign, poster, atau selebaran (flyer, sticker). Dimensi ukuran menjadi indikator pencitraan.

Dalam konteks ini yang terjadi adalah, seperti yang disebut Walikota Sao Paulo, Brazil, Gilberto Kassab sebagai polusi visual (Business Week, 18/06/2007). Selain Sao Paulo, “Clean City” dari iklan dan alat peraga kampanye politik juga diterapkan dibeberapa titik protokoler ruang publik Jakarta (Suara Karya, 11/08/2008). Ilustrasi Sao Paulo No Logo yang bersih dari polusi visual itu diabadikan dengan baik oleh juru potret, Tony De Marco (lihat http://www.flickr.com/photos/tonydemarco/sets/72157600075508212/)



Dunia citra menciptakan narsisme baru yang hegemonik. Realitas sosial yang cenderung vandalistik ini tumbuh bersama pencapaian mutakhir teknologi cetak dan membuat hari-hari ini ruang publik kita (baca: kota Palu) disesaki oleh alat-alat peraga pencitraan sebagai polutan-polutan baru yang menghiasi kota. Situasi chaotic itu diperparah oleh realitas politik kita terkini yang memberi peluang bagi terciptanya polusi visual diruang-ruang publik, jauh sebelum kontes politik nasional (Pemilihan Umum) dilaksanakan tahun depan (lihat bab VIII tentang kampanye, UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD).

Realitas diatas mengindikasikan bahwa perkembangan baru dunia pencitraan membuat siapa saja aktor yang berkepentingan dengannya harus benar-benar memikirkan efektifitas pencitraan, dengan harapan dampak positif publik hadir sebagai umpan-balik (feedback) dan setelahnya menjadi memori kolektif.

Namun apakah kemudian publik teredukasi, well-informed, menjadi individu-individu otonom dan demokratis untuk memilah-milih keputusan politik atau konsumsi barang-jasa oleh pesan-pesan moral, himbauan, ajakan, jejak-rekam orang yang dipampang dibaliho atau media-media pencitraan lainnya? Ini belum lagi soal pilihan redaksional pencitraan yang, misalnya, berbahasa asing, kadang salah tulis, sesekali naïf.

Di jalan Mohamad Hatta sebuah plang kecil ditulis “Kawasan Bebas Spanduk”. Cara ini efektif. Tak ada spanduk yang bergelayutan disepanjang jalan itu hingga jalan Djuanda. Sayangnya, plang itu hanya untuk kategori spanduk. Baliho, neon sign, dan media lainnya tidak termasuk.

Dinamika kota membuat anasir polutif pada lingkungan (udara, air, suara) absurd untuk dihentikan. Cara alternatif untuk menekan tingkat pencemarannya adalah dengan pengelolaan kawasan hijau perkotaan. Sebaliknya pada polusi visual diruang publik, seperti pada contoh ketika kawasan bebas spanduk seperti yang diurai sebelumnya bisa dilakukan.

Pencitraan memang penting bagi yang membutuhkan. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah pencitraan yang tidak polutif. Dan itu mengandaikan prasyarat adanya perbuatan kongkrit bagi publik. Ini kalau kita sama-sama bersepakat bahwa ruang publik adalah ruang yang fungsi dan manfaatnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan publik/warga dan bukan untuk seseorang ataupun kelompok-kelompok tertentu.

*) Tulisan ini dimuat oleh surat kabar harian Media Alkhairaat pada Jumat, 18 Juli 2008

Inset: foto-foto Tony De Marco (Sao Paulo No Logo)

Sunday, February 10, 2008

Makan Rp. 1000

Bisa apa uang seribu dijaman ketika politik ekonomi absurd. Negara memang tidak bisa diharap buat kendalikan inflasi. Bagi perokok aktif uang seribu hanya cukup buat 2 batang rokok yang dikepul selama kurang lebih 15 menit. Malah, untuk rokok-rokok dengan brand lama, dikios-kios uang seribu tak cukup buat dua batang rokok yang harganya sudah 600 atau 700 rupiah per batang.

Apalagi buat beli Kaledo. Saya baru tahu dari Kompas (10/02/08) harga seporsi Kaledo Rp. 25.000. Seribu rupiah mungkin cuma untuk hirup kuahnya.

Terus, bisa apa uang seribu di Palu jaman ketika politik ekonomi absurd. Bisa. Makan!

Bayangan uang seribu bisa makan seakan menjadi absurditas baru, lain, dijaman ketika uang seribu, sekali lagi, tak bisa berbuat macam-macam dihadapan nominal harga-harga konsumsi barang, jasa. Bayangan itu juga seringkali menuju pada anggapan salah tentang rasa. Ingatan saya jauh ke Yogya pada Sego kucing. Makanan dari nasi putih dengan lauk tempe oseng (tempe goreng yang diiris tipis), tiga-empat potong ikan teri dan sambel. Disaji dengan bungkusan daun pisang. Ueenak!

Bisa makan dengan seribu rupiah itu di Palu ada di jalan Imam Bonjol. Jangan bayangkan ada neon box atau plang bagus sebagai penanda tempat makan yang kata penjualnya orang-orang mengenal tempatnya sebagai Nasi Kuning Imam Bonjol. Diseberang.

Bedanya dengan sego kucing ada di nasi. Enak. Nasinya empuk dari beras dengan kualitas baik dan dengan kuning yang kental. Sambal dengan pedas yang pas. Tempe osengnya tore (baca: gurih). Bolehlah ikut keyword Bondan Winarno untuk itu. Maknyus!

Payung, kawan saya punya joke buat Nasi Kuning Rp. 1000 Imam Bonjol ini. ”Penjualnya insomnia.” Nasi Kuning di jalan Imam Bonjol itu memang cuma jualan diwaktu malam hingga dinihari. Kesannya memang seperti tak ada laba dari jualan Nasi Kuning sebungkus seribu rupiah itu. Tapi menurut penjualnya tetap punya keuntungan. Satu malam dia bisa menjual 100 bungkus lebih.

Jadi, kalau lapar malam-malam dan uang dikantong juga pas-pasan, meluncur saja ke Nasi Kuning Imam Bonjol.


Postingan Sebelumnya..