Monday, September 24, 2007

B.G.L.P.

Saya, sebagai pengelola perpustakaan mini nemu buku di jalan tanjung tururuka nomor 27, palu, mengucapkan banyak terima kasih kepada para donatur yang sudah menyumbangkan buku-bukunya untuk program "bantu! gerakan literasi palu".















Berikut nama-nama donatur itu (update per 28/11/2007).

  • Rony Palungkun, Pegiat Penerbitan, Jakarta
  • Dendy Borman, Profesional, Jakarta
  • Kurniah Sari Dewi, Karyawan Swasta, Palu
  • Ruslan Sangadji, Jurnalis The Jakarta Post, Palu
  • Imam Sofyan, Dosen FISIP Untad, Palu
  • Yopi Rodiah, Pegiat LSM Anak Matahariku, Psikolog, Bandung
  • Ir. Mahmud Baculu, MM, Sekretaris Kabupaten Buol, Buol
  • Agustina Baculu, Pustakawan, Palu
  • Intan Yusan Septiani, Jurnalis Tabloid Nova, Jakarta
  • Roni Lapata, Fotografer, Palu
  • Heru Sudjoko, Art Creative Director, Palu
  • Muriani Muhidin, PNS, Gorontalo
  • Syarief Munawar, Perupa, Gorontalo
  • Chia Korompot, Pegawai Bank, Palu
  • Diana Mustaqim, Profesional, Jakarta

Salam,

Neni Muhidin

Foto: NeMu
Model: my little stone jade

Sunday, September 2, 2007


Dibuka, sejak 17 Agustus 2007, nemu kedai kopi dan perpustakaan mini, di jalan Tanjung Tururuka nomor 27, Palu. Buka mulai jam 7 pagi sampai malam. Tempat nyaman buat kawan-kawan ngobrol, diskusi, atau yang ingin membaca...
ada waktu, mampir ya...

cp: Neni Muhidin
085241332877 / 0451-453177

Om Kota

Dia mengingatkan saya pada tokoh Adrian Cronauer (diperankan dengan sangat baik oleh aktor humanis Robin Williams), Americans, broadcaster, yang siaran radionya hadir dibarak-barak militer Amerika di perang Vietnam. “Good morning Vietnam…” sapaan khas pembuka siaran yang juga jadi judul film itu (1987) serupa cekat khas gaya dia, “eh, notoga”, lalu terkekeh.

Kalau Cronauer menyapa pagi, dia sore. Cronauer pemberi semangat bagi tentara AS di pagi hari untuk tetap menjaga militansi dan pemahaman lucu yang ironis tentang perang. Sedang dia pemberi kabar-kabar seputaran kota Palu. Berita kehilangan, kawinan, kematian, apa saja. Seperti ingin mendamaikan setiap senja dari segala kabar. Baik ataupun buruk. Apa saja. Untuk kemudian siap menyambut malam dengan tenang. Dengan biasa-biasa saja. Siapa saja yang mendengar. Keduanya –Cronauer dan dia, percaya apa saja bisa didekati dengan cara yang jenaka.

Waktu kusebut namanya Ayuba Lasira, mungkin tak semua orang dikota ini tahu. Dia lebih dikenal sebagai Om Kota. Dalam sebuah kesempatan bertemu dengannya (16/08) dia bercerita pada saya, dibanyak acara-acara, dia suka menyebut hadirin yang ada sebagai keponakan, hmmm…

Di even-even off air itu, dia adalah master of ceremony yang piawai menggiring suasana berubah cair, tidak protokoler.

Kecil, ringkih, selalu berkopiah, dengan senyum yang selalu terkembang. Om Kota mengawali karirnya pada 1969 di kantor Penerangan Donggala. Pindah ke Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1972 sebagai staf operator studio, lalu menghabiskan karir jurnalistiknya yang sejak 1984 sebagai reporter sekaligus penyiar hingga 2006 dibagian pemberitaan RRI.

Reporter sekaligus broadcaster. Keseharian Om Kota adalah melakukan peliputan, sore hari hasil liputan dilaporkan dalam tajuk acara laporan kota, acara yang diasuhnya sejak 1987. Mulai pukul 4 sore dengan durasi sejam. “Laporan kota ini sudah ada sejak 1975. Saya mulai disini sejak 1987 dengan nama Om Kota itu.” Hotman Pontoh. Dia menyebut sebuah nama. Ini orang yang melekatkan nama Om Kota itu padanya. “Dia kepala pemberitaan RRI,” ucap Om Kota pada saya sambil tertawa mengenang.

Sudah 57 tahun dia sekarang. Setahun lalu (2006) dia pensiun. Tapi dia masih tetap mengudara seperti biasanya. Saya bilang pada dia, ini bukan soal administrasi kepegawaian, tapi ini soal eksistensi sebuah simbol. Seperti bisanya dia, langsung memotong omongan saya, “nuapa vai itu le…” hahaha… kita berdua tertawa bersama-sama diruang tamunya pagi itu. Salah 1 cucunya yang masih balita modar-mandir disitu. “So 3 cucuku le. Dari anakku. 2. Perempuan dua-duanya.”

Ya, dia sudah menjadi seperti ikon kota. Mungkin ada yang belum pernah secara fisik bertemu dengannya, tapi mungkin tidak dengan suaranya. Termasuk saya, yang masih kecil suka mendengar suara kalengnya di sirkuit moto-cross tanah runtuh, memandu acara. Tonk Enk, seorang crosser terkenal diganti namanya oleh Om Kota menjadi Tong Sampah. Topik ini begitu berbekasnya pada saya.

Rehat suaranya di laporan kota terjadi kalau dia keluar kota. Even tahunan yang rutin adalah laporan keberangkatan dan kedatangan haji di embarkasi Balikpapan. Ini kegiatan lainnya selain hunting berita, siaran dan ngemsi. Dia bergiat juga dalam proses sosialisasi haji asal Sulawesi Tengah.

Dikenal dimana-mana, untuk urusan plat nomor motornya saja bisa spesial. DN 3450 XX, plat motor bebeknya sebagai identifikasi tanggal, bulan, dan tahun lahirny7a. Hmmm… ini motornya yang ketiga setelah Suzuki A100 dan Yamaha Alfa. Sekarang dia pakai Yamaha FIZ. “Lebe kencang ini,” sambil memegang sadel. Tertawa lagi. Baru saja dicuci pagi itu. Motor itu diparkir diruang tamu didepan sofa tempat kami duduk.

Tentang ikon itu, dia menyamakannya dengan Kang Ibing untuk kota Bandung. Tapi buat sebagian orang lain yang dekat dengan kesehariannya beraktivitas, eksistensi ikon itu pelan-pelan digerus. Saya menangkap curhatnya. Mungkin karena sudah pensiun itu. Dia mengeluh soal akses mendapatkan berita dari narasumber yang ingin dia temui. Kebanyakan petinggi. Protokoler suka menghalang-halangi. Untuk itu dia suka kritik waktu siaran. Tapi dengan jenaka. “Gubernur saja saya kritik. Contohnya waktu acara hari ulang tahun Donggala. Beliau tidak datang.” Dia juga kritik situasi sekarang. Terlebih soal kebebasan pers yang menurutnya kelebihan pers.

Berita apa yang paling dia hindari untuk disampaikan? Informasi pemadaman bergilir dari PLN. Hmmm… dia pernah dimarah-marah via telepon karena informasi yang keliru. Padahal tentu saja bukan salah dia. Dia hanya membaca informasi dari humas PLN jalan-jalan dan daerah mana saja dikota ini yang akan dipadamkan.

Yang ingin melihatnya dilayar kaca, setiap Jumat sore hingga magrib, dia live di TVRI Sulteng dalam acara ATM, akronim dari Ayuba, Tasrif, Midu, acara talkshow yang menghadirkan pembicara yang berkait tema diskusi.

Dia, dan Cronauer adalah pemberi kabar. Keduanya true story. Beda zaman dan situasi. Sama spiritnya, jenaka.

Sore harinya, ibu saya yang sering mendengar siarannya menyetel radio. Suara sirene memanjang. Lalu tawa kecil mengikuti.

Foto: Ayuba Lasira (NeMu), Cronauer (http://vietnamresearch.com/media/afvn/adrian.jpg), cover Robin Williams (http://www.moviehabit.com/photos/good_morning_vietnam_150.jpg)

Wednesday, August 8, 2007

Odong-odong


The most trouble maker toys. Disini orang suka bilang hoya-hoya. Termasuk Jade, anak perempuan saya, yang tahu benar odong-odong sedang mendekat, sekalipun jaraknya dari rumah kami masih kurang lebih 50an meter. Speaker cempreng yang disetel lagu anak-anak dengan keras adalah khas odong-odong.

Odong-odongnya tidak dipanggil? Repot! tapi dipanggil juga pasti repot. Ini karena anak kecil seumur Jade (2 tahunan) yang masih balita itu egoisnya tinggi. Tak puas sekalipun sudah 3-4 judul lagu lewat. Sejudul Rp. 1000. hmmm… seringkali sad ending. Jade menangis. Juga temannya, anak-anak tetangga. Odong-odong harus jalan ke tempat lain mencari rejeki dari anak-anak yang lain.

Ada alokasi budget konsumsi sekitar 5000an per 2 atau 3 hari. Tapi juga sama seperti saya. Bahkan lebih tidak baik karena setiap hari. Rokok.

Odong-odong. Ini mainan impor anak-anak dari Klaten. Seperti kata Wahyudi, pengayuh odong-odong. Menurutnya ada semacam industri rumahan yang memproduksi odong-odong di Klaten, yang hasil produksi menyebar ke banyak daerah di Indonesia, termasuk Palu. (baca juga, http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id=143694)

Harga odong-odong bervariasi. Berkisar diantara 7-8 juta untuk 1 odong-odong. Odong-odong Wahyudi berlabel 6 juta. Dia beli langsung dari sana. Tapi itu belum termasuk ongkos kirim dari Klaten. Lagipula odong-odong Wahyudi statusnya kredit. Dan rasanya belum ada lembaga fundraising untuk odong-odong. Ini yang membuat Wahyudi sedikit resah.

Sehari keuntungan bersih Wahyudi dikisaran 200-300 ribu. Itu kalo narik dari pagi. Kalau keluarnya sore, keuntungan ada dibawah angka itu. Modalnya? Rokok. Sekalipun tak baik buat kesehatan seorang pengayuh odong-odong. Kata Wahyudi sampai sekarang ini keuntungannya masih lebih banyak dia sisihkan buat kredit.

Wahyudi tidak sendiri. Bersama kakaknya, pemuda dengan logat jawa timuran yang masih kuat itu –meski sudah sedikit bercampur dengan irama ucap orang Palu, merasa bisnis odong-odong punya prospek bagus dengan nada mantap. “Ada 2 di Parigi, 2 di Luwuk yang sudah kami kirim.”

Wahyudi kecil tinggal bersama keluarganya yang transmigran dari Banyuwangi. Lahir dan besar di Kotaraya, pantai timur Sulawesi Tengah. Bersama kakaknya, Wahyudi merintis bisnis mainan ini dari rumah petakan yang dia kontrak dibilangan jalan Tanjung Satu. Ada 10 odong-odong yang beroperasi di Palu ini, katanya. Tapi juga ada beberapa “pemain” lain yang juga berbisnis sama. Tapi tak sebanyak Wahyudi cum suis.

Saya suka sarkastik padanya. Tapi tak benar-benar berniat sarkas. Soal lama lagu. Tahu sendiri lagu anak-anak yang rata-rata paling lama cuma 3 menitan itu. Hahaha… “Tek kotek kotek kotek, anak ayam turun berkotek…” biasanya lagu itu. Dua kali refrain, dan selesai. Rasanya begitu cepat. Tapi saya pikir, lagi-lagi sama juga seperti rokok durasinya soal konsumtif.

Soal mainan saya jadi ingat terus rindu pada mainan saya sewaktu kecil. Katapel yang menggantung dileher, klahar si perusak aspal, dodorobe, sesekali main gulungan karet dengan anak perempuan, kadende, benteng, atau yang sedikit teknologis, atari, dan masih banyak lagi. Susah temukan pemandangan macam itu jaman sekarang. Termasuk makanan macam putu (dari beras pulut yang dimakan dengan duo) atau kue kelapa kering (kata orang kue menjilat matahari) yang dibungkus kubus dengan kertas minyak warna-warni. Yang cara makannya harus menengadah keatas. Yang masih terlihat eksis dan tak bisa digerus waktu mungkin layang-layang.

Playstation tentu saja jauh lebih menarik dari semuanya yang saya sebut diatas.

Dan Wahyudi mencoba membuat kemungkinan baru dari ketertarikan lain anak-anak pada beragamnya mainan anak-anak.

Suatu malam saya melihatnya melintas didepan rumah. Sudah larut. Sepertinya akan pulang. Lagunya tak seperti biasanya. Lagu orang dewasa dan disetel tidak terlalu keras. Lagu hits band Drive, Bersama Bintang. “tidurlah / selamat malam / lupakan sajalah aku / mimpilah / dalam tidurmu / bersama bintang” hmmm…

Mungkin untuk sedikit mengusir penat, meringankan capek betis kaki yang mengayuh seharian. Wahyudi kan juga...hmmm

Foto: NeMu (searah jarum jam: Jade, Wahyudi, Gita, Thirza)

Wednesday, June 27, 2007

Togean


Saya sedang tidak ingin ikut-ikutan hiperbola, seperti poster-poster yang saya temui dibeberapa tempat makan di Ampana, ibukota kabupaten Tojo Una-Una malam itu (15/0607). Hidden Paradise. Begitu judulnya. Beberapa lokasi diposter itu dibuatkan sejumlah inset-inset kecil lengkap dengan penjelasannya. Konon, seorang avonturir asing pernah bilang Karibia di Asia.

Ini perjalanan pertama saya kesana. Togean.

Esoknya, Sabtu cerah. Setelah 4 jam dari Ampana, kapal motor Lumba-Lumba Sejati merapat dipelabuhan Wakai. Kapal berkecepatan 40 km per jam itu mengayun tenang dilaut yang siang itu tidak begitu berombak. Jumat kapal-kapal tak melaut. Semacam mitos, mungkin. Hmmm…


Di Wakai. Sebuah speed boat putih parkir disisi lain pelabuhan. Kata kawan boat itu akan mengantar ke tempat tujuan. Ke Kadidiri. Dengan kekuatan 80 pk –dengan 2 mesin yang tiap mesinnya berkekuatan 40 pk, boat itu melaju kencang menabrak-nabrak ombak. Kurang lebih 70an km per jam. Takut, takjub, entah. Ipod saya gantung ke telinga. Sedikit mengatasi. Terlebih setelah intro Welcome to My Paradisenya Steven and Coconut Treez memenuhi kepala. Semua perasaan yang campur aduk itu terobati. Dari dekat boat yang setengah terbang itu, biota-biota laut terlihat telanjang. Bening. Semakin kedalam terlihat semakin kehijau-hijauan.


Boat sampai dalam 30 menit. Pelan-pelan boat mendekat ke sebuah cottage dan karam dipasir putih.


Hanya ada satu kata. Saya meminjam sepenggal sajak Wiji Thukul untuk menegaskan sebuah kata. Tapi bukan Lawan, seperti yang semestinya. Apa yang harus saya lawan ditempat yang indah itu. Yang ada pasrah. Pada keindahan.

Seorang kawan menyela, imajinasi yang tak sampai.

Empat bule berdiri dari duduknya diresto cottage. 3 pria, dan seorang perempuan pirang bercelana pendek ketat dan backless hitam. Hmmm… Seorang pria mendekat. Tak berbaju. Botak, badannya kekar bertato. “Welcome to Black Marlin Dive…” Instruktur diving berkebangsaan Jerman. Suaranya berat. “Hello”, saya membalas. Namanya Wolf. Dia mengajari tamu-tamu yang datang kesana dan ingin menyelam. Dia juga orang yang paling sewot jika melihat ada orang yang memancing diseputaran cottage. Tak terkecuali tamu atau pegawai cottage. Tak boleh memancing dekat situ. Ada benarnya. Ikan-ikan aneh yang tak pernah ditemui sebelumnya jadi tak enggan merapat kesana. Praktik penggunaan bom oleh nelayan tradisional masih suka terjadi. Itu kata pegawai kapal motor yang saya tumpangi ke Wakai. Bukan hanya ikan-ikan kecil yang dipastikan mati, saya membayangkan terumbu karang yang hancur. Tradisional kok kenal bom ya? Mungkin perlu juga sosialisasi bahwa dibawah laut sana ada kehidupan. Dengan cara yang mudah seperti Sponge Bob, Square Pants, dan kawan-kawannya yang lain.


Black Marlin Dive. Nama tempat itu. Nama seeekor ikan yang mulutnya runcing dan sirip-sirip yang seperti sayap. Kurang lebih ada 15 kamar disana. Dibuat eksotis. Nyaris semua bahan bangunan didominasi kayu berpelitur, kamar mandi yang unik berlantai batu dengan shower, kloset duduk dan wastafel. Ranjang yang empuk berkelambu. Didepan kamar ada gantungan buat bermalas-malasan. Cocok buat yang berpasangan. Apalagi yang bulan madu. Hmmm…


Ada mini hall buat nonton bareng, 1 set meja bilyar, gudang berisi tabung-tabung dan peralatan menyelam. 10 meter dari sana, sebuah dermaga kecil memanjang. Menghadap laut yang sejauh mata memandang tak ada apapun. Diam dan tenang. Seperti orang yang sedang menunggu dermaga kecil yang adem itu. Yang lebih menarik lagi, ada mini library yang menyatu dengan kantor cottage. Buku-buku berjajar rapi. Hanya ada dua bahasa dari buku-buku itu. Jerman dan Inggris. Paling banyak novel dan informasi soal ikan-ikan, terumbu karang. Seperangkat audio, globe, peta besar, dan sekelompok anjing jinak. Salah satu yang kuakrabi bernama Scuba.


Fadel Mohamad, Ginandjar Kartasasmita, sampai Tomy Winata pernah nginap disana. Ketika itu Megawati sedang kunjungan. Tapi hanya sampai Wakai. Pada 11 Oktober 2003. Canang-mencanang. Simbolisme khas birokrasi kita. Gerakan Mina Bahari plus himbau-himbau bersih pantai dan gerakan makan ikan. Hmmm… Yang terakhir, kata Said seorang pegawai Black Marlin, Prita Laura, mereka temani diving untuk liputan Metro TV.


Dari awal saya sudah membayangkan siap jadi stateless ketika menginjakkan kaki pertama kali ditempat itu. Juga siap melupakan satu hal: hari. Setelah makan malam, minuman beralkohol disiapkan. Sebotol whiskey Jack Daniels, 2 botol vodka Tanduay, beberapa kaleng coke dan es batu yang dipecahkan. Sting mengalun perlahan. I’m an Alien, I’m a legal Alien, I’m an Englishmen in New York, ooo…


Lalu mata sembab. Sesekali berasa kencing. Nudis. Saya turun kelaut. Diatas sana bintang-bintang bertaburan.


Saya tak sendiri. Ada beberapa kawan. Sekali lagi, Imam Sofyan, dosen yang funky itu. Partner yang asyik buat perjalanan. Tak terlalu berkesan akademis, kawan yang satu ini berusaha membumi, turun dari menara gading universitas dengan menarik benang-benang merah yang terjadi atas perjalanan sebagai bahan untuk menjelaskan politik sebagai konsentrasi keilmuannya. Lalu Kiki Borman. Kawan sejak taman kanak-kanak hingga sekarang. Ide perjalanan kali ini kuat datang dari dia. Dan Yaya Mustaqim. Seorang Web Designer. Yang diawal tulisan ini katanya imajinasinya tak sampai ke kawan saya yang lain, yang terakhir, Nudin, seorang pegiat lingkungan dengan konsentrasi bahari. Anggota komisi pemilu yang berkantor di Ampana. Banyak informasi juga cerita-cerita penting datang darinya. Terima kasih banyak atas semua interaksi yang terjadi dengan kalian. Hmmm…

Semua suka laut. Dan yang jauh lebih chemistry lagi, suka perjalanan. Juga musik. Malam kedua kami habiskan di dermaga dengan gitar kopong, lagu-lagu Ambon dan berbotol-botol Lucky Brand, semacam anggur putih rasa karamel yang kadar alkoholnya 14 persen. Siang hingga petang kami habiskan dengan snorkling. Dengan duapuluh ribu rupiah, kacamata air dan selang siap melingkar dikepalamu seharian. Untuk sekali diving 30 dollar US. Soal ada yang ingin tetap berkomunikasi selular, sebaiknya menggunakan operator Indosat. Hanya ada operator seluler itu disana. Itu pun tidak untuk semua spot di Black Marlin.


“Sejak konflik Poso, turis jarang. Kalo kasini dorang maso dari Gorontalo, lea,” kata Ipul pegawai cottage. Black Marlin buka reservasi di Gorontalo. “Tapi mudah-mudahan bulan depan rame, lea. Ada festival Togean tanggal 23 Juli.” Ipul menambahkan. Dengan kapal feri yang singgah di Wakai dari Gorontalo, para turis bisa mengakses Kadidiri dan tempat-tempat lain di Togean. Ada gugusan pulau-pulau besar disana. Ada Batudaka, Tolatakoh, Togean dan Una-Una. Beberapa spot diving menyebar digugusan pulau-pulau ini. Cottage-cottage banyak disebaran Togean. Dengan hak guna usaha, beberapa cottage disana dikelola oleh WNA.


Tapi Nudin gerah. Dan memang begitu karakter kawan yang satu itu. “Yang mo ditampilkan itu-itu lagi. Menari-menari. Tidak nyambung. Padahal ada yang jauh lebih menarik. Misalnya mengeksplorasi Bad Fish yang disukai turis-turis.” Nadanya sedikit tinggi. Bad Fish, ikan dengan wajah yang tidak menyerupai biasanya ikan. Belum lagi terumbu karang khas Togean. Kata Nudin penjelasan soal terumbu karang khas Togian yang ada diposter yang kemarin saya lihat itu salah.


Dua hari yang mengasyikan. Kami beranjak pulang. Semua punya kesan. Saya tertusuk bulu babi. Kawan yang lain kakinya sobek menginjak karang. Ada yang terbakar kulit wajahnya. Harusnya memang pakai krim sunblock. Tapi itu tanda, kata Yaya, jadi lebih bisa dipercaya saat bercerita pulang nanti. Diatas boat yang bergoyang kami tertawa bersama. Asal tak menginjak Stonefish, kata Ais, pengelola Black Marlin. Sejenis ikan yang hidup berkamuflase dengan karang. Siripnya berbisa. Racun bekerja cepat membunuh orang yang tertusuk siripnya. Bulu Babi yang kuinjak disarankan hanya dengan mengencingi tempat yang tertusuk. Jenis karang purin juga sakit kalau terinjak. Itu karena kami snorkeling tak memakai sepatu katak yang terbuat dari bahan karet yang tebal.

Sepenggal kalimat dari sajak yang saya pinjam untuk kemudian menegaskan sebuah kata pengganti kata lawan diakhir sajak itu tetap tidak juga datang. Hmmm…

Catatan:
Dari kota Palu ke pulau Togean (dalam hitungan per orang dan dengan mata uang Rupiah) dapat menggunakan minibus dengan tarif 40 ribu. Dengan mobil travel 100 ribu, selama 7-8 jam sampai ke Ampana, melewati Kabupaten Parigi Moutong dan Poso. Dari Ampana menggunakan kapal motor selama 4 jam ke Wakai. Tarif 40 ribu. Dari Wakai 30 menit ke Kadidiri, Togean, dengan speed boat milik cottage tempat tujuan. Di Black Marlin Dive di Kadidiri, Togean, rate untuk 1 malam untuk kamar standar 120 ribu. Untuk yang deluxe 150 ribu, sudah termasuk makan 3 kali sehari.

Reservasi Black Marlin Dive:

blackmarlindive@gmail.com

Alamat: Jalan Panjaitan nomor 90a, Gorontalo, 95116

Telp/Fax: 0435-831869

Website: www.blackmarlindive.com

Foto-foto: NeMu (Black Marlin Dive, kadidiri, Togean)

Tompu


Saya curiga Katon Bagaskara pernah kesitu. Ke sebuah kampung –desa menurut administrasi pemerintahan modern, ngata dalam bahasa orang-orang disitu –Kaili Ledo. Tempat itu bernama Tompu.

Katon?

Ini tentang lagu negeri diatas awan, disuatu senja yang basah (31/05/07). Kawanan awan yang berarak, tipis, dibawah sana lembah Palu terbentang. Garis teluk yang tegas serupa elips yang memanjang. Kami (saya bersama seorang dosen politik, Imam Sofyan, dan seorang mahasiswa pecinta alam, Nunung, keduanya dari Fisip Universitas Tadulako) berada diatas awan yang pelan-pelan bergerak itu. Juga sekawanan burung pipit yang berkejaran diatasnya.

Ngata Tompu berada didekat Ngata Baru, lokasi penghijauan, sebelah timur dari arah kota Palu. Masuk dalam wilayah kecamatan Biromaru, Tompu berjarak kurang lebih 25 km dari Palu. Tapi jarak yang relatif pendek itu menyita waktu tempuh kurang lebih 2 jam dengan sepeda motor. Karena masih jalan setapak tak beraspal dan selalu becek, Tompu hanya dapat diakses dengan sepeda motor atau berjalan kaki. Tak ada listrik disana. Simbol modernisasi putus sejak belokan pertama dari Ngata Baru, tepat didesa Kapopo.

Tapi tak putus-putus benar simbol itu. Atribut politik hadir disana. Dari baju-baju parpol atau poster pilkada gubernur, walikota, pemilu DPRD, DPD sampai presiden ada.

Tompu terbagi atas beberapa Boya (dusun), yang buat saya rasanya lebih dekat ke dukuh dalam terminologi Jawa, satuan terkecil dari sekumpulan orang yang hidup bersama. Saya naik hingga Boya terakhir di Kalinjo.

Berada diketinggian 800an meter dari permukaan laut, suhu Tompu berkisar diantara 15-20 derajat celcius.

Dengan 2 motor bebek, kami seperti sedang balapan grass-track. Ini yang membuat waktu tempuh menjadi lama. Butuh sedikit keahlian berkendara. Dibeberapa titik jalan, jurang ditutupi semak-semak liar.

Sesampai di Kalinjo, kami bertemu dengan beberapa warga yang baru pulang dari berkebun. Meski tak berlahan besar mereka berkebun coklat, ada yang merotan. Juga menanam rica atau kemiri untuk dijual ke pasar di Biromaru. Terakhir kami mampir dirumah Pakadus. Mungkin akronim dari Bapak Kepala Dusun. Waktu kenalan dia tak menyebut nama. Kata Nunung dia juga sering memanggil laki-laki setengah baya itu begitu. Pakadus.

Dari rumah panggungnya yang kokoh, dengan bahan kayu dan beratap rumbia –semua rumah disana berarsitektur sama, kami duduk diserambi yang hangat. Lampu teplok dinyalakan. Perbincangan kami seringkali ditingkahi lagu-lagu tradisional tanpa alat musik yang didendangkan oleh anak-anak perempuan remaja meninabobokan adiknya. Juga semacam serangga entah yang hinggap dipohon kelapa dengan repetisi suara yang keras dan intens. Waktu menunjukkan Pukul 19.30.

Bahasa Indonesianya patah-patah. Obrolan kami kearah seputar cara hidup. Tentang air. Tentang bagaimana warga Tompu memperlakukan air disepanjang aliran sungai Ngia yang melewati kampung mereka dari mata air dihulu hingga kerumah-rumah warga dihilir, di Ngata Baru, seperti cerita Nunung sebelumnya pada saya. Ini yang membuat saya penasaran.

Kearifan lokal. Tanpa disadari kadang bisa lebih rasional dan etik dari modernitas. Konvensional, kebanyakan dilakoni secara tidak literal. Pada alam, misalnya. Mereka telah melaksanakan kata itu. Beberapa laku adat disana dipaparkan dengan baik oleh Pakadus. Misalnya tentang filosofi orang atas yang harus menjaga air untuk orang bawah. Biner atas-bawah secara harfiah mungkin memang beroposisi. Tapi dalam konteks air sungai Ngia itu tentu saja tidak.

Air sungai Ngia itu mengalir hingga ke Ngata Baru. Ada bak air besar di Kapopo yang menampung air itu untuk kemudian sebuah pipa berdiameter lebar melintasi desa dan membawa air-air bersih itu ke pipa-pipa kecil dirumah warga.

Ada kesepakatan adat disana tentang pelestarian lingkungan sepanjang aliran air sungai Ngia sejak Vana (wilayah inti yang menjadi titik-titik mata air). Disepanjang itu tak boleh ada kegiatan apapun baik untuk bertani ladang atau untuk kebutuhan warga Tompu itu sendiri. Kebutuhan air bersih untuk konsumsi warga Tompu berasal dari banyaknya mata-mata air yang mengalir dari punggung-punggung bukit, yang dialirkan melalui batang-batang bambu ke rumah-rumah.

Yang melanggar itu akan kena Novaya. Sanksi adat berupa 1ekor kambing. Itu untuk sanksi yang ringan seperti menebang pohon-pohon muda macam pisang. Yang berat bisa 1 ekor kerbau atau yang nilainya sama dengan itu, 5 ekor kambing.

Pernah suatu waktu mereka bersitegang dengan beberapa warga yang mengaku tinggal di Ngata Baru. Soal rencana perkebunan coklat didekat aliran sungai Ngia. Kata Pakadus setelah nyaris konflik fisik itu terjadi, sampai sekarang rencana itu tak kunjung terlaksana.

Tak lama kami disana. Karena malam sebentar lagi tua. Pakadus meminta kami menginap disana. Tak ada rencana menginap, kami memaksa untuk tetap pulang. Sebelum kami pulang, bersama isterinya Pakadus menyiapkan kami makan. Begitu lezatnya. Nasi jagung dan irisan pisang setengah matang yang dikuah santan. Kami jadi tak enak hati karena merepotkan. Mereka malah tersinggung kalau tak dimakan. Selain memang lapar, saya takut ada bagian dari kebiasaan ini yang berhubungan dengan sanksi adat. Serupa pamali dalam mitos awam.

Sebelum kami pulang Pakadus menyebut sebuah lembaga. Bantaya. Saya bisa dapat banyak informasi tentang mereka disana, katanya. Dia juga memberi saya Pare’e, alat musik tradisional Kaili yang terbuat dari bambu yang bentuknya seperti garpu tala.

Selang berapa hari setelah berkunjung kesana saya ke Perkumpulan Bantaya. Lembaga yang konsern ke masyarakat adat. Beberapa referensi tentang Tompu ingin saya dapat dan gali dari sana. Perpustakaan yang baik. Buku-buku terdata. Setelah berkenalan dan berbincang sekadar dengan beberapa kawan baru, saya diberi dua bacaan yang berhubungan dengan Tompu. Satu serupa newsletter. Tesa Ri Bantaya namanya. Edisi 7, November 2003 berjudul Pembaruan Desa, Menata Masa Depan Bersama. Yang satunya buku jurnal kompilatif yang diterbitkan lembaga itu bersama Yayasan Kemala di Jakarta. Judulnya Catatan dari desa tentang desa. Kedua hardcopy bacaan itu boleh saya bawa untuk difotokopi, dan segera dipulangkan. Hmmm…

Saya membaca sejarah panjang Tompu dari dua bacaan itu. Tentang asal-muasal Tompu yang berasal dari kata potompu nubengga yang artinya tempat berkubangnya kerbau. Yang menarik saya mengingat penjelasan Pakadus tentang asal-muasal manusia yang menurutnya dari sana. Serupa tesis baru yang berdiri sejajar dengan teori Darwin atau agama-agama monoteis. Salah satu bacaan menguatkan tesis itu. Tompu diciptakan oleh Tupu A’ta (Maha Kuasa) yang menjelma menjadi Nebete, leluhur orang Tompu.

Eksistensi Tompu juga tak kalah panjangnya. Digerus sejak Belanda menguasai Sigi Biromaru pada 1927, Tompu dijajah oleh karena kepentingan damar, kulit kayu manis dan kemiri. Menjadi otonom setelah Indonesia merdeka, Tompu memiliki struktur pemerintahan yang pemimpinnya (totua ngata) dipilih langsung. Orde baru menjadi penjajahan jilid berikutnya bagi Tompu. Struktur pemerintahan bubar pada 1975 ketika resettlement paksa diberlakukan. Sebagian yang lain eksodus.

Mengembalikan Tompu sebagai ngata yang otonom adalah cita-cita warga Tompu. Alasan historislah yang menguatkan cita-cita itu.

Saya balik lagi kesana. Tapi tidak ke Tompu. Hanya sampai di Ngata Baru, di Kapopo. Seorang perempuan menunjuk tempat. Dia isteri ketua RT setempat. Air jernih jatuh dari pipa yang sengaja dibuat berlubang. Sekelompok anak kecil memegang dodorobe (senjata mainan dari bambu muda yang masih hijau) bermain dibawah pancurannya. Menurut perempuan setengah baya itu, air itu untuk minum, mandi, mencuci.

foto: NeMu (Lembah Palu dari Ngata Tompu)


Sunday, June 10, 2007

Prostitusi

Malam dingin (19/02). Hujan baru saja selesai. Ganti angin bertiup kencang. Kering. Seperti wajah Sri. Seperti kulitnya. Dia murung. Sepertinya belum dapat teman kencan. Percik ombak yang naik sesekali menitik. Tak juga menyapa, saya coba mendekat. Basa-basi salam, langsung tanya berapa tarif sekali kencan. 35 ribu. Tawar jadi 25. Deal. Dimana? Sri bilang diseberang. Telunjuknya mengarah ke kegelapan. Kira-kira harus jalan 50an meter ke ranjang. Dekat dari arah telunjuk lampu-lampu meremang. warna-warni. Dangdut mix berdentam silang sengkarut dari speaker-speaker murah. Juga didekat saya dan Sri. Hampir semua warung menawarkan jasa berkaraoke didepan tv 14 inch.

Kami bergegas. Masuk ke lorong gelap dibawah pohon ketapang yang lebat. Sedikit terang datang dari arah belakang rumah sakit Nndata. Lalu ke kamar papan dari rumah kayu petak. Tinggi kamar tidak sampai 2 meter, panjang lebarnya seukuran ranjang nomor 1. Ranjang Sri single. Tanpa seprei. Berdaki pula. Ada tong aspal yang dipotong setengah berisi air dan gayung yang mengapung diatasnya. Bohlam 5 watt.

Sri mengaku dari Surabaya. Rambut ikal sebahu. Tingginya mungkin 1 meter setengah. Tak mau kalah dengan yang high class, sekalipun terkesan aneh, fesyen sri malam itu baju tank top motif loreng tentara dengan rok renda selutut warna broken white. Sri tak mau bekerja di dilokalisasi Tondo karena disana kompetitif. Di Talise jauh lebih mudah cari pelanggan. Tapi itu kata koleganya menganjurkan. Sri memang belum pernah kesana, katanya. Masuk akal juga. Dibanding Tondo, akses ke Talise lebih dekat dari keramaian. Punya keluarga di Surabaya yang harus dikirimi uang setiap bulan. Anak-anaknya dipelihara orangtuanya. Kurang lebih 35an tahun umurnya. Saya hanya tak percaya Sri mengaku 25 sambil cekikikan.

Saya menunggu afirmasi Sri. Bahwa pelanggan harus pakai 'kaos kaki'. Mau tidak mau, suka atau tidak. Tidak datang juga. Sri bilang disini terserah laki-lakinya mau pakai kondom apa ndak. Tapi tak tersedia. Kios-kios didepan juga tak menjual. Hmmm... data update per Desember 2006 ada 5.230 kasus HIV dan 8.194 AIDS di Indonesia (yaids.com). Sulteng? 38 orang. 4 mati! (tempointeraktif 09/11/06). Lalu penggunaan kondom didunia esek-esek Indonesia berada dibawah 10 persen (citacinta 01/12/04, riset Family Health International yang diforward Baby Jim Aditya).

Selang beberapa hari kemudian, siang-siang (24/02), saya ke jalan Dayo Dara. Sebuah perkampungan prostitusi yang lebih populer dikenal sebagai Tondo Kiri. Ada tiga baris jalan yang melingkari perkampungan itu. Belum terlihat kesibukan. Sesekali kendaraan melintas pelan. Jalan diperkampungan itu belum diaspal. Bedak dingin. Khas betul mengakrabi siang itu.

Beruntung. Tak butuh waktu lama buat dapat teman ngobrol. Informatif pula. Seseorang mengamati. Saya mendekat. Namanya Nurdin. Mungkin hampir 40an tahun. Dengan kumis rapi bak kaisar Ming diserial Flash Gordon, Nurdin terkesan sangar. Tapi ternyata tidak. Laki-laki ini santun, dan terbuka. Saya memarkir motor dan masuk ke warungnya didepan rumahnya, beli air mineral cup dingin dan memulai basa-basi. Bugis Gorontalo akunya. punya 2 rumah disitu yang dikontrakan kamar-kamarnya. "Dari tahun 96," akunya lagi, menjelaskan awal kiprahnya ditempat itu. Tapi dia sudah sering jalan-jalan kesitu kira-kira sejak 80an akhir. Tak tahu dia pastinya.

Saya bertanya soal sejarah. Sebelum menjawab Nurdin balik tanya. Apa saya wartawan. Bukan. Bertanya dan jalan-jalan. Dua hal yang saya suka. Dia kurang puas. Mungkin memang jawaban saya menurutnya tetap seperti wartawan. Biar tidak deadlock, saya bilang bedanya saya tidak punya koran. Tapi saya suka menulis. Termasuk tentang jalan-jalan. Kami berdua tertawa bersama.

Setahunya mulanya hanya ada 5 kepala keluarga. Semua Jawa, yang sebelumnya tinggal liar di Talise, sekitar Palu Beach Hotel (sekarang Palu Golden). Lalu berkembang pesat. Informasi membikin banyak kerabat yang hidup minus berdatangan dari Jawa. Dia sudah tak lagi tahu diantara kepala keluarga yang dia maksud itu masih tinggal dilokasi itu atau tidak. Tapi dia menunjuk rumah-rumah semi permanen yang dibangun`pertama. Rata-rata menurutnya sudah direnovasi menjadi permanen. Termasuk rumah Nurdin.

Ditengah-tengah obrolan sesekali dia baku sedu, "mau masuk?" dia punya 3 anggota. Dia menyebutnya begitu untuk perempuan penjaja seks yang ada dirumahnya. Waktu itu yang bekerja cuma dua. Yang satu, kata Nurdin, "lagi dapat". semua anggotanya dari Jember. Dirumah yang satunya hanya ada dua. banyak kamar kosong yang belum terisi. Bersama isterinya, Nurdin menolak disebut mucikari. "Kita cuma bakase kontrak kamar." Ada yang 200, ada yang 300 ribu sebulan. Nurdin selalu menggunakan kita untuk mengganti aku atau saya.

Ada juga dukanya. Kata Nurdin. Itu kalau razia aparat. Biasanya provost, polisi, atau pol pp. Tapi pasti tidak terlalu susah mengatasi. Karena hanya soal saweran. Kalau lagi tidak ada (baca uang), bisa negosiasi. "Lihat saja tampanya, rame ndak?" razia suka datang kalau ada peristiwa. Baru saja disini ada pembunuhan. Tamu menikam. Setelahnya, hari-hari berikutnya rumah-rumah disatroni petugas. Duka lain soal arogansi. Pintu-pintu kamar ditendang, dibentak. Soal bahwa lokasi itu ilegal sejak dulu kala, Nurdin tak menampik. nurdin tahu soal polemik itu. Dia menyebut Alchaiirat. yang sejak dulu tak setuju.

Situasi politik berubah. Berdampak ke semua ranah. Termasuk harga kencan. Sejak reformasi, harga sekali kencan ada dua. 25 dan 50 ribu. Sebelumnya tiga. 5, 10 dan yang paling mahal 15 ribu.

Soal pakai kondom, juga ternyata sama kondisinya seperti di Talise. Nurdin menambahkan pernah ada LSM katanya, masuk kesini sosialisasi soal itu, sekaligus bagi-bagi. Juga penelitian dari Untad soal parkir. "Dari sini katanya besar juga dari parkir."

Matahari masih menatap. tapi tak lagi terlalu terik. Bau asin laut menyergap. Saya tanya rumah Nurdin yang satunya dimana. Dia berharap saya "tagate" disana. Hmmm...

Sampai ketika tulisan ini saya bayangkan selesai, saya diganggu sejarah lain: pohon asam di Tatura dekat pabrik olah kelapa dijalan Towua. Juga yang ada dijalan Gunung Bosa. Terakhir, tentang seks "abu-abu" di beberapa panti-panti pijat tradisional yang menyebar, juga lewat advetorial di koran-koran lokal dan yang eksis via panggilan, lewat tempat-tempat hiburan malam.

Foto: Brassai (Gyula Halasz)
Prostitute at angle of
Rue de la Reynie and Rue Quincampoix
From "Paris by Night"
1933
www.masters-of-photography.com

Warkop

Apa yang menarik dari sebuah kota? salah satu yang cukup penting buat saya adalah warung kopi (warkop). Bukan cuma karena saya memang penikmat minuman itu, tapi juga soal bahwa ada sesuatu yang memang menarik dari sana, membaca kota.

Meulaboh sebulan pasca tsunami. Pasar tradisional dan warkop, dua penanda kota itu, memberi kesan optimisme baru bahwa sebuah kota siap bergegas bersama bantuan kemanusiaan, dan para bule-bule dan pribumi pegiat ngo, aparat, dan warga lokal yang asyik bercengkerama dalam teguk kopi pekat Aceh yang khas. Sekalipun saya sempat juga membaca sinisme soal itu didinding sebuah gedung kantor yang kotor: kebiasaan nongkrong diwarkop adalah tidak baik, sebuah kemalasan, dan kemurkaan datang memperingati dengan wajahnya yang seram.

Belum terlalu lama sebuah stasiun tv menayangkan featurenya yang menarik tentang warkop enak di Pematang Siantar. Ada pelanggan setianya yang sudah mengunjungi warkop itu kurang lebih 20an tahun. Hmmm... saya juga ingat kopi cete di Tulungagung -air kopi yang dibatik ke batangan rokok kretek. Minumnya dengan piring cangkir dan bukan dengan cangkirnya. di Jogja kopi yang tradisional itu bisa dinikmati di warung-warung sego kucing. Ada yang sambil baca-baca dengan lampu minyak, yang diskusi, yang bicara dari tentang negara, kuliah sampai indekost. Yang sedikit berkantong tebal bisa ke kafe waralaba yang buka dikota-kota besar. Di Jakarta atau Bandung situasi-situasi diawal tulisan ini masih bisa didapatkan kebanyakan hanya dipasar-pasar tradisional. Di periphery. Kalaupun ada aktivitas bisnis yang melibatkan kopi dipusat, besar kemungkinan sajiannya instan -bukan kopi olahan, yang dinikmati oleh kebanyakannya para sopir angkutan umum, satpam, tukang parkir.

Lalu soal warkop di Palu. Saya menuju Maesa (10/01/07). Nama warkop itu Kurnia. Kata pramusajinya belum lama berdiri. Baru setahun lebih katanya. Saya memesan Black Coffee. Cuma ada dua model saji kopi disini. Dan hampir seluruhnya warkop begitu. Kopi atau kopi susu. Keduanya panas. Keduanya disaring. Tanpa ampas. Kedua-duanya dituang kedalam cangkir bening ceper yang klasik, Duralex. Menu lain nasi kuning, roti bakar atau telur rebus setengah matang. "Adam Air di Wentira" seorang bapak dengan kemeja biru khas instansi perhubungan dengan nada datar. Tak ditanya, tak ada yang sapa, informasi itu membuat si bapak jadi perhatian sejak masuk. Langsung menuju toilet dan setelah itu duduk. Kopi susu dan sepotong roti bakar diantar pramusaji. Sempat juga heran, padahal sebelumnya tak ada pemesanan. Belakangan saya sadar lalu yakin orang ini pelanggan setia. Saat itu jam 10 siang. Hmmm...

Diseberang meja sekelompok yang lain mengobrol hangat. Saya nguping. Soal proyek bangunan. Mungkin developer. Tapi sesekali perbincangan loncat ke kasus judi anggota DPRD Kota, belok ke selingkuh si ini dengan si itu.


Yang menarik disana soal diskusi imajiner. Ada banyak lontaran "kalo saya" yang dipakai berganti-ganti. Dari soal politik nasional hingga lokal dan aktornya, cerita-cerita selebritis, sampai yang macam kepala dinas, staf kantoran, atau orang-perorang yang sama sekali tidak saya kenal dilakoni. Sesekali dibuat monolog seolah-olah memang sedang terjadi dialog. Bahan obrolan juga bisa datang dari koran lokal yang disediakan pemilik warkop.


Kawan saya pernah menjelaskan soal pemetaan pengunjung warkop. Yang di Setiabudi itu sedikit elit. Pagi disana dikunjungi oleh beberapa orang penting di lembaga eksekutif, pengusaha media, atau beberapa kontraktor dengan nilai borongan yang juga elit. Di Maesa tempat yang saya kunjungi itu banyak oleh pegawai kantoran dan unidentified macam saya. Diseberang, tempat warkop-warkop tua kebanyakan biasanya dikunjungi pedagang-pedagang yang usahanya dekat dengan warkop-warkop itu. Mereka kebanyakan berdarah Tionghoa, India, Bugis. yang di Besusu, biasanya oleh para legislator. Konon banyak politisi-politisi formal sebelumnya informal dulu diwarkop. Semacam pra kawah candradimuka.


Kopinya? enak! diolah sendiri, kata seorang pemilik kopi diseberang. Dari mana asal biji kopinya? dia tak menjawab. Saya masuk ke dua pasar induk. yang punya stok banyak di Manonda. Pasok kopi kesini banyaknya dari dataran Gimpu dan Kulawi, kata penjualnya. Saya tanya jenisnya. Tak tahu. Tapi sepertinya Arabika. Bijinya pipih kecil. Tapi kualitasnya sepertinya kurang. Dipetik waktu cangkang bijinya belum berwarna merah (red crimson). Mungkin karena petani ingin cepat-cepat panen. Biji kopi dari Napu juga bagus kata banyak orang yang saya tanya. Tapi itu jaman perusahaan perkebunan Hasfarm. Sekilo? 14 ribu. Harga naik cepat dari sekilo 11 ribu. "Pembeli dari Banjarmasin beli banyak dari sini (baca: Palu)"


Saya beli seliter. dicuci, jemur, disongara, digrinder. Diseduh dengan air panas dan gula pasir, jadilah kopi tubruk. Uenak. Buka warkop juga nih...


Foto: radified.com

Friday, June 8, 2007

Perpusda


Ada mantan presiden Soeharto di gedung perpustakaan daerah. Menyampaikan sesuatu. Kurang lebih bahwa kegiatan membaca buku sama dengan makan dan minum. Primer. Saya berusaha berpikir positif. Mata saya tertumbuk di quote dengan cetakan tebal yang dipampang dipintu bagian depan gedung. Tidak tahu kapan dan dieven nasional apa penggalan itu diucapkan. Ah, tidak penting tahu soal itu.

Ada dua sayap ruang besar yang membagi gedung. Saya beranjak ke salah satunya. Siang yang sangat terik (21/12/06). Bikin sebenarnya kegiatan literasi jadi kurang bergairah. Tidak saja digedung itu, tapi juga kota ini. Berharap ada pendingin udara. Ada. Tapi tak dingin. mungkin rusak, atau tak dihidupkan. Untung angin sepoi dari arah depan, tepatnya dari arah gereja yang katanya tempat seorang pendeta ditembak, masuk pelan melalui jendela.

Saya tidak membaca. Hanya melihat-lihat keadaan sekitar ruang. Beberapa orang asyik membaca. Menulis. Ada anak-anak sekolah yang mendata-data buku. Mungkin magang. Tidak banyak. Dari sana saya bernapas panjang, hmmm, ada gairah, sekalipun tak massal.

Koleksi buku-buku juga lumayan, walaupun memang tak sebanyak dan tak secanggih digitalisasi perpustakaan CSIS di Tanah Abang, atau perpustakaan di depdiknas Sudirman -keduanya di Jakarta, yang katanya sudah bagus karena dikelola oleh individu-individu yang mencintai buku (pernah diulas dalam suplemen bulanan 'ruang baca' koran Tempo sebulan yang lalu). Tentang mutu buku, tentu saja relatif, dan itu artinya debatable.

Saya bisa saja bilang Da Vinci Code itu bagus, tapi buat orang lain itu bisa saja ditepis sebagai bidah atau tak bermutu. Tapi perasaan ingin tahu kebijakan perpustakaan milik negara menghadirkan buku-buku sangat ingin saya tanyakan. Sewot. Tapi urung. Saya tak jadi bertanya soal itu ke seorang staf yang menjaga.

Koleksi-koleksi lama saya pikir penting juga. Saya ketemu buku bagus, Small is Beautiful karya E. F. Schumacher cetakan pertama atau sejarah pemerintahan daerah sejak kemerdekaan. Berpindah ke sayap ruang yang lain saya menuju ke rak sastra. Hanya ada satu rak, beberapa dari genre buku yang tak sama campur disana.

Saya ketemu buku lama yang juga bagus. Judulnya mempertimbangkan tradisi. Penulisnya WS. Rendra. Saya membaca pengantarnya. Penting, karena ide-ide lama yang bernas itu masih kontekstual hingga sekarang. Melipat ruang waktu, melampaui jaman dan umur penulisnya. Disudut ruang yang lain ada koran, majalah, buletin, dan terbitan berkala lain dari segala macam penerbit.

Tapi sayang, beberapa tak update, dan tak ada ada koran Tempo. Beberapa hari sebelumnya saya sempat mengunjungi sebuah agensi yang buat banyak orang representatif. "Koran tempo te ada di Palu", katanya, "ooo...". disini yang saya tahu hanya ada Kompas, Media Indonesia, Republika, Surya, Fajar, dari kota lain, dan koran-koran lokal. Sebagian itu bisa dibaca diperpusda.

Sebelum saya beranjak keluar untuk pulang, saya bertemu lagi dengannya. Sebuah buku. Judulnya Soeharto dan Anak-anak. Lalu, saya harus pulang. Quote dipintu depan itu seolah menghardik saya untuk pamitan.

Foto: NeMu (Gerbang Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah)

Wednesday, June 6, 2007

PLN


Negara, lewat agen-agen birokrasinya, sesekali suka bolos dikota ini. Kira-kira sejak jam 18.00 sampai 22.00 (12/12/06) listrik padam. Tidak disemua rumah-rumah dikota ini, mungkin. Beberapa orang mengiyakan. Dan biasanya memang selalu begitu. Sebelumnya (08/12/06) juga sama. Listrik dipadamkan. Ada kisaran 4 hari untuk urusan ini negara hadir dan lalu bolos lagi. Seperti ketika kota-kota besar lainnya yang pasokan listriknya suka ngadat karena berbagai alasan. Rusak pembangkit, atau pasokan minyak dari Pertamina -juga agen negara ini, telat datang. Ngelesnya kadang "technical erorr" Lalu ada pembagian serupa jatah untuk wilayah tertentu yang harus dimenangkan dan yang lainnya dibuat sebaliknya. "katanya pltd-nya rusak" seseorang lain menambahkan. Lalu, "dulu ada bantuan asing untuk mesin pembangkit tenaga air. Mau ditaruh disalah satu danau, warga sekitar danau diadvokasi untuk menolak. Bantuan mesin pindah ke tetangga di selatan."

"?"

Bolos, dan itu artinya warga harus punya bujet lebih untuk menyediakan lilin yang mudah-mudahan tidak dikelola negara menjadi bumn baru, menjadi, misalnya, perusahaan lilin negara. Juga harus saving dimasa depan untuk keperluan servis barang elektronik rumahan yang, konon, bakal rusak dikemudian hari karena sedang on dan lalu off mendadak gara-gara listrik mati. Lifetime elektronik di remisi negara yang sesekali bolos ini. Saya tidak tahu dengan yang sekelas pabrik atau kantor yang lembur, bagaimana kalkulasi ruginya waktu lampu mati dan mesin mati, komputer, printer, mati.

Karena bolos artinya kurang lebih tidak hadir tanpa konfirmasi, atau hadir lalu pergi diam-diam, seorang penjaga warnet yang saya tanya waktu online setelah listrik hidup bilang, "te ada pemberitahuan"


Saya jadi ingat jaman sekolahan. Kalau murid bolos lebih dari ketentuan sekolah, konsekuensinya sang murid dikeluarkan atau tidak naik kelas saat rapor dibagikan. Terus, bagaimana kalau negara yang bolos?


Good newsnya mungkin tidak akan lama lagi, kabarnya Januari, kata seseorang, sebuah pembangkit listrik akan segera diresmikan. Oleh RI 1. "Hmmm..."


Lainnya, saya bisa enreyen dvd player yang baru saya beli sesaat sebelum listrik mati dan memutar cakram dvd bajakan konser U2 di Boston. Sepenggal lirik Bob Marley dinyanyikan lantang Bono dikonser itu, "get up stand up, stand up for your rights, get up stand up, dont give up the fights." Saya membayangkan sesuatu. Didalam sebuah kelas dan seluruh murid beraksi. Gara-garanya gurunya yang suka bolos. Hmmm...

Foto: NeMu (Balai Desa Biromaru)

Postingan Sebelumnya..