Wednesday, June 27, 2007

Togean


Saya sedang tidak ingin ikut-ikutan hiperbola, seperti poster-poster yang saya temui dibeberapa tempat makan di Ampana, ibukota kabupaten Tojo Una-Una malam itu (15/0607). Hidden Paradise. Begitu judulnya. Beberapa lokasi diposter itu dibuatkan sejumlah inset-inset kecil lengkap dengan penjelasannya. Konon, seorang avonturir asing pernah bilang Karibia di Asia.

Ini perjalanan pertama saya kesana. Togean.

Esoknya, Sabtu cerah. Setelah 4 jam dari Ampana, kapal motor Lumba-Lumba Sejati merapat dipelabuhan Wakai. Kapal berkecepatan 40 km per jam itu mengayun tenang dilaut yang siang itu tidak begitu berombak. Jumat kapal-kapal tak melaut. Semacam mitos, mungkin. Hmmm…


Di Wakai. Sebuah speed boat putih parkir disisi lain pelabuhan. Kata kawan boat itu akan mengantar ke tempat tujuan. Ke Kadidiri. Dengan kekuatan 80 pk –dengan 2 mesin yang tiap mesinnya berkekuatan 40 pk, boat itu melaju kencang menabrak-nabrak ombak. Kurang lebih 70an km per jam. Takut, takjub, entah. Ipod saya gantung ke telinga. Sedikit mengatasi. Terlebih setelah intro Welcome to My Paradisenya Steven and Coconut Treez memenuhi kepala. Semua perasaan yang campur aduk itu terobati. Dari dekat boat yang setengah terbang itu, biota-biota laut terlihat telanjang. Bening. Semakin kedalam terlihat semakin kehijau-hijauan.


Boat sampai dalam 30 menit. Pelan-pelan boat mendekat ke sebuah cottage dan karam dipasir putih.


Hanya ada satu kata. Saya meminjam sepenggal sajak Wiji Thukul untuk menegaskan sebuah kata. Tapi bukan Lawan, seperti yang semestinya. Apa yang harus saya lawan ditempat yang indah itu. Yang ada pasrah. Pada keindahan.

Seorang kawan menyela, imajinasi yang tak sampai.

Empat bule berdiri dari duduknya diresto cottage. 3 pria, dan seorang perempuan pirang bercelana pendek ketat dan backless hitam. Hmmm… Seorang pria mendekat. Tak berbaju. Botak, badannya kekar bertato. “Welcome to Black Marlin Dive…” Instruktur diving berkebangsaan Jerman. Suaranya berat. “Hello”, saya membalas. Namanya Wolf. Dia mengajari tamu-tamu yang datang kesana dan ingin menyelam. Dia juga orang yang paling sewot jika melihat ada orang yang memancing diseputaran cottage. Tak terkecuali tamu atau pegawai cottage. Tak boleh memancing dekat situ. Ada benarnya. Ikan-ikan aneh yang tak pernah ditemui sebelumnya jadi tak enggan merapat kesana. Praktik penggunaan bom oleh nelayan tradisional masih suka terjadi. Itu kata pegawai kapal motor yang saya tumpangi ke Wakai. Bukan hanya ikan-ikan kecil yang dipastikan mati, saya membayangkan terumbu karang yang hancur. Tradisional kok kenal bom ya? Mungkin perlu juga sosialisasi bahwa dibawah laut sana ada kehidupan. Dengan cara yang mudah seperti Sponge Bob, Square Pants, dan kawan-kawannya yang lain.


Black Marlin Dive. Nama tempat itu. Nama seeekor ikan yang mulutnya runcing dan sirip-sirip yang seperti sayap. Kurang lebih ada 15 kamar disana. Dibuat eksotis. Nyaris semua bahan bangunan didominasi kayu berpelitur, kamar mandi yang unik berlantai batu dengan shower, kloset duduk dan wastafel. Ranjang yang empuk berkelambu. Didepan kamar ada gantungan buat bermalas-malasan. Cocok buat yang berpasangan. Apalagi yang bulan madu. Hmmm…


Ada mini hall buat nonton bareng, 1 set meja bilyar, gudang berisi tabung-tabung dan peralatan menyelam. 10 meter dari sana, sebuah dermaga kecil memanjang. Menghadap laut yang sejauh mata memandang tak ada apapun. Diam dan tenang. Seperti orang yang sedang menunggu dermaga kecil yang adem itu. Yang lebih menarik lagi, ada mini library yang menyatu dengan kantor cottage. Buku-buku berjajar rapi. Hanya ada dua bahasa dari buku-buku itu. Jerman dan Inggris. Paling banyak novel dan informasi soal ikan-ikan, terumbu karang. Seperangkat audio, globe, peta besar, dan sekelompok anjing jinak. Salah satu yang kuakrabi bernama Scuba.


Fadel Mohamad, Ginandjar Kartasasmita, sampai Tomy Winata pernah nginap disana. Ketika itu Megawati sedang kunjungan. Tapi hanya sampai Wakai. Pada 11 Oktober 2003. Canang-mencanang. Simbolisme khas birokrasi kita. Gerakan Mina Bahari plus himbau-himbau bersih pantai dan gerakan makan ikan. Hmmm… Yang terakhir, kata Said seorang pegawai Black Marlin, Prita Laura, mereka temani diving untuk liputan Metro TV.


Dari awal saya sudah membayangkan siap jadi stateless ketika menginjakkan kaki pertama kali ditempat itu. Juga siap melupakan satu hal: hari. Setelah makan malam, minuman beralkohol disiapkan. Sebotol whiskey Jack Daniels, 2 botol vodka Tanduay, beberapa kaleng coke dan es batu yang dipecahkan. Sting mengalun perlahan. I’m an Alien, I’m a legal Alien, I’m an Englishmen in New York, ooo…


Lalu mata sembab. Sesekali berasa kencing. Nudis. Saya turun kelaut. Diatas sana bintang-bintang bertaburan.


Saya tak sendiri. Ada beberapa kawan. Sekali lagi, Imam Sofyan, dosen yang funky itu. Partner yang asyik buat perjalanan. Tak terlalu berkesan akademis, kawan yang satu ini berusaha membumi, turun dari menara gading universitas dengan menarik benang-benang merah yang terjadi atas perjalanan sebagai bahan untuk menjelaskan politik sebagai konsentrasi keilmuannya. Lalu Kiki Borman. Kawan sejak taman kanak-kanak hingga sekarang. Ide perjalanan kali ini kuat datang dari dia. Dan Yaya Mustaqim. Seorang Web Designer. Yang diawal tulisan ini katanya imajinasinya tak sampai ke kawan saya yang lain, yang terakhir, Nudin, seorang pegiat lingkungan dengan konsentrasi bahari. Anggota komisi pemilu yang berkantor di Ampana. Banyak informasi juga cerita-cerita penting datang darinya. Terima kasih banyak atas semua interaksi yang terjadi dengan kalian. Hmmm…

Semua suka laut. Dan yang jauh lebih chemistry lagi, suka perjalanan. Juga musik. Malam kedua kami habiskan di dermaga dengan gitar kopong, lagu-lagu Ambon dan berbotol-botol Lucky Brand, semacam anggur putih rasa karamel yang kadar alkoholnya 14 persen. Siang hingga petang kami habiskan dengan snorkling. Dengan duapuluh ribu rupiah, kacamata air dan selang siap melingkar dikepalamu seharian. Untuk sekali diving 30 dollar US. Soal ada yang ingin tetap berkomunikasi selular, sebaiknya menggunakan operator Indosat. Hanya ada operator seluler itu disana. Itu pun tidak untuk semua spot di Black Marlin.


“Sejak konflik Poso, turis jarang. Kalo kasini dorang maso dari Gorontalo, lea,” kata Ipul pegawai cottage. Black Marlin buka reservasi di Gorontalo. “Tapi mudah-mudahan bulan depan rame, lea. Ada festival Togean tanggal 23 Juli.” Ipul menambahkan. Dengan kapal feri yang singgah di Wakai dari Gorontalo, para turis bisa mengakses Kadidiri dan tempat-tempat lain di Togean. Ada gugusan pulau-pulau besar disana. Ada Batudaka, Tolatakoh, Togean dan Una-Una. Beberapa spot diving menyebar digugusan pulau-pulau ini. Cottage-cottage banyak disebaran Togean. Dengan hak guna usaha, beberapa cottage disana dikelola oleh WNA.


Tapi Nudin gerah. Dan memang begitu karakter kawan yang satu itu. “Yang mo ditampilkan itu-itu lagi. Menari-menari. Tidak nyambung. Padahal ada yang jauh lebih menarik. Misalnya mengeksplorasi Bad Fish yang disukai turis-turis.” Nadanya sedikit tinggi. Bad Fish, ikan dengan wajah yang tidak menyerupai biasanya ikan. Belum lagi terumbu karang khas Togean. Kata Nudin penjelasan soal terumbu karang khas Togian yang ada diposter yang kemarin saya lihat itu salah.


Dua hari yang mengasyikan. Kami beranjak pulang. Semua punya kesan. Saya tertusuk bulu babi. Kawan yang lain kakinya sobek menginjak karang. Ada yang terbakar kulit wajahnya. Harusnya memang pakai krim sunblock. Tapi itu tanda, kata Yaya, jadi lebih bisa dipercaya saat bercerita pulang nanti. Diatas boat yang bergoyang kami tertawa bersama. Asal tak menginjak Stonefish, kata Ais, pengelola Black Marlin. Sejenis ikan yang hidup berkamuflase dengan karang. Siripnya berbisa. Racun bekerja cepat membunuh orang yang tertusuk siripnya. Bulu Babi yang kuinjak disarankan hanya dengan mengencingi tempat yang tertusuk. Jenis karang purin juga sakit kalau terinjak. Itu karena kami snorkeling tak memakai sepatu katak yang terbuat dari bahan karet yang tebal.

Sepenggal kalimat dari sajak yang saya pinjam untuk kemudian menegaskan sebuah kata pengganti kata lawan diakhir sajak itu tetap tidak juga datang. Hmmm…

Catatan:
Dari kota Palu ke pulau Togean (dalam hitungan per orang dan dengan mata uang Rupiah) dapat menggunakan minibus dengan tarif 40 ribu. Dengan mobil travel 100 ribu, selama 7-8 jam sampai ke Ampana, melewati Kabupaten Parigi Moutong dan Poso. Dari Ampana menggunakan kapal motor selama 4 jam ke Wakai. Tarif 40 ribu. Dari Wakai 30 menit ke Kadidiri, Togean, dengan speed boat milik cottage tempat tujuan. Di Black Marlin Dive di Kadidiri, Togean, rate untuk 1 malam untuk kamar standar 120 ribu. Untuk yang deluxe 150 ribu, sudah termasuk makan 3 kali sehari.

Reservasi Black Marlin Dive:

blackmarlindive@gmail.com

Alamat: Jalan Panjaitan nomor 90a, Gorontalo, 95116

Telp/Fax: 0435-831869

Website: www.blackmarlindive.com

Foto-foto: NeMu (Black Marlin Dive, kadidiri, Togean)

Tompu


Saya curiga Katon Bagaskara pernah kesitu. Ke sebuah kampung –desa menurut administrasi pemerintahan modern, ngata dalam bahasa orang-orang disitu –Kaili Ledo. Tempat itu bernama Tompu.

Katon?

Ini tentang lagu negeri diatas awan, disuatu senja yang basah (31/05/07). Kawanan awan yang berarak, tipis, dibawah sana lembah Palu terbentang. Garis teluk yang tegas serupa elips yang memanjang. Kami (saya bersama seorang dosen politik, Imam Sofyan, dan seorang mahasiswa pecinta alam, Nunung, keduanya dari Fisip Universitas Tadulako) berada diatas awan yang pelan-pelan bergerak itu. Juga sekawanan burung pipit yang berkejaran diatasnya.

Ngata Tompu berada didekat Ngata Baru, lokasi penghijauan, sebelah timur dari arah kota Palu. Masuk dalam wilayah kecamatan Biromaru, Tompu berjarak kurang lebih 25 km dari Palu. Tapi jarak yang relatif pendek itu menyita waktu tempuh kurang lebih 2 jam dengan sepeda motor. Karena masih jalan setapak tak beraspal dan selalu becek, Tompu hanya dapat diakses dengan sepeda motor atau berjalan kaki. Tak ada listrik disana. Simbol modernisasi putus sejak belokan pertama dari Ngata Baru, tepat didesa Kapopo.

Tapi tak putus-putus benar simbol itu. Atribut politik hadir disana. Dari baju-baju parpol atau poster pilkada gubernur, walikota, pemilu DPRD, DPD sampai presiden ada.

Tompu terbagi atas beberapa Boya (dusun), yang buat saya rasanya lebih dekat ke dukuh dalam terminologi Jawa, satuan terkecil dari sekumpulan orang yang hidup bersama. Saya naik hingga Boya terakhir di Kalinjo.

Berada diketinggian 800an meter dari permukaan laut, suhu Tompu berkisar diantara 15-20 derajat celcius.

Dengan 2 motor bebek, kami seperti sedang balapan grass-track. Ini yang membuat waktu tempuh menjadi lama. Butuh sedikit keahlian berkendara. Dibeberapa titik jalan, jurang ditutupi semak-semak liar.

Sesampai di Kalinjo, kami bertemu dengan beberapa warga yang baru pulang dari berkebun. Meski tak berlahan besar mereka berkebun coklat, ada yang merotan. Juga menanam rica atau kemiri untuk dijual ke pasar di Biromaru. Terakhir kami mampir dirumah Pakadus. Mungkin akronim dari Bapak Kepala Dusun. Waktu kenalan dia tak menyebut nama. Kata Nunung dia juga sering memanggil laki-laki setengah baya itu begitu. Pakadus.

Dari rumah panggungnya yang kokoh, dengan bahan kayu dan beratap rumbia –semua rumah disana berarsitektur sama, kami duduk diserambi yang hangat. Lampu teplok dinyalakan. Perbincangan kami seringkali ditingkahi lagu-lagu tradisional tanpa alat musik yang didendangkan oleh anak-anak perempuan remaja meninabobokan adiknya. Juga semacam serangga entah yang hinggap dipohon kelapa dengan repetisi suara yang keras dan intens. Waktu menunjukkan Pukul 19.30.

Bahasa Indonesianya patah-patah. Obrolan kami kearah seputar cara hidup. Tentang air. Tentang bagaimana warga Tompu memperlakukan air disepanjang aliran sungai Ngia yang melewati kampung mereka dari mata air dihulu hingga kerumah-rumah warga dihilir, di Ngata Baru, seperti cerita Nunung sebelumnya pada saya. Ini yang membuat saya penasaran.

Kearifan lokal. Tanpa disadari kadang bisa lebih rasional dan etik dari modernitas. Konvensional, kebanyakan dilakoni secara tidak literal. Pada alam, misalnya. Mereka telah melaksanakan kata itu. Beberapa laku adat disana dipaparkan dengan baik oleh Pakadus. Misalnya tentang filosofi orang atas yang harus menjaga air untuk orang bawah. Biner atas-bawah secara harfiah mungkin memang beroposisi. Tapi dalam konteks air sungai Ngia itu tentu saja tidak.

Air sungai Ngia itu mengalir hingga ke Ngata Baru. Ada bak air besar di Kapopo yang menampung air itu untuk kemudian sebuah pipa berdiameter lebar melintasi desa dan membawa air-air bersih itu ke pipa-pipa kecil dirumah warga.

Ada kesepakatan adat disana tentang pelestarian lingkungan sepanjang aliran air sungai Ngia sejak Vana (wilayah inti yang menjadi titik-titik mata air). Disepanjang itu tak boleh ada kegiatan apapun baik untuk bertani ladang atau untuk kebutuhan warga Tompu itu sendiri. Kebutuhan air bersih untuk konsumsi warga Tompu berasal dari banyaknya mata-mata air yang mengalir dari punggung-punggung bukit, yang dialirkan melalui batang-batang bambu ke rumah-rumah.

Yang melanggar itu akan kena Novaya. Sanksi adat berupa 1ekor kambing. Itu untuk sanksi yang ringan seperti menebang pohon-pohon muda macam pisang. Yang berat bisa 1 ekor kerbau atau yang nilainya sama dengan itu, 5 ekor kambing.

Pernah suatu waktu mereka bersitegang dengan beberapa warga yang mengaku tinggal di Ngata Baru. Soal rencana perkebunan coklat didekat aliran sungai Ngia. Kata Pakadus setelah nyaris konflik fisik itu terjadi, sampai sekarang rencana itu tak kunjung terlaksana.

Tak lama kami disana. Karena malam sebentar lagi tua. Pakadus meminta kami menginap disana. Tak ada rencana menginap, kami memaksa untuk tetap pulang. Sebelum kami pulang, bersama isterinya Pakadus menyiapkan kami makan. Begitu lezatnya. Nasi jagung dan irisan pisang setengah matang yang dikuah santan. Kami jadi tak enak hati karena merepotkan. Mereka malah tersinggung kalau tak dimakan. Selain memang lapar, saya takut ada bagian dari kebiasaan ini yang berhubungan dengan sanksi adat. Serupa pamali dalam mitos awam.

Sebelum kami pulang Pakadus menyebut sebuah lembaga. Bantaya. Saya bisa dapat banyak informasi tentang mereka disana, katanya. Dia juga memberi saya Pare’e, alat musik tradisional Kaili yang terbuat dari bambu yang bentuknya seperti garpu tala.

Selang berapa hari setelah berkunjung kesana saya ke Perkumpulan Bantaya. Lembaga yang konsern ke masyarakat adat. Beberapa referensi tentang Tompu ingin saya dapat dan gali dari sana. Perpustakaan yang baik. Buku-buku terdata. Setelah berkenalan dan berbincang sekadar dengan beberapa kawan baru, saya diberi dua bacaan yang berhubungan dengan Tompu. Satu serupa newsletter. Tesa Ri Bantaya namanya. Edisi 7, November 2003 berjudul Pembaruan Desa, Menata Masa Depan Bersama. Yang satunya buku jurnal kompilatif yang diterbitkan lembaga itu bersama Yayasan Kemala di Jakarta. Judulnya Catatan dari desa tentang desa. Kedua hardcopy bacaan itu boleh saya bawa untuk difotokopi, dan segera dipulangkan. Hmmm…

Saya membaca sejarah panjang Tompu dari dua bacaan itu. Tentang asal-muasal Tompu yang berasal dari kata potompu nubengga yang artinya tempat berkubangnya kerbau. Yang menarik saya mengingat penjelasan Pakadus tentang asal-muasal manusia yang menurutnya dari sana. Serupa tesis baru yang berdiri sejajar dengan teori Darwin atau agama-agama monoteis. Salah satu bacaan menguatkan tesis itu. Tompu diciptakan oleh Tupu A’ta (Maha Kuasa) yang menjelma menjadi Nebete, leluhur orang Tompu.

Eksistensi Tompu juga tak kalah panjangnya. Digerus sejak Belanda menguasai Sigi Biromaru pada 1927, Tompu dijajah oleh karena kepentingan damar, kulit kayu manis dan kemiri. Menjadi otonom setelah Indonesia merdeka, Tompu memiliki struktur pemerintahan yang pemimpinnya (totua ngata) dipilih langsung. Orde baru menjadi penjajahan jilid berikutnya bagi Tompu. Struktur pemerintahan bubar pada 1975 ketika resettlement paksa diberlakukan. Sebagian yang lain eksodus.

Mengembalikan Tompu sebagai ngata yang otonom adalah cita-cita warga Tompu. Alasan historislah yang menguatkan cita-cita itu.

Saya balik lagi kesana. Tapi tidak ke Tompu. Hanya sampai di Ngata Baru, di Kapopo. Seorang perempuan menunjuk tempat. Dia isteri ketua RT setempat. Air jernih jatuh dari pipa yang sengaja dibuat berlubang. Sekelompok anak kecil memegang dodorobe (senjata mainan dari bambu muda yang masih hijau) bermain dibawah pancurannya. Menurut perempuan setengah baya itu, air itu untuk minum, mandi, mencuci.

foto: NeMu (Lembah Palu dari Ngata Tompu)


Postingan Sebelumnya..