Wednesday, June 27, 2007

Tompu


Saya curiga Katon Bagaskara pernah kesitu. Ke sebuah kampung –desa menurut administrasi pemerintahan modern, ngata dalam bahasa orang-orang disitu –Kaili Ledo. Tempat itu bernama Tompu.

Katon?

Ini tentang lagu negeri diatas awan, disuatu senja yang basah (31/05/07). Kawanan awan yang berarak, tipis, dibawah sana lembah Palu terbentang. Garis teluk yang tegas serupa elips yang memanjang. Kami (saya bersama seorang dosen politik, Imam Sofyan, dan seorang mahasiswa pecinta alam, Nunung, keduanya dari Fisip Universitas Tadulako) berada diatas awan yang pelan-pelan bergerak itu. Juga sekawanan burung pipit yang berkejaran diatasnya.

Ngata Tompu berada didekat Ngata Baru, lokasi penghijauan, sebelah timur dari arah kota Palu. Masuk dalam wilayah kecamatan Biromaru, Tompu berjarak kurang lebih 25 km dari Palu. Tapi jarak yang relatif pendek itu menyita waktu tempuh kurang lebih 2 jam dengan sepeda motor. Karena masih jalan setapak tak beraspal dan selalu becek, Tompu hanya dapat diakses dengan sepeda motor atau berjalan kaki. Tak ada listrik disana. Simbol modernisasi putus sejak belokan pertama dari Ngata Baru, tepat didesa Kapopo.

Tapi tak putus-putus benar simbol itu. Atribut politik hadir disana. Dari baju-baju parpol atau poster pilkada gubernur, walikota, pemilu DPRD, DPD sampai presiden ada.

Tompu terbagi atas beberapa Boya (dusun), yang buat saya rasanya lebih dekat ke dukuh dalam terminologi Jawa, satuan terkecil dari sekumpulan orang yang hidup bersama. Saya naik hingga Boya terakhir di Kalinjo.

Berada diketinggian 800an meter dari permukaan laut, suhu Tompu berkisar diantara 15-20 derajat celcius.

Dengan 2 motor bebek, kami seperti sedang balapan grass-track. Ini yang membuat waktu tempuh menjadi lama. Butuh sedikit keahlian berkendara. Dibeberapa titik jalan, jurang ditutupi semak-semak liar.

Sesampai di Kalinjo, kami bertemu dengan beberapa warga yang baru pulang dari berkebun. Meski tak berlahan besar mereka berkebun coklat, ada yang merotan. Juga menanam rica atau kemiri untuk dijual ke pasar di Biromaru. Terakhir kami mampir dirumah Pakadus. Mungkin akronim dari Bapak Kepala Dusun. Waktu kenalan dia tak menyebut nama. Kata Nunung dia juga sering memanggil laki-laki setengah baya itu begitu. Pakadus.

Dari rumah panggungnya yang kokoh, dengan bahan kayu dan beratap rumbia –semua rumah disana berarsitektur sama, kami duduk diserambi yang hangat. Lampu teplok dinyalakan. Perbincangan kami seringkali ditingkahi lagu-lagu tradisional tanpa alat musik yang didendangkan oleh anak-anak perempuan remaja meninabobokan adiknya. Juga semacam serangga entah yang hinggap dipohon kelapa dengan repetisi suara yang keras dan intens. Waktu menunjukkan Pukul 19.30.

Bahasa Indonesianya patah-patah. Obrolan kami kearah seputar cara hidup. Tentang air. Tentang bagaimana warga Tompu memperlakukan air disepanjang aliran sungai Ngia yang melewati kampung mereka dari mata air dihulu hingga kerumah-rumah warga dihilir, di Ngata Baru, seperti cerita Nunung sebelumnya pada saya. Ini yang membuat saya penasaran.

Kearifan lokal. Tanpa disadari kadang bisa lebih rasional dan etik dari modernitas. Konvensional, kebanyakan dilakoni secara tidak literal. Pada alam, misalnya. Mereka telah melaksanakan kata itu. Beberapa laku adat disana dipaparkan dengan baik oleh Pakadus. Misalnya tentang filosofi orang atas yang harus menjaga air untuk orang bawah. Biner atas-bawah secara harfiah mungkin memang beroposisi. Tapi dalam konteks air sungai Ngia itu tentu saja tidak.

Air sungai Ngia itu mengalir hingga ke Ngata Baru. Ada bak air besar di Kapopo yang menampung air itu untuk kemudian sebuah pipa berdiameter lebar melintasi desa dan membawa air-air bersih itu ke pipa-pipa kecil dirumah warga.

Ada kesepakatan adat disana tentang pelestarian lingkungan sepanjang aliran air sungai Ngia sejak Vana (wilayah inti yang menjadi titik-titik mata air). Disepanjang itu tak boleh ada kegiatan apapun baik untuk bertani ladang atau untuk kebutuhan warga Tompu itu sendiri. Kebutuhan air bersih untuk konsumsi warga Tompu berasal dari banyaknya mata-mata air yang mengalir dari punggung-punggung bukit, yang dialirkan melalui batang-batang bambu ke rumah-rumah.

Yang melanggar itu akan kena Novaya. Sanksi adat berupa 1ekor kambing. Itu untuk sanksi yang ringan seperti menebang pohon-pohon muda macam pisang. Yang berat bisa 1 ekor kerbau atau yang nilainya sama dengan itu, 5 ekor kambing.

Pernah suatu waktu mereka bersitegang dengan beberapa warga yang mengaku tinggal di Ngata Baru. Soal rencana perkebunan coklat didekat aliran sungai Ngia. Kata Pakadus setelah nyaris konflik fisik itu terjadi, sampai sekarang rencana itu tak kunjung terlaksana.

Tak lama kami disana. Karena malam sebentar lagi tua. Pakadus meminta kami menginap disana. Tak ada rencana menginap, kami memaksa untuk tetap pulang. Sebelum kami pulang, bersama isterinya Pakadus menyiapkan kami makan. Begitu lezatnya. Nasi jagung dan irisan pisang setengah matang yang dikuah santan. Kami jadi tak enak hati karena merepotkan. Mereka malah tersinggung kalau tak dimakan. Selain memang lapar, saya takut ada bagian dari kebiasaan ini yang berhubungan dengan sanksi adat. Serupa pamali dalam mitos awam.

Sebelum kami pulang Pakadus menyebut sebuah lembaga. Bantaya. Saya bisa dapat banyak informasi tentang mereka disana, katanya. Dia juga memberi saya Pare’e, alat musik tradisional Kaili yang terbuat dari bambu yang bentuknya seperti garpu tala.

Selang berapa hari setelah berkunjung kesana saya ke Perkumpulan Bantaya. Lembaga yang konsern ke masyarakat adat. Beberapa referensi tentang Tompu ingin saya dapat dan gali dari sana. Perpustakaan yang baik. Buku-buku terdata. Setelah berkenalan dan berbincang sekadar dengan beberapa kawan baru, saya diberi dua bacaan yang berhubungan dengan Tompu. Satu serupa newsletter. Tesa Ri Bantaya namanya. Edisi 7, November 2003 berjudul Pembaruan Desa, Menata Masa Depan Bersama. Yang satunya buku jurnal kompilatif yang diterbitkan lembaga itu bersama Yayasan Kemala di Jakarta. Judulnya Catatan dari desa tentang desa. Kedua hardcopy bacaan itu boleh saya bawa untuk difotokopi, dan segera dipulangkan. Hmmm…

Saya membaca sejarah panjang Tompu dari dua bacaan itu. Tentang asal-muasal Tompu yang berasal dari kata potompu nubengga yang artinya tempat berkubangnya kerbau. Yang menarik saya mengingat penjelasan Pakadus tentang asal-muasal manusia yang menurutnya dari sana. Serupa tesis baru yang berdiri sejajar dengan teori Darwin atau agama-agama monoteis. Salah satu bacaan menguatkan tesis itu. Tompu diciptakan oleh Tupu A’ta (Maha Kuasa) yang menjelma menjadi Nebete, leluhur orang Tompu.

Eksistensi Tompu juga tak kalah panjangnya. Digerus sejak Belanda menguasai Sigi Biromaru pada 1927, Tompu dijajah oleh karena kepentingan damar, kulit kayu manis dan kemiri. Menjadi otonom setelah Indonesia merdeka, Tompu memiliki struktur pemerintahan yang pemimpinnya (totua ngata) dipilih langsung. Orde baru menjadi penjajahan jilid berikutnya bagi Tompu. Struktur pemerintahan bubar pada 1975 ketika resettlement paksa diberlakukan. Sebagian yang lain eksodus.

Mengembalikan Tompu sebagai ngata yang otonom adalah cita-cita warga Tompu. Alasan historislah yang menguatkan cita-cita itu.

Saya balik lagi kesana. Tapi tidak ke Tompu. Hanya sampai di Ngata Baru, di Kapopo. Seorang perempuan menunjuk tempat. Dia isteri ketua RT setempat. Air jernih jatuh dari pipa yang sengaja dibuat berlubang. Sekelompok anak kecil memegang dodorobe (senjata mainan dari bambu muda yang masih hijau) bermain dibawah pancurannya. Menurut perempuan setengah baya itu, air itu untuk minum, mandi, mencuci.

foto: NeMu (Lembah Palu dari Ngata Tompu)


No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..