ehow.com, connection humanity on empathy |
KATA
empati, serapan yang asalnya dari bahasa
Inggris, Empathy itu memang sudah diadopsi sebagai bahasa nasional dan masuk
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti kata itu dalam KBBI adalah
kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain.
Hari-hari
ini, bahkan mungkin sudah lama, ada gejala ketika kata-kata kehilangan makna.
Serupa mantra, kata itu tak lagi punya daya. Hanya sekadar kata, sekadar bunyi,
tanpa definisi.
Contoh makna
kata yang hilang itu ada pada saat saya sedang memikirkan apa yang akan saya
tuliskan minggu ini. Saya berhadapan dengan situasi ketika banyak pesan
berantai yang dikirimkan kerabat, kawan, isinya tentang berita pesawat Sukhoi
yang jatuh itu.
Bukan
soal beritanya. Soalnya ada pada empati, kemampuan menghadapi perasaan dan
pikiran orang lain atas isi berita Sukhoi itu. Saya yakin kita bersepakat bahwa
pesawat jatuh itu adalah tragedi dan bukan parodi, upaya mencari sisi lain yang
jenaka dari tragedi. Muncul gejala anekdotal yang berkesan kreatif, dengan
begitu seolah jadi alternatif, menyikapi tragedi. Ada cerita, ada gambar.
Termasuk pada berita Sukhoi yang jatuh itu.
Saya
tidak sedih, misalnya sampai harus menitikkan airmata atas kejadian Sukhoi yang
jatuh itu. Tak ada keluarga atau kerabat saya yang jatuh di pesawat itu.
Sekalipun begitu, ada sesuatu yang entah apa namanya dalam diri saya yang
membetik bertanya-tanya tanpa tendensi harus dapat jawaban: bagaimana dengan
keluarga dari orang-orang yang ada dalam pesawat itu, apa yang mereka rasakan
saat itu. Naluri dasar yang menerabas batas-batas biologis dan geografis.
Karena sesama manusia dan imaji . Dalam konteks ini, media kerap hadir dan
tidak jarang lebay, berlomba-lomba mengeksplorasi rasa sedih untuk tujuan
eksklusif.
Saya
dapat tanggapan balik dari situasi ini dengan, “tak perlulah terlalu serius,
terlalu sedih, terlalu sok ini, sok itu”. Ya, saya pikir ada benarnya tanggapan
balik itu. Realitas sosial politik kita yang macet ini seringkali lebih mujarab
dihadapi dengan parodi. Tapi bagi saya ada hal-hal yang tak bisa ditoleransi
dengan parodi. Salah satunya adalah tragedi.
Ada
banyak cerita soal parodi, tragedi, dan empati ini. Misalnya penggunaan kata
autis untuk urusan main-main. Pernah ada kecaman untuk parodi atas berita gempa
dan Tsunami Simeulue yang baru saja terjadi. Akan ada banyak orang kritis yang siap
meniupkan sempritannya karena ketidaktahuan itu.
Saya
paham ada gejala baru ketika perangkat teknologi (gadget) membuat relasi sosial
kita begitu lengket. Pesan yang entah dari mana asalnya, anonim pula, karena
unik, dapat terkirim berantai dari satu orang ke orang yang lain dengan begitu
cepat. Semoga model parodi pada tragedi yang tanpa empati ini sekadar gejala
saja karena persoalan ketidaktahuan, dan bukan karena kita memang sudah tidak
lagi punya empati.
Dan selemah-lemahnya
sikap dalam tragedi adalah diam. Saya merasakan ini sebagai bentuk lain
banalnya diri yang harusnya dikritisi oleh diri saya sendiri. Tapi saya tidak
ingin ikut-ikutan sadar untuk tidak berempati.collective-thoughts.com |