Sunday, October 13, 2013

BORAS, KOTA SAMPAH NAN INDAH

SAMPAH ada di mana-mana, terlebih bagi kehidupan perkotaan yang seringkali menjadi masalah. Namun di Boras (diucapkan Buros), kota kecil di barat Swedia, sampah berubah menjadi berkah, bahkan mengatasi masalah.

Di Boras, sampah tidak berakhir di tempat pembuangan akhir, tertimbun, dan menimbulkan masalah baru. Sampah yang diurai sedemikian rupa itu menjadi pembangkit beragam energi yang menghasilkan listrik dan gas untuk kebutuhan rumah tangga, perkantoran, dunia usaha, moda transportasi massal, dan aktifitas publik lainnya di kota itu.

Bis yang melayani penumpang hingga larut malam di jalan-jalan utama kota menggunakan bahan bakar gas yang dihasilkan dari sampah organik kota itu. Pun truk pengangkut sampah dan kendaraan penyapu jalan yang sedari pagi telah mulai bekerja. 

Ketika salju mulai turun saat musim dingin di penghujung tahun, kebutuhan pemanas suhu ruangan di seluruh penjuru Boras disediakan oleh pembangkit listrik tenaga uap di kota itu yang sumbernya bukan dari biasanya batu bara, tetapi dari sampah non-organik. Dari pembangkit itu kebutuhan listrik Boras juga tercukupkan.      

Semua bermula dari warga kota yang melakukan pemilahan sampah di ruang personal, baik dari skala rumah tangga, kantor, dan tempat usaha. Dua warna kantong plastik yang ada di mana-mana, hitam dan putih, menjadi pembeda jenis sampah yang akan diolah jadi bernilai. Hitam untuk sampah organik, putih untuk non-organik. Di ruang-ruang publik, tempat-tempat sampah yang dibuat unik itu telah berfungsi untuk melakukan pemilahan awal. Permukaan bak penampung truk sampah ditempeli gambar yang mencitrakan masa depan Boras. Rasanya ada yang telah menjadi mapan di sana dan secara tidak tertulis disepakati, sampah memang bukanlah masalah. 

Gunnar Peters, Direktur Boras Energy & Environment, badan usaha kota yang mengoperasikan pembangkit energi dari sampah mengatakan, tata kelola sampah di Boras yang telah dilakukan sejak hampir empat dekade itu, memasuki keberhasilan baru sejak awal tahun 90an. Keberhasilan itu tak lepas dari kerjasama antara masyarakat dan sektor swasta yang didukung oleh pemerintah kota, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Tak heran jika badan dunia PBB menjadikan Boras sebagai kota dengan praktik terbaik dalam hal manajemen pengelolaan sampah dan menggelar forum global kemitraan internasional pengelolaan sampah di sana (9/9). Kota itu sedang mewujudkan visinya sebagai kota yang bebas dari penggunaan bahan bakar fosil.     



Boras adalah kota ketiga terbesar setelah Gothenborg, tetangga terdekatnya yang memiliki bandara sebagai akses transportasi udara dari belahan Eropa lainnya, dan lalu Stockholm, ibukota negara Swedia. Kota dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar seratus ribu jiwa itu memiliki luas kawasan urban yang setara dua kecamatan di kawasan urban Kota Palu. Dimensi rural dan urban hidup berdampingan membangun harmoni. Sungai Viskan yang membelah kota, bukit-bukit berundak dengan pepohonan yang menjulang dan menjadi hutan kota, dan bangunan-bangunan dengan dinding bertekstur bata ekspos dari abad-abad yang lampau, mungkin dari saat kota itu ditemukan rajanya King Gustav II di abad 17, yang menjadikan kota itu sebagai pusat industri tekstil pertama dan terbesar di Swedia.      

Pejalan kaki dan pengemudi sepeda di pedestrian menjadi raja di jalanan. Dari siang hingga ketika petang saat musim semi akan berakhir, balita hingga lansia berkumpul di taman-taman yang berdekatan, berjajar rapi bersama pepohonan. Di kawasan sabuk hijau kota, bebaris pinus menghijau di punggung-punggung bukit. 

Sampah telah menghidupkan sekaligus merawat mimpi kota yang juga beragam itu sebagai kota apik dengan patung-patung gigantik yang unik, gedung tinggalan sejarah yang klasik, dan sebagai kota fesyen. Mimpi yang terakhir itu menjadi sangat mungkin diwujudkan oleh alasan historis Boras sebagai pusat industri awal tekstil Swedia, yang saat ini telah berdiri gedung pusat tekstil dan fesyen yang berfungsi sebagai museum dan sekolah desain. Di jalanan, mahasiswa dan warga kota tampil dalam gaya busana yang modis.       

Kota menjadi identik dengan publik yang membayar beragam pajak mereka pada kota, sekaligus pengguna hak dari pajak yang telah dibayarkan itu untuk penyediaan ruang dan sarana penunjang bagi aktifitas sehari-hari. Taman, pedestrian, moda transportasi massal, perpustakaan, museum, gedung pertunjukan seni dan olahraga, termasuk kebijakan pemerintah di kota setempat yang berpihak pada kepentingan warga, telah menjadi kebutuhan kota yang kedudukannya setara dengan fasilitas dasar kota selain sarana pendidikan dan kesehatan. Publik di Boras menjadi sebenar-benarnya publik.

Pemenuhan aspek pada ruang publik dan sarananya tersebut memberi sumbangan nyata bagi keberlangsungan dan keberlanjutan kota. Kota-kota yang demikian, tentu saja adalah kota-kota yang membahagiakan penghuninya. Dalam banyak jajak pendapat, Swedia menjadi salah satu negara bersama negara-negara lainnya di Skandinavia yang seringkali diposisikan sebagai negara dengan indeks kebahagiaan warga yang tingkatnya berada di atas rata-rata negara lainnya di dunia. Hingga tulisan ini hendak saya posting, saya sedang menunggu klarifikasi informasi dari kawan yang ada di sana, tentang standar upah minimum Boras yang setara Rp. 30 juta per bulannya. 
        
Hanya ada satu kata dari kota yang membahagiakan seperti Boras, inovasi yang tiada henti. Pengelolaan sampah sebagai salah satu bentuk dari inovasi itu telah menjadikan Boras percaya diri menatap masa depannya yang berkelanjutan.      

Hanya, ada beberapa hal yang tak ada di sana: laut, supermall, dan bunyi klakson kendaraan. ***


Penulis menjadi peserta konferensi forum global International Partnership for expanding waste management services of Local Authority (IPLA), yang diselenggarakan oleh United Nations for Centre Regional Development (UNCRD) di Boras, Swedia, 9 – 11 September 2013.


Bis berbahan bakar gas sedang melintas di jalan utama Allegatan.
Gedung perkantoran dan rumah makan di Simonsland.
Ibu hamil sedang menyusuri alun-alun kota (Stora Torget).
Lansia di Stora Torget
Mahasiswa Universitas Boras di depan patung berjudul Catafalque karya Sean Henry.
Patung berjudul Declination karya Tony Cragg di Sandwalls Plats.
Patung Pinokio berjudul Walking to Boras karya Jime Dine di ujung jalan utama Allegatan.
Perempuan remaja di taman depan Gereja Caroli Kyrka.
Sekeluarga menyusuri jalan Brogatan.
Sungai Viskan yang membelah Boras.
Tong hitam untuk sampah organik dan putih untuk non-organik
Truk pengangkut sampah.
Warga di taman bukit kecil (Knalletorget).



Postingan Sebelumnya..