Terus, bisa apa uang seribu di Palu jaman ketika politik ekonomi absurd. Bisa. Makan!
Bayangan uang seribu bisa makan seakan menjadi absurditas baru, lain, dijaman ketika uang seribu, sekali lagi, tak bisa berbuat macam-macam dihadapan nominal harga-harga konsumsi barang, jasa. Bayangan itu juga seringkali menuju pada anggapan salah tentang rasa. Ingatan saya jauh ke Yogya pada Sego kucing. Makanan dari nasi putih dengan lauk tempe oseng (tempe goreng yang diiris tipis), tiga-empat potong ikan teri dan sambel. Disaji dengan bungkusan daun pisang. Ueenak!
Bisa makan dengan seribu rupiah itu di Palu ada di jalan Imam Bonjol. Jangan bayangkan ada neon box atau plang bagus sebagai penanda tempat makan yang kata penjualnya orang-orang mengenal tempatnya sebagai Nasi Kuning Imam Bonjol. Diseberang.
Bedanya dengan sego kucing ada di nasi. Enak. Nasinya empuk dari beras dengan kualitas baik dan dengan kuning yang kental. Sambal dengan pedas yang pas.
Jadi, kalau lapar malam-malam dan uang dikantong juga pas-pasan, meluncur saja ke Nasi Kuning Imam Bonjol.