Sunday, July 31, 2011

R.I.P. (masih)


Saya ingin melanjutkan catatan saya tentang kematian, tentang berbaring dalam tenang (rest in peace) itu, dari sebuah sajak terkenal berjudul Dan Kematian Makin Akrab karya Penyair Subagio Sastrowardoyo (1924 - 1995), yang judul sajak itu dijadikan judul buku kumpulan sajak terbitan Grasindo (1995). Berharap ada refleksi dari catatan saya sebelumnya pada sajak ini.


Dan Kematian Makin Akrab

Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali -
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti - mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga: - Matiku muda -
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya.
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana.
Dan kematian makin akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa - itu bahasa
semesta yang dimengerti -
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin.
- Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih,
juga angan-angan dan selera
keisengan -
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
- Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit -


(Foto di lokasi penggaraman Talise, NM)

R.I.P.

Hanya sedikit yang pasti. Satu dari yang sedikit itu adalah mati.


Kadang-kadang begini. Kita bangun pagi, dan sebuah pesan pendek di HP belum sempat terbaca. Ketika HP diaktifkan, sebuah pesan duka masuk ke inbox: telah berpulang...


Atau seperti sepagi ini (08/06/11). Saya baru saja bangun dan sedang menunggu air mendidih untuk menyeduh kopi. Dikejauhan sayup terdengar iringan kendaraan dan bunyi sirene ambulans yang semakin mendekat. Ada yang meninggal dunia. Sebagai sebuah peristiwa, kematian kadang menjadi sebuah hal biasa. Saya tak kenal siapa yang meninggal itu. Saya tak sedih. Sekalipun bawahsadar saya membatin, empati pada keluarga yang ditinggalkan. Innalilahi Wa Innailaihi Rajiun. Semua yang berasal dariNya akan kembali padaNya.


Saya yakin setiap orang pernah benar-benar merenungkan kematian. Secuil apapun perenungan itu. Sebagai sebuah peristiwa biasa, kematian adalah hal yang terberi (taken for granted) bagi kehidupan. Setiap orang mati. Sekuat apapun dia, selucu apapun, secantik, secerdas, dan segala apa yang melatari yang hidup. Tapi ada yang luarbiasa dari ke-biasa-an dalam mati itu. Misterinya. Kematian menjadi luarbiasa ketika dia datang menjemput orang-orang terdekat, yang kita kenal, yang kita cintai. Juga ketika seperti yang saya singgung diawal, direnungkan.


Asumsi saya pada hal perenungan itu adalah takut.




Saya punya kakek, saya memanggilnya Tete. Sudah alamarhum. Di tahun-tahun terakhir sebelum ajal menjemputnya, dia sering bilang begini: ”saya mau Tuhan ’ambil’ saja saya”. Ini ungkapan yang berani. Ini tidak seperti asumsi saya barusan. Saya tidak anggap pernyataan Tete ini berniat mendahului. Mungkin dia merasa ”cukup” dengan usianya itu. Asumsi, karena saya tidak pernah bertanya, berdiskusi pada orang-orang yang lanjut usianya, bagaimana mereka menyikapi usia mereka yang sudah senja itu dan kematian menjadi dekat. Umur rata-rata seseorang 70an tahun. Yang 80an bonus, yang 90-100an adalah pengecualian.


Sebagian besar orang mungkin berpikir, hal biasa lainnya dari kehidupan adalah pertumbuhan seseorang berangkat dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya mati. Tesis ini pun tanpa disadari mulai digerus oleh perkembangan peradaban.


Semoga telinga dan mata kita menjadi lebih akrab dengan informasi bahwa kematian karena penyakit-penyakit degeneratif yang awalnya dekat dengan lansia, menjemput juga mereka yang berada di usia-usia menengah, produktif, bahkan anak-anak dan remaja. Gaya hidup, pola konsumsi, berjalan seiring dengan pencapaian peradaban itu: rekayasa ilmu dan teknologi, juga realitas sosial dan politik.


Umur 30-40an sudah stroke, kolesterol, jantung, diabetes, kelainan ini, kelainan itu, virus ini, virus itu, mati. Di era-era sebelumnya mungkin jarang, bahkan tak pernah terdengar.


Mati ya mati. Dengan beragam cara. Selain karena sakit, karena tua, ada yang tak di harap, celaka, bencana. Kadang kita nyaris tak percaya karena beberapa kematian berkesan irasional. Pada situasi perang, misalnya. Kematian begitu dekat dan nyawa orang menjadi sangat ”biasa”.


Dalam pandangan Islam yang saya anut, saya meyakini akhir yang baik (khusnul khatimah), serupa doa, harapan agar mengakhiri hidup dengan cara yang baik. Saya takut mati. Takut dalam arti saya belum siap, atau belum mau, masih banyak dosa dan seringkali itu saya alpa bertobat, atau bolehlah saya berharap, karena masih ada banyak hal yang ingin saya lakukan.


Saya masih ingin melihat anak-anak saya tumbuh, lucu, besar, dan membanggakan. Cinta saya yang besar pada keluarga dan bangsa. Saya masih punya mimpi dan cita-cita yang belum terwujud. Masih banyak. Tapi saya meyakini garis batas hidup yang ditentukan Sang Pencipta. Saya berpikir, garis batas itu adalah garis negosiasi, waktu doa adalah upaya (ikhtiar) setiap orang di garis batas yang lain, mengharap.


Saya pernah merasa takut mati. Mungkin sebuah fase lain dari hidup saya yang di suatu waktu ketika ketakutan yang entah mendera saya hampir berbulan-bulan lamanya. Saya menyebutnya gangguan kecemasan. Mengganggu tidak saja pikiran, psikis, tapi juga fisik. Saya jadi lemah. Di bulan-bulan yang lewat itu saya berserah untuk tidak melawan kecemasan itu. Karena semakin saya melawan, rasanya semakin kuat dia menerjang.


Tapi saya berbagi dengan banyak kawan, termasuk psikiater, dokter umum, hingga internist. Dan berusaha menulis. Sekalipun ketika ingin memulai tulisan, rasa lemah seringkali menyergap dan saya meninggalkan. Membaca juga tidak. Pendeknya saya susah berkonsentrasi pada hal-hal yang ingin saya lakukan.


Beberapa kawan yang mengalami hal sama kebanyakan mendiagnosisnya sebagai Maag akut. Entah kenapa, usus yang mengurusi pencernaan di tubuh bisa mempengaruhi sedemikian rupa otak yang bekerja memikirkan, memerintah motorik pada indera-indera manusia. Saya mengamini saja karena bukan dokter. Karena dengan begitu rasa penasaran saya berkurang. Beberapa kawan yang bercerita itu sampai ada yang ketika Maagnya menyerang, ketakutan juga menyergap, kematian seperti sangat dekat, peluh bercucuran padahal tak gerah, dan sesegera mungkin mencari kawan untuk mendapatkan perhatian.


Diagnosis sendiri, Hipokondriak, menjadi semacam bentuk upaya mendamaikan situasi takut itu. Jangan-jangan sakit ini ya, jangan-jangan itu...


Beberapa contoh cerita dari kawan-kawan itu sedikit banyak serupa dengan yang kadang saya alami. Tapi kembali ke inti, saya percaya benar ini soal takut pada mati.


Atau begini, ada perbandingan dengan daya hidup antara seseorang dengan saya, kita. Kita, yang masih terbilang muda, mungkin pernah merenungkan, beberapa orang yang kita teladani, beberapa dari mereka saat kita merenung sudah berada di usia lanjut, beberapa yang lain malah sudah mati. Ketika mereka berumur sama dengan umur kita sekarang, capaian yang telah mereka lakukan, misalnya, sungguh luar biasa, dan kita berupaya meneladani pencapaian itu. Mereka bisa saja tokoh di dunianya masing-masing. Negarawan, politisi, seniman, penulis, aktifis sosial, atau orang-orang biasa yang berdedikasi pada hidupnya sebagai orang-orang biasa. Orang tua kita misalnya.


Bapak saya meninggalkan Ibu, saya, kami, di usianya yang belum juga 50 tahun. Saya suka bertanya merenung dalam hati, seperti ketika menuliskan catatan ini, mungkin di umur yang sama dengan saya ketika saya merenung, dia tak pernah merenung, tapi sedang bertarung mencari nafkah untuk jaminan masa depan sekolah anak-anaknya, masa depan keluarganya. Bung Karno di umurnya yang 33 tahun sedang bergiat apakah dia saat seumur itu? Pramoedya Ananta Toer, karib saya Heru Sudjoko, tetangga saya Pak Acang, Ibu saya, Bill Gates, dan tak tahu siapa lagi.


Yang pasti itu mati. Saya meyakini hal terakhir dari mati adalah melepasnya segala hal pada dunia dan masuknya sebuah babak lain yang baru ketika kita seperti uap udara yang ringan, kekal, abadi. Saya tak ingin berceramah panjang soal ke-abadi-an ini. Yang saya bayangkan adalah berbuat baik pada setiap hal yang saya kerjakan pada hidup saya di bumi. Titik.


Terakhir, tentang daya hidup itu. Hal yang rasanya tak ingin saya lepaskan dari sisi lain koin kehidupan: mati. Menulis, menjadi cara paling damai untuk mendamaikan koin yang senantiasa bergerak berputar itu. Saya tidak ingin lenyap dari jejak kefanaan. Anak-anak saya tahu, istri saya, kawan-kawan dekat saya, bapaknya, suaminya, kawannya menuliskan harapan, yang hampir tak ada di kenyataan berbangsa kita saat ini, bahkan bumi yang usianya sudah sangat tua ini. Tentang daya hidup itu. Anggap saja tulisan pun doa, suatu saat saya berpulang dalam akhir yang tenang dan baik-baik saja. Amin.


Suatu kali Pelatih klub sepakbola Barcelona, Pep Guardiola bilang, kita harus punya sedikit rasa takut dengan kadar tepat agar bisa tidak terlalu takut.



(Foto Senja di Teluk Palu, oleh Rochiyat Sulaiman)

Maafkan Aku, Blog


Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Pramoedya Ananta Toer)


Saya akan menulis. Sesuatu hal melintas dalam benak saya. Seringkali begitu. Itu dalam hati ketika sedang entah melakukan apa. Nyatanya, tak ada tulisan yang saya tulis setelah komputer sudah menyala. Yang saya lakukan hanya mengaktifkan media sosial dan melupakan hal yang melintas tadi dalam bincang-bincang yang ditulis, komentar-komentar yang ditulis, perasaan-perasaan yang ditulis. Paling banyak –dengan acuan perintah media sosial Twitter yang juga hanya 140 karakter.


Koran saya bentang. Buku saya buka. Majalah dan informasi di internet saya tatap. Ketika jalan-jalan lihat sampah, kemiskinan, penjual yang melayani, pegawai pemerintah yang saya ajak diskusi, orang-orang dengan kemapanan, asyik bicara ini, bicara itu. Semua itu saya baca. Beberapa hal dari yang saya baca itu memantik untuk bersegera di tulis.


Kemudian saya akan menanyakan pada diri saya sendiri, apa motif saya menulis. Menyampaikan gagasan, keinginan, lewat huruf yang jadi kata lalu jadi kalimat? Ingin dikenal dan dapat pujian, ingin dapat uang karena tulisan bisa dihargai oleh media massa dan utamanya pembaca?


Semua yang diatas itu ideal dalam hal menulis. Karena susah mencapai ideal itu, maka saya hanya ingin menulis saja.


Saya masih menulis, dan ingin tetap terus menulis. Saya mematri ini. Sekalipun di waktu yang bersamaan saya malas menulis. Dua hal yang berdialog dalam diri ini karena keinginan menghidupkan kembali blog yang pernah saya isi dan mungkin sudah setahun lebih jarang saya isi tulisan lagi.


Seperti ranah aktifitas manusia lainnya, menulis pun butuh disiplin. Teorinya begitu. Di waktu yang bersamaan ego saya muncul, saya moody, dan tak ingin latah pada isu-isu besar yang di konsumsi publik.


Sejauh ketika saya menuliskan catatan ini, saya sedang berusaha mengimani untuk merawat kembali blog saya ini. Serupa bunga, saya harus menyiraminya setiap waktu. Mungkin tak harus setiap hari karena bisa membusuk dan mati. Tapi paling tidak saya harus menyiramnya seminggu sekali.


Suatu waktu, saya diberi ruang untuk mengisi tulisan minimal sebulan dua kali, sebuah rubrik lepas di sebuah harian di Palu. Awalnya saya rajin mengirimkan tulisan. Kesini-sininya, saya kehilangan motivasi. Dunia riil seolah memaksa saya meninggalkan kerja ”menulis” di media itu. Ada kegiatan lain yang sebenarnya menulis juga tapi bisa menghasilkan uang. Pekerjaan-pekerjaan riset yang saya kerjakan di banyak proyek kelembagaan itu menyita waktu. Dunia riil yang saya maksud itu. Lalu apakah berarti saya menulis butuh imbalan uang? Ya!


Saya memberi tanda petik pada kata menulis yang saya anggap sebagai sebuah laku subtil, hal terdalam dari subyektivitas saya sebagai aku-yang-menulis. Menulis dalam konteks ini menurut saya adalah permenungan pribadi, kontemplasi.


Baiklah blog, mungkin selama ini saya goblog meninggalkanmu sepi di ruang maya. Mulai dari tulisan ini saya akan mencoba merawatmu kembali. Semoga.


Dan hal yang paling menyenangkan dari sebuah pekerjaan adalah ketika pekerjaan yang kita lakoni itu adalah hobi, dan bukan karena penjara situasi.



(Foto Jade dan Ruby di Taman GOR Palu, oleh Indri)

Postingan Sebelumnya..