Kadang-kadang begini. Kita bangun pagi, dan sebuah pesan pendek di HP belum sempat terbaca. Ketika HP diaktifkan, sebuah pesan duka masuk ke inbox: telah berpulang...
Atau seperti sepagi ini (08/06/11). Saya baru saja bangun dan sedang menunggu air mendidih untuk menyeduh kopi. Dikejauhan sayup terdengar iringan kendaraan dan bunyi sirene ambulans yang semakin mendekat. Ada yang meninggal dunia. Sebagai sebuah peristiwa, kematian kadang menjadi sebuah hal biasa. Saya tak kenal siapa yang meninggal itu. Saya tak sedih. Sekalipun bawahsadar saya membatin, empati pada keluarga yang ditinggalkan. Innalilahi Wa Innailaihi Rajiun. Semua yang berasal dariNya akan kembali padaNya.
Saya yakin setiap orang pernah benar-benar merenungkan kematian. Secuil apapun perenungan itu. Sebagai sebuah peristiwa biasa, kematian adalah hal yang terberi (taken for granted) bagi kehidupan. Setiap orang mati. Sekuat apapun dia, selucu apapun, secantik, secerdas, dan segala apa yang melatari yang hidup. Tapi ada yang luarbiasa dari ke-biasa-an dalam mati itu. Misterinya. Kematian menjadi luarbiasa ketika dia datang menjemput orang-orang terdekat, yang kita kenal, yang kita cintai. Juga ketika seperti yang saya singgung diawal, direnungkan.
Asumsi saya pada hal perenungan itu adalah takut.
Saya punya kakek, saya memanggilnya Tete. Sudah alamarhum. Di tahun-tahun terakhir sebelum ajal menjemputnya, dia sering bilang begini: ”saya mau Tuhan ’ambil’ saja saya”. Ini ungkapan yang berani. Ini tidak seperti asumsi saya barusan. Saya tidak anggap pernyataan Tete ini berniat mendahului. Mungkin dia merasa ”cukup” dengan usianya itu. Asumsi, karena saya tidak pernah bertanya, berdiskusi pada orang-orang yang lanjut usianya, bagaimana mereka menyikapi usia mereka yang sudah senja itu dan kematian menjadi dekat. Umur rata-rata seseorang 70an tahun. Yang 80an bonus, yang 90-100an adalah pengecualian.
Sebagian besar orang mungkin berpikir, hal biasa lainnya dari kehidupan adalah pertumbuhan seseorang berangkat dari masa kanak-kanak, remaja, dewasa, tua dan akhirnya mati. Tesis ini pun tanpa disadari mulai digerus oleh perkembangan peradaban.
Semoga telinga dan mata kita menjadi lebih akrab dengan informasi bahwa kematian karena penyakit-penyakit degeneratif yang awalnya dekat dengan lansia, menjemput juga mereka yang berada di usia-usia menengah, produktif, bahkan anak-anak dan remaja. Gaya hidup, pola konsumsi, berjalan seiring dengan pencapaian peradaban itu: rekayasa ilmu dan teknologi, juga realitas sosial dan politik.
Umur 30-40an sudah stroke, kolesterol, jantung, diabetes, kelainan ini, kelainan itu, virus ini, virus itu, mati. Di era-era sebelumnya mungkin jarang, bahkan tak pernah terdengar.
Mati ya mati. Dengan beragam cara. Selain karena sakit, karena tua, ada yang tak di harap, celaka, bencana. Kadang kita nyaris tak percaya karena beberapa kematian berkesan irasional. Pada situasi perang, misalnya. Kematian begitu dekat dan nyawa orang menjadi sangat ”biasa”.
Dalam pandangan Islam yang saya anut, saya meyakini akhir yang baik (khusnul khatimah), serupa doa, harapan agar mengakhiri hidup dengan cara yang baik. Saya takut mati. Takut dalam arti saya belum siap, atau belum mau, masih banyak dosa dan seringkali itu saya alpa bertobat, atau bolehlah saya berharap, karena masih ada banyak hal yang ingin saya lakukan.
Saya masih ingin melihat anak-anak saya tumbuh, lucu, besar, dan membanggakan. Cinta saya yang besar pada keluarga dan bangsa. Saya masih punya mimpi dan cita-cita yang belum terwujud. Masih banyak. Tapi saya meyakini garis batas hidup yang ditentukan Sang Pencipta. Saya berpikir, garis batas itu adalah garis negosiasi, waktu doa adalah upaya (ikhtiar) setiap orang di garis batas yang lain, mengharap.
Saya pernah merasa takut mati. Mungkin sebuah fase lain dari hidup saya yang di suatu waktu ketika ketakutan yang entah mendera saya hampir berbulan-bulan lamanya. Saya menyebutnya gangguan kecemasan. Mengganggu tidak saja pikiran, psikis, tapi juga fisik. Saya jadi lemah. Di bulan-bulan yang lewat itu saya berserah untuk tidak melawan kecemasan itu. Karena semakin saya melawan, rasanya semakin kuat dia menerjang.
Tapi saya berbagi dengan banyak kawan, termasuk psikiater, dokter umum, hingga internist. Dan berusaha menulis. Sekalipun ketika ingin memulai tulisan, rasa lemah seringkali menyergap dan saya meninggalkan. Membaca juga tidak. Pendeknya saya susah berkonsentrasi pada hal-hal yang ingin saya lakukan.
Beberapa kawan yang mengalami hal sama kebanyakan mendiagnosisnya sebagai Maag akut. Entah kenapa, usus yang mengurusi pencernaan di tubuh bisa mempengaruhi sedemikian rupa otak yang bekerja memikirkan, memerintah motorik pada indera-indera manusia. Saya mengamini saja karena bukan dokter. Karena dengan begitu rasa penasaran saya berkurang. Beberapa kawan yang bercerita itu sampai ada yang ketika Maagnya menyerang, ketakutan juga menyergap, kematian seperti sangat dekat, peluh bercucuran padahal tak gerah, dan sesegera mungkin mencari kawan untuk mendapatkan perhatian.
Diagnosis sendiri, Hipokondriak, menjadi semacam bentuk upaya mendamaikan situasi takut itu. Jangan-jangan sakit ini ya, jangan-jangan itu...
Beberapa contoh cerita dari kawan-kawan itu sedikit banyak serupa dengan yang kadang saya alami. Tapi kembali ke inti, saya percaya benar ini soal takut pada mati.
Atau begini, ada perbandingan dengan daya hidup antara seseorang dengan saya, kita. Kita, yang masih terbilang muda, mungkin pernah merenungkan, beberapa orang yang kita teladani, beberapa dari mereka saat kita merenung sudah berada di usia lanjut, beberapa yang lain malah sudah mati. Ketika mereka berumur sama dengan umur kita sekarang, capaian yang telah mereka lakukan, misalnya, sungguh luar biasa, dan kita berupaya meneladani pencapaian itu. Mereka bisa saja tokoh di dunianya masing-masing. Negarawan, politisi, seniman, penulis, aktifis sosial, atau orang-orang biasa yang berdedikasi pada hidupnya sebagai orang-orang biasa. Orang tua kita misalnya.
Bapak saya meninggalkan Ibu, saya, kami, di usianya yang belum juga 50 tahun. Saya suka bertanya merenung dalam hati, seperti ketika menuliskan catatan ini, mungkin di umur yang sama dengan saya ketika saya merenung, dia tak pernah merenung, tapi sedang bertarung mencari nafkah untuk jaminan masa depan sekolah anak-anaknya, masa depan keluarganya. Bung Karno di umurnya yang 33 tahun sedang bergiat apakah dia saat seumur itu? Pramoedya Ananta Toer, karib saya Heru Sudjoko, tetangga saya Pak Acang, Ibu saya, Bill Gates, dan tak tahu siapa lagi.
Yang pasti itu mati. Saya meyakini hal terakhir dari mati adalah melepasnya segala hal pada dunia dan masuknya sebuah babak lain yang baru ketika kita seperti uap udara yang ringan, kekal, abadi. Saya tak ingin berceramah panjang soal ke-abadi-an ini. Yang saya bayangkan adalah berbuat baik pada setiap hal yang saya kerjakan pada hidup saya di bumi. Titik.
Terakhir, tentang daya hidup itu. Hal yang rasanya tak ingin saya lepaskan dari sisi lain koin kehidupan: mati. Menulis, menjadi cara paling damai untuk mendamaikan koin yang senantiasa bergerak berputar itu. Saya tidak ingin lenyap dari jejak kefanaan. Anak-anak saya tahu, istri saya, kawan-kawan dekat saya, bapaknya, suaminya, kawannya menuliskan harapan, yang hampir tak ada di kenyataan berbangsa kita saat ini, bahkan bumi yang usianya sudah sangat tua ini. Tentang daya hidup itu. Anggap saja tulisan pun doa, suatu saat saya berpulang dalam akhir yang tenang dan baik-baik saja. Amin.
Suatu kali Pelatih klub sepakbola Barcelona, Pep Guardiola bilang, kita harus punya sedikit rasa takut dengan kadar tepat agar bisa tidak terlalu takut.
(Foto Senja di Teluk Palu, oleh Rochiyat Sulaiman)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya