Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Pramoedya Ananta Toer)
Saya akan menulis. Sesuatu hal melintas dalam benak saya. Seringkali begitu. Itu dalam hati ketika sedang entah melakukan apa. Nyatanya, tak ada tulisan yang saya tulis setelah komputer sudah menyala. Yang saya lakukan hanya mengaktifkan media sosial dan melupakan hal yang melintas tadi dalam bincang-bincang yang ditulis, komentar-komentar yang ditulis, perasaan-perasaan yang ditulis. Paling banyak –dengan acuan perintah media sosial Twitter yang juga hanya 140 karakter.
Koran saya bentang. Buku saya buka. Majalah dan informasi di internet saya tatap. Ketika jalan-jalan lihat sampah, kemiskinan, penjual yang melayani, pegawai pemerintah yang saya ajak diskusi, orang-orang dengan kemapanan, asyik bicara ini, bicara itu. Semua itu saya baca. Beberapa hal dari yang saya baca itu memantik untuk bersegera di tulis.
Kemudian saya akan menanyakan pada diri saya sendiri, apa motif saya menulis. Menyampaikan gagasan, keinginan, lewat huruf yang jadi kata lalu jadi kalimat? Ingin dikenal dan dapat pujian, ingin dapat uang karena tulisan bisa dihargai oleh media massa dan utamanya pembaca?
Semua yang diatas itu ideal dalam hal menulis. Karena susah mencapai ideal itu, maka saya hanya ingin menulis saja.
Saya masih menulis, dan ingin tetap terus menulis. Saya mematri ini. Sekalipun di waktu yang bersamaan saya malas menulis. Dua hal yang berdialog dalam diri ini karena keinginan menghidupkan kembali blog yang pernah saya isi dan mungkin sudah setahun lebih jarang saya isi tulisan lagi.
Seperti ranah aktifitas manusia lainnya, menulis pun butuh disiplin. Teorinya begitu. Di waktu yang bersamaan ego saya muncul, saya moody, dan tak ingin latah pada isu-isu besar yang di konsumsi publik.
Sejauh ketika saya menuliskan catatan ini, saya sedang berusaha mengimani untuk merawat kembali blog saya ini. Serupa bunga, saya harus menyiraminya setiap waktu. Mungkin tak harus setiap hari karena bisa membusuk dan mati. Tapi paling tidak saya harus menyiramnya seminggu sekali.
Suatu waktu, saya diberi ruang untuk mengisi tulisan minimal sebulan dua kali, sebuah rubrik lepas di sebuah harian di Palu. Awalnya saya rajin mengirimkan tulisan. Kesini-sininya, saya kehilangan motivasi. Dunia riil seolah memaksa saya meninggalkan kerja ”menulis” di media itu. Ada kegiatan lain yang sebenarnya menulis juga tapi bisa menghasilkan uang. Pekerjaan-pekerjaan riset yang saya kerjakan di banyak proyek kelembagaan itu menyita waktu. Dunia riil yang saya maksud itu. Lalu apakah berarti saya menulis butuh imbalan uang? Ya!
Saya memberi tanda petik pada kata menulis yang saya anggap sebagai sebuah laku subtil, hal terdalam dari subyektivitas saya sebagai aku-yang-menulis. Menulis dalam konteks ini menurut saya adalah permenungan pribadi, kontemplasi.
Baiklah blog, mungkin selama ini saya goblog meninggalkanmu sepi di ruang maya. Mulai dari tulisan ini saya akan mencoba merawatmu kembali. Semoga.
Dan hal yang paling menyenangkan dari sebuah pekerjaan adalah ketika pekerjaan yang kita lakoni itu adalah hobi, dan bukan karena penjara situasi.
(Foto Jade dan Ruby di Taman GOR Palu, oleh Indri)
iiiiiii..neniiiii...dah hobiiii..bisa berbagiiiii...dapat rejekiiiii...iiiii..neniiiii..komiu bikin ku iriiiiiiii...iiiiii..tariamkasiiiiiii
ReplyDeletemari kita rawat blog kita agar tidak usang lagi,.,,
ReplyDeleteAjarin cara bikin blog itu selalu menarik k'? blogku kayaknya biasa aj deh..
ReplyDelete