Friday, April 11, 2014

UVENTUMBU

JIKA kita membayangkan kota adalah lampu-lampu merkuri yang terang di waktu malam, jalanan beraspal, gedung-gedung bertingkat, kendaraan lalu-lalang, macet, beragam polutan, dan penanda identik lainnya, tentu tak salah, tapi juga tak selamanya benar. Definisi kota menjadi relatif pada beberapa kota dan nama tempat sebagai lokus yang membentuknya. Beberapa di antaranya bisa dengan mudah Anda temukan di Palu.

Terberi sebagai kota dengan beragam landskap, Palu tempo-doeloe memang adalah kampung-kampung dengan dimensi tradisional yang kuat. Ngata dalam bahasa Kaili. Dimensi ngata itu hari ini bersimbiosis dengan pengertian-pengertian kota yang administratif sekaligus psikologis –kebaruan layaknya kota seperti yang dikonsumsi melalui beragam media massa atau yang dibawa oleh tradisi kolonialisasi Hindia Belanda, dan lalu pada akhirnya oleh metamorfosa birokrasi yang membawanya sebagai kebijakan atas nama pembangunan, termasuk pada perilaku warganya yang separuh urban, separuh suburban, atau gabungan keduanya, menjadi urban dan suburban di waktu yang bersamaan.

Jika Anda sedang berada di ketinggian, ketika semua landskap Palu itu bisa Anda nikmati dengan mata telanjang, di waktu yang bersamaan, Anda dapat melihat teluk yang membentang, bukit-bukit memanjang, sungai-sungai yang membelah menuju ke teluk, dan beberapa ruas jalan utama dan bangunan. Beberapa bangunan yang menjulang, tower, jembatan, bahkan telah menjadi penanda orientasi akan arah mata angin.

Tapi Anda tak akan menemukan yang lebih subtil, yang lebih Dalam dari itu jika hanya berdiam diri di ketinggian atau kalau pun menyusurinya lebih dalam, jalan-jalan yang Anda pilih hanyalahjalan-jalan utama yang saling menghubungkan jalan utama satu dengan jalan utama yang lain.

Beragam dimensi landskap itu membuat kita akan menemui beragam eksisting. Ada yang tinggal di pesisir pantai sepanjang teluk, ada yang tinggal di tengah kota dengan banyak blok, sekarang bahkan trennya menjadi perumahan-perumahan cluster, dan ada yang tinggal di bagian belakang, di wilayah sabuk hijau (green belt). Kebijakan tata ruang sebenarnya telah mengadaptasi pola beragam ini. Diilhami dari rumah adat Souraja (Banua Mbaso) yang punya teras, ruang tengah, dan bagian belakang.

Keunikan selalu menyertai beragam landskap Palu sebagai kota. Akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang unik juga, “ini masih masuk (wilayah) Palu?” atau kekaguman pada bentangan landskap, “indahnya…”

Pengalaman merasakan keunikan berkota itu muncul pada diri saatjalan-jalan ke sebuah tempat –disebut sebagai dusun, masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Kavatuna, Kecamatan Mantikulore di timur kota (01/03). Nama dusun itu Uventumbu. Sebagian besar orang Palu ketika menyebut Kavatuna mungkin hanya identik tempat pembuangan akhir (tpa) sampah.

Jarak rumah-rumah warga Uventumbu dari jalan utama yang dekat dari kantor kelurahan hanyalah kurang lebih 6 sampai 7 km, menyusuri jalan-jalan sempit yang sebagian masih beraspal kasar dan sebagian yang lain batu-batu sungai. Ada satu sungai dengan air jernih dan debit air yang lumayan yang akan dilalui sepanjang perjalanan menuju kesana. Di beberapa titik yang landai warga menanam jagung atau coklat (kakao). Tebing-tebing tinggi yang indah. Anda, saya yakin, jika tiba-tiba saja berada di sana tanpa referensi apa-apa, tentu saja akan mengalami disorientasi ruang. Benarkah inikota? Itu jika Anda akhirnya menemukan plang puskesmas pembantu atau bangunan fisik pembangkit listrik skala kecil dari tenaga air yang sedang dibangun di tempatitu.

Uventumbu tentu bukanlah satu-satunya tempat di Palu yang unik bagi pengalaman berkota kita. Mungkin serupa tulisan mendalam yang pernah saya baca dari sebuah harian, di tengah sibuknya Jakarta, masih ada juga warga di ibukota itu yang beternak sapi dan menggembalakannya di ruang-ruang terbuka yang semakin sempit dan mewah. Dan Jakarta adalah kampung dalam pengertian yang sesungguhnya, jika dialami bukan dari jalan-jalan utamanya.

Selain Uventumbu, pernahkah kita jalan-jalan ke Limran di batas utara sana, di Mangu, Liku, atau di 3 kampung bertetangga di barat, di Lekatu, Salena, dan yang berada jauh di atas bukit yang indah di Wana. Mungkin jalan-jalan utama kota telah kita lalui semuanya, dan apakah kita pernah masuk di beberapa ruas jalan sempit yang membentuknya? Sebut saja di Ujuna, Kalikoa, di sepanjang bantaran sungai di Maesa hingga Tatura dan sebagian Besusu yang mengarah ke muara yang berdimensi urban? Bahkan mungkin yang tak jauh dari rumah tempat wali kota dan gubernur kita tidur.


Saya ingin mengutip sebuah buku karya Aya Hirata Kimura berjudul Hidden Hunger (2013) yang bercerita tentang kelaparan tersembunyi, kisah kasus-kasus malnutrisi. Ini identik kota. Kebijakan tata ruang Palu yang telah saya singgung di atas telah mengadaptasi landskap (ruang). Berharap kebijakan publik lainnya yang diinspirasi dari dimensi ruang itu dapat melihatnya dari sudut pandang yang lebih subtil, lebih dalam.Serupa cara kita melihat landskap dari kejauhan dan mencoba untuk mendekat dan memahaminya. Serupa memahami bahwa Kavatuna tak hanya TPA saja, tapi juga ada Uventumbu, ternyata. Mungkin memang warga Palu sudah sekolah, sudah makan, jika sakit bisa ke puskesmas dan rumah sakit, dan berekreasi. Tapi kita tetap harus melihatnya lebih subtil, lebih dalam. Agar kota tak tampak hanya di permukaan.












Tulisan ini telah diterbitkan -dengan judul yang sama pada 8 Maret 2014, di kolom mingguan saya, Percik, yang terbit setiap hari sabtu di harian Palu Ekspres.

Postingan Sebelumnya..