USIA
kebudayaan sebuah wilayah jauh lebih tua dari sekadar definisi dari negara yang
administratif pada hari ulang tahun wilayah itu. Apalagi wilayah yang berulang
tahun itu propinsi yang terdiri atas kabupaten dan kota yang lintas kebudayaan.
Dalam
konteks Sulawesi Tengah, kebudayaan itu merentang sejak Buol hingga Donggala, dari Banggai Kepulauan sampai Morowali.
Usianya uzur, beberapa catatan sejarah sejak abad 16 sejak pelaut-pelaut
Eropa dan Amerika macam Francis Drake yang Inggris dan David Woodard yang
Amerika datang berpetualang dan menuliskan catatan.
Di waktu
yang tak jauh dari itu sebuah misi dakwah Islam sudah ada sejak Dato Karama
dari tanah Andalas (Sumatera Barat) tiba, atau setelah beberapa abad berikutnya
oleh duet misionaris Kristen dan antropolog juga sosiolog Kruyt dan Adriani.
Memasuki modernitas Indonesia pasca politik etis Belanda, Sulawesi Tengah yang
pada masa itu dikenal sebagai Midden Celebes mencatat perjalanan dakwah SIS
Aljufri yang lebih dikenal sebagai guru tua.
Kesepakatan
usia propinsi ini kemudian ditentukan dari soal-soal yang menurut saya masih
kabur. Apakah oleh nomor undang-undang penetapannya (nomor 13 tahun 1964) atau
tanggal ketika undang-undang itu ditetapkan (13 April 1964). Saya tak terlalu
mementingkan soal itu. Saya hanya beranggapan kita belum benar-benar merasa tua
dan memaklumi apa-apa yang ada pada diri kita hari ini.
Saya
sering merasakan situasi itu. Saya menyebutnya hari jadi. Ketika dia datang dan
selanjutnya melakukan refleksi, kelebat-kelebat pikiran datang, apa yang sudah
saya lakukan, apa yang sudah dicapai dengan umur yang bertambah itu.
Muncul
dialog-dialog dalam diri. Ah masih muda, belum terlambat. Ada yang memaknai
hidup dimulai ketika sebagian besar orang malah mengganggap sebuah usia sudah memasuki
masa senja.
Kebudayaan
sebagai wujud dari dinamika sosial pun rasanya sama dengan laku orang-orang
sebagai pelaku kebudayaan. Dalam konteks itu, sayangnya, saya beranggapan kita
belum benar-benar tua dan memaklumi apa-apa yang ada pada diri kita hari ini.
Namanya
saja anggapan. Bisa salah, tapi punya kemungkinan besar benar.
Ini soal
capaian berpropinsi. Situasi di atas seolah mendapat respon dari Gubernur
Sulawesi Tengah, Longki Djanggola. Saya menangkap satu kata kunci dari visi
yang dirumuskan bagi propinsi yang ketika saya menuliskan catatan ini berusia
48 tahun. Kata kunci itu, sejajar. Kata kunci yang sekali lagi, seolah membaca
situasi hari ini. Saya membacanya sebagai resolusi.
Kalau
dilakukan jajak pendapat, apa harapan warga propinsi ini di hari jadinya. Saya
berkeyakinan pada satu jawaban seragam: peningkatan kesejahteraan. Kalau pun
ada jawaban lain bisa jadi berkutat pada soal-soal ketertinggalan: fasilitas
dan layanan dasar publik.
Tantangan
terbesarnya kedepan adalah membumikan visi sebagai mimpi bersama itu. Bahwa
mimpi itu bukan sekadar mimpi gubernur atau tim sukses yang bersama-sama
gubernur merumuskan mimpi itu. Visi itu tumbuh dalam bawah sadar warga yang
berkartu tanda penduduk propinsi ini, sejalan dengan masing-masing visi yang
lebih khusus tempat di mana orang-orang itu berdomisili di 10 kabupaten dan 1
kota ini.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya