KOTA ini
sedang bergegas. Dalam sebuah kegiatan diskusi tentang Program Daerah
Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) yang belum lama lewat, Wakil Walikota Palu, Andi
Mulhanan Tombolotutu mengatakan, orang yang keluar masuk ke kota ini intensitasnya,
lalu lintasnya tinggi. Saya mengamini pernyataan itu.
Intensifnya
lalu lintas orang yang tinggi itu memang tak lantas harus kita bandingkan
dengan kota-kota besar lain di Indonesia yang berpenduduk jauh lebih banyak
dari Palu. Kota dengan jumlah penduduk berkategori sedang seperti Palu, asumsi
tinggi itu dapat kita lihat pemandangannya di bandara, pelabuhan, atau terminal
angkutan darat.
Hampir
semua maskapai penerbangan nasional yang parkir di bandara Mutiara padat
penumpang, dari yang take off subuh
hingga petang. Dari yang landing siang
hingga malam. Belum kapal-kapal Pelni di Pelabuhan Pantoloan yang melayani penumpang
di kawasan Alur Laut Kepulauan Indonesia sejak Laut Jawa, Selat Makassar,
hingga Laut Sulawesi. Lalu penumpang bus dari dan ke hampir seluruh wilayah
propinsi, kabupaten, dan kota di Pulau Sulawesi.
Ada
banyak potensi yang segera terbaca dari dinamika itu. Ada potensi ekonomi,
ketika perputaran uang jadi lebih cepat dan banyak, tapi juga berpotensi
konflik sosial. Dukungan-dukungan lain menyertai. Lahan kosong tak produktif,
angkatan kerja, dan letak geografis Palu yang strategis, berada di titik tengah
Indonesia dan berbatasan dengan banyak wilayah sebangsa dan dekat juga ke
lintas beberapa negara tetangga di Asia.
Saya agak
kurang percaya pada data BPS karena dinamika manusia kota ini dalam
pemandangannya dimensinya harian, sedang ritus laporan badan itu tahunan. Itu
masih soal manusia. Belum soal barang dan jasa yang dinamis akibat gerak
orang-orang di atas.
Dalam kasat
mata, gedung-gedung bertingkat berdiri. Beberapa terlihat sudah dalam tahap
akhir. Dinamika swasta ini paling banyak hotel, waralaba kuliner, tidak sedikit
pula tempat-tempat hiburan. Di sudut yang lain, rencana-rencana pemerintah
berjalan perlahan, dari pesisir (reklamasi pantai), pembebasan lahan untuk
kawasan, hingga penataan infrastruktur dalam dan belakang kota, mengadopsi
filosofi Gandaria pada rumah-rumah adat Suku Kaili.
Gayung
bersambut. Dinamika di atas bersinergi dengan program pemerintah pusat yang
diberi tajuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Karena skalanya nasional, komitmen
Jakarta untuk mendukung daerah yang ditetapkan sebagai KEK juga khusus.
Kekhususan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Kata kunci dari
kekhususan itu adalah fasilitas, yang tidak semuanya dapat dibiayai oleh uang
daerah. Tujuan dari semua ini adalah peningkatan kesejahteraan orang-orang
diatas dan sebaran manfaatnya didaerah-daerah lain di Indonesia.
Saya
bertanya pada diri saya sendiri. Dalam konteks semua cerita ini, siapkah saya
untuk lebih bergegas? Semoga saya siap. Bergegas bagi saya adalah sebuah
keniscayaan untuk mengejar ketertinggalan. Beberapa catatan dari upaya bergegas
ini adalah agar berhati-hati untuk tidak berlebihan yang oleh orang Palu disebut
kajuru-juru itu.
Semoga
KEK ditetapkan di kota saya ini dan wujud dan kongkrit KEK nyata adanya. Infrastruktur
kota terbangun, lapangan kerja terbuka, pendapatan orang-orang di atas
meningkat, dengan tetap cermat untuk seimbang menyikapi alam dan lingkungan
sosial dan ekologi kota. Ciri humanis pembangunan harus melekat benar dalam
program KEK itu.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya