BELUM
lama ini saya datang ke kantor Pelni yang di jalan Kartini itu, untuk keperluan
bahan tulisan panjang yang sedang saya siapkan, dan bukan untuk tulisan yang
saya tuliskan ini. Saya bertanya ke informasi di kantor itu, apakah masih ada
kapal penumpang yang melayani trayek dari Pantoloan ke Tanjung Priok (Jakarta),
dan sebaliknya. Ternyata sudah tak ada. Sekarang paling jauh kapal Pelni yang ke
Jawa hanya melayani sampai Surabaya.
Awal
dasawarsa 90an hingga mula ketika dunia memasuki tahun-tahun pertama di abad
milenium, kapal menjadi alat transportasi utama yang saya gunakan sebagai kelas
menengah yang lebih condong ke kelas papa dari pada yang berpunya. Transportasi
pulang pergi ketika kuliah memasuki masa liburan atau lebaran. Masa itu, jurang
harga tiket antara kapal dan pesawat jauh menganga. Harga tiket pesawat lebih
mahal dari harga tiket kapal.
Tak
adanya kapal dengan trayek jauh itu sekarang sudah bisa dipastikan karena beberapa
hal. Daya beli masyarakat yang meningkat dan maskapai penerbangan yang banyak,
yang membuat harga tiket pesawat jadi kompetitif. Beda harga tiket dua moda
transportasi itu sekarang hanya sedikit, sedang waktu tempuh antara keduanya
bak jurang yang juga jauh menganga. Pesawat dalam hitungan jam, kapal
berhari-hari.
Saya
tidak ingin bernostalgia tentang kapal itu, seperti yang sudah saya sampaikan
di awal. Saya ingin bercerita soal kapal dan pelayanan penumpang dan barang dalam
skala Sulawesi Tengah sebagai propinsi. Mengutip istilah perhubungan dalam rute
bus itu, antar kota antar propinsi. Kaltim, Sulsel, Sulbar, Gorontalo, Sulut,
Sultra, Maluku Utara tak jauh-jauh amat, bukan?
Yang saya
tahu memang masih ada kapal Pelni yang mengarungi Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI), baik yang melayani penumpang di sepanjang Selat Makassar hingga Laut
Sulawesi, dan di perairan Teluk Tomini hingga Banggai. Tapi karena rutenya
lumayan panjang, kapal-kapal itu jarak kedatangannya mingguan.
Baiknya
ada kapal yang melayani penumpang dengan intensitas harian, termasuk membuka
rute-rute baru perjalanan.
Sebagai
contoh rute Pantai Timur sejak Moutong hingga Banggai yang melayani, misalnya,
kota-kota ramai macam Tinombo, Ampibabo, Parigi, Poso, Touna, kepulauan Togean
yang terkenal dengan wisatanya, Banggai, hingga Morowali.
Contoh
lainnya, antara Palu ke Donggala (Banawa), ke Pantai Barat, hingga Toli-toli,
dan Buol di perairan Teluk Palu dan sebagian Selat Makassar hingga Laut
Sulawesi. Dulu masih ada kapal yang melayani dua wilayah yang terakhir saya
sebutkan, yang lama tempuhnya sehari semalam.
Saya
meyakini satu hal. Kapal-kapal penumpang dan juga barang yang dirintis untuk
melayani rute di semua wilayah-wilayah itu akan membuka akses ekonomi dan lalu
lintas jasa. Tentang dampaknya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di
wilayah-wilayah itu, saya tak punya kompetensi untuk menjelaskan. Biarlah para
ahli ekonomi yang menjelaskan. Saya hanya mengkhayal dan menuliskan khayalan.
Foto Koleksi Anton Abraham Cense (KITLV), landskap Kota Donggala, 1937 |
Pelabuhan Donggala 1916, foto koleksi AW. Niuwenhuis (KITLV) |
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya