Rumah HOS Tjokroaminto, rumah kost founding fathers nasion Indonesia, Gang Peneleh, Surabaya |
SAYA
menyusuri salah satu kawasan di pusat kota Surabaya (03/04). Kawasan itu
dikenal orang di kota itu dengan nama Peneleh.
Tapi
orang-orang sepertinya hanya mengenalnya sebagai nama dan bukan sejarah. Dari
supir yang taksinya saya naiki, tukang ojeg yang lagi nongkrong, penjual kaki
lima, ibu-ibu rumah tangga, sampai pegawai puskesmas di kawasan itu saya tanyai
perihal sama, nama sebuah Gang dan nama sebuah tokoh kebangsaan. Dan semua
jawabannya sama, tidak tahu!
Dan
jadilah saya terlihat di seputar kawasan itu seperti anak ayam yang kehilangan
induk. Saya mencari alamat rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pendiri
organisasi di awal kebangkitan Indonesia, Sarekat Islam, sekaligus bapak kost
dari para pendiri bangsa. Rumah sejarah itu beralamat di Gang Peneleh 7.
Agar tak
terlalu kecewa, saya hanya berpikir mungkin saya salah “turun rumah” mitos yang
hadir di alam bawah sadar sejak saya kecil bahwa tujuan kadang tak tercapai
jika misalnya turun dengan kaki kiri duluan dan tanpa doa. Dampaknya, saya tak
bertemu orang yang bisa menunjukkan alamat yang saya cari. Akhirnya dengan
begitu ada semacam apologi bagi diri agar tak terlalu kecewa.
Perihal
ketidaktahuan itu saya pikir bukan karena sesungguhnya orang-orang tidak tahu
atau tidak mau tahu. Saya menemukan jawabannya setelah akhirnya menemukan rumah
itu dari panduan seorang kawan di media sosial Twitter. Jawaban itu akhirnya
saya dapatkan dari Eko Hadiratno (43 tahun), Ketua RT yang menurut saya bukan
sembarang ketua RT. Dengan dedikasi tinggi, Eko melayani saya dengan sangat
baik.
Eko
dipercaya oleh ahli waris keluarga Tjokroaminoto dan Pemerintah Kota Surabaya
untuk merawat sekaligus menjadi informan bagi kesejarahan rumah itu.
Menurutnya, banyak orang tak tahu soal rumah Pak Tjokro itu pernah jadi rumah
kost Soekarno ketika menjalani pendidikan SMAnya pada 1917. Bukan hanya
Soekarno, tokoh politik lainnya seperti Musso dan Alimin yang komunis, atau
Samanhudi dan Kartosuwiryo yang Islam pernah lalu-lalang tinggal di rumah kecil
itu dan berinteraksi dengan Soekarno muda, yunior mereka.
Tjokro
adalah guru politik dari nama-nama itu. Nama-nama yang memberi landasan awal
filosofis nasion yang buminya kita pijak dan katanya sudah merdeka ini.
Ini
karena usia kesejarahan tempat itu tak berbanding sama dengan catatan sejarah
yang menyertainya. Saya tak ingin menyalahkan khalayak. Sejarah kita memang
dikaburkan kepentingan penguasa pasca Soekarno, Soeharto dan Orde Baru. Sejarah
bagi kita hanya menarik dibicarakan sebagai hapalan ketika sekolah atau
justifikasi tindakan yang meotifnya penguasaan. Rumah itu oleh negara diakui
sebagai tinggalan sejarah baru pada tahun 1996.
Sudah tak
ada lagi kamar sempit dan gelap seperti yang diceritakan Soekarno pada Cindy
Adams penulis buku biografinya yang terkenal, Penjambung Lidah Rakjat itu.
Kamar di bagian belakang rumah itu telah jadi rumah tinggal orang karena
sebelum 1996 tempat itu seolah tak bertuan.
Tapi
sisa-sisa suasana kebatinan bangsa saat itu masih tertinggal di beberapa bagian
di rumah itu. Ada kamar tidur Tjokro, ruang rapat tersembunyi di langit-langit
atap, dan properti-properti tinggalan yang mengajak siapapun yang kesitu, seperti
kembali ke lorong waktu ketika ide nasionalisme, Islam, komunis, saling
berinteraksi.
Akhirnya,
sejarah selalu aktual, menurut saya. Sebagai sebuah bangsa yang lagi-lagi
katanya besar ini, sejarah harusnya jadi pijakan buat masa depan. Apa yang
terjadi hari ini adalah refleksi dari apa yang terjadi di masa lalu. Dan ketika
apa-apa yang terjadi itu tak dibaca sebagai refleksi, kesalahan dan kebodohan
yang sama akan selalu berulang. Mungkin.
Ruang rapat para aktivis Syarikat Islam di plafon rumah |
Kamar utama yang dikasih Tjokro ke BK saat kawin dengan Utari, putrinya |
Anak-anak kost itu |
Eko Hadiratno, Ketua RT Gang Peneleh |
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya