HARI-hari
ini, mahasiswa dan sebagian besar masyarakat Indonesia seperti menemukan
kembali musuh bersama: menolak kebijakan negara untuk menaikkan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM).
Tapi belum
benar-benar menjadi musuh bersama seperti momentum Reformasi Mei 1998 saat
Soeharto dilengserkan. Pasca reformasi, kebijakan menaikkan harga BBM juga
terjadi dan dinamikanya sama seperti yang terjadi hari-hari ini.
Sebagian
yang lain pro, ada yang abstain, sebagian yang lain nyaris apatis.
Alasan-alasan negara diamini: harga minyak dunia sedang naik, anggaran negara
akan jebol jika BBM tak dinaikkan, yang merasakan keuntungan ketika BBM tidak
dinaikkan malah kaum yang berpunya. Alasan-alasan pembenaran yang menurut saya
rasional sebagai konsumsi para urban kelas menengah yang katanya tercerahkan
karena informasi (well-informed).
Yang
kontra teguh bahwa sebagai negara penghasil minyak dan gas, absurd menerima
alasan-alasan negara diatas. Lalu ketika BBM naik, harga-harga kebutuhan dasar
yang lain praktis ikut naik dan itu akan melemahkan daya beli. Sebagian lainnya
menuduh negara bohong dan bahwa harga BBM kita ditentukan oleh asing.
Situasi
polemis pro kontra kebijakan ini dapat terbaca dari media sosial yang marak di
dunia maya. Di dunia nyata, ada masyarakat sipil yang bentrok dengan mahasiswa.
Tak sekadar pro, perihal kebijakan tidak populer ini malah jadi humor satir
bagi sebagian orang. Salah satunya misalnya, “jika BBM naik, sms!,” sebagai
gejala bahwa singkatan BBM bukan hanya isu politik, tapi juga komunikasi dan merek
dagang sebuah perangkat teknologi informasi.
Apa pesan
dari situasi polemis ini? Saya menyebutnya sebagai alarm, membaca situasi ini
bukan sekadar sebagai penolakan akibat sebuah kebijakan tidak populer sedang
ditawarkan pada publik, tapi titik nadir, ketika kekecewaan publik terakumulasi.
Setiap hari menu santapan kita di rumah adalah ketidakpastian di semua ranah
kehidupan: politik, ekonomi, apalagi hukum. Skema kompensasi subsidi untuk
menjawab gejolak sosial seperti yang sudah-sudah terbukti tak menjawab
persoalan pasca BBM naik. Yang ada malah
kecenderungan skema itu adalah bentuk lain pemiskinan dan yang lebih tak elok
lagi karena disinyalir sebagai cara kasar pencitraan.
Ini masa
kedua pemerintahan SBY, masa ketika titik nadir itu perlahan tapi pasti menjelma
alarm baginya sebagai pemimpin.
Pesan
lain yang menurut saya tidak polemis dan menjadi keinginan bersama (common
sense) dari momentum ini adalah “SBY, jadilah pemimpin”. Saya tidak punya kuasa
melanjutkan penjelasan jadilah pemimpin itu. Saya membaca pesan itu ada pada
pembaca yang budiman, baik yang pro maupun yang kontra. Pemuda-pemudi yang
bentrok dengan polisi karena marah di jalan-jalan raya di kota-kota itu saya
yakin menagih pesan sama.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya