1993
Saya masih SMP kelas tiga.
Baru 14 tahun. Celana pendek warna biru. Tapi kemana-mana dengan seragam itu, rokok
sudah di tangan, Filtra 100s. Entah di hari, tanggal, dan bulan apa di tahun
itu, saya memutuskan akan jadi vokalis sebuah band.
Di gitar ada Leo dan
Angki, di drum ada Kiki, di Bass ada Fandi. Band ini dipengaruhi formasi dan
lagu-lagu Guns N’ Roses. Di sebuah waktu ketika kami bolos sekolah ramai-ramai,
kamar saya berubah jadi panggung lip sync lagu band itu, Paradise City. Momen yang memantik
terbentuknya band yang kami namai OFF (kepanjangan dari One for Feel).
Personilnya satu sekolah dari SMP Negeri 2.
Saat itu, formasi OFF
dibentuk untuk sebuah rencana mengikuti festival rock. Tidak terlalu jauh dari
saat itu, sebuah band yang para personilnya saya kenal, menjadi juara favorit,
juga di sebuah festival rock. Nocturno. Band yang menginspirasi OFF lahir. Personilnya
satu sekolah di SMA Negeri 2. OFF ingin juga punya kebanggan sama seperti band
itu, Nocturno.
Saat itu ada banyak lagu
yang ditentukan panitia dan harus dipilih dua sebagai lagu wajib dan pilihan.
Jika terpilih ke final, kami bebas untuk membawakan satu lagu tambahan yang dipilih
sendiri. Kami memilih lagu band Indonesia, Jet Liar (Bukan Sandiwara) dan lagu
barat punya White Lion (Farewell to You). Yang Jet Liar tingkat kesulitan
lagunya ada di bagian yang nyanyi, sedang tak ada kesulitan berarti secara
teknis di lagu White Lion yang tanpa gitar melodi.
Hanya ada dua referensi
studio latihan OFF saat itu. Studio milik keluarga Panintjo di Boyaoge, dan
studio Uzi, yang saat itu lebih komplit, milik Pungki Lenak di jalan Yojokodi.
Beda dengan dua gitaris OFF
yang sudah agak lebih baik mengenal kord, tidak demikian halnya dengan bass.
Ada mentor khusus untuk basiss OFF mempelajari dua lagu kolom demi kolom fret,
khusus untuk dua lagu itu saja. Dua lagu yang dimainkan dalam hanya dua senar
gitar bass paling atas. Sempat berdebat, bagaimana jika OFF masuk final. Itu
berarti harus ada satu lagu yang harus disiapkan. Karena tak punya motivasi berprestasi,
bisa ikut meramaikan saja sudah cukup buat OFF.
Begitu pula pada drum.
Fill in drum di hitung ketat persis seperti pada dua lagu yang kami pilih itu,
untuk memastikan agar tempo lagu ada di jalurnya. Belum ada internet saat itu.
Saya menonton sekaligus menyontek dari video bagaimana Axl Rose meliuk-liuk
bagai ular, sesekali menaruh sebelah kakinya menginjak pengeras suara yang
berfungsi jadi monitor, yang biasanya di taruh di bagian depan panggung. Gagah
sekali rasanya jika bisa mempraktekkan gaya itu. OFF tak masuk final, tapi
sejak saat itu, saya mulai merasa salah satu pilihan saya kedepan adalah
bermain musik, mengubur impian saya yang lain yang ingin jadi pembalap
motocross.
Dua hal dari sana yang
ingin saya sampaikan adalah soal motivasi dan aktualisasi. Antara kebangaan
dikenal banyak orang dan dengan begitu menjadi lebih mudah di terima di
lingkungan pertemanan, dan juga pelepasan ekspresi kedirian, yang saat itu
lebih terasa hadir di alam bawah sadar saya yang baru memasuki masa remaja.
Setelah event itu, sebagai
band, OFF benar-benar off (mati).
Momen itu mengantar saya
pada sebuah tantangan lain. Talenta saya dilirik sebuah band rock dari sebuah
kampung kecil di kota tua Donggala, Labuan Bajo. Nama band itu Valentuma Rock
Band. Sebuah festival rock akbar akan digelar Uzi bertitel Festival Rock Se
Sulawesi. Mandor, gitaris band itu dan Muhlis drummernya, menemui saya.
Menghadapi rencana itu, saya sempat pindah tempat bermain jauh ke Donggala.
Saya lupa judul lagu yang liriknya
diciptakan Muhlis dan musiknya diaransemen oleh Chris Kamudi itu. Selain itu,
kami membawa lagu band Kidnap berjudul Katrina. Saya gugup minta ampun lihat
band rock dari Makassar, S-70 (konon singkatan dari nama jalan dan nomor rumah
di Makassar, jalan WR Supratman nomor 70 sebagai markas band) yang kala itu,
sedang check sound dan memainkan lagu Helloween, Future World.
Era festival band di Palu,
yang berkecenderungan sebagai festival musik rock, menurut beberapa sumber,
baru mulai ada sejak dekade 80an. Di dasawarsa itu besar kemungkinan
kecenderungan itu dipicu oleh fenomena tren musik dunia, ketika rock bergeliat.
Sekalipun cikal-bakalnya sudah ada sejak era 60-70an ketika generasi hippies
dan bunga berkembang tidak saja sebagai sebuah era penanda dalam musik tapi
juga sebagai gerakan kultural.
Adalah Ong Oen Log atau
lebih dikenal Log Zhelebour, promotor asal Surabaya yang terkenal dengan seri
tahunan festival rocknya itu. Kecenderungan yang juga mempengaruhi kiblat musik
rock yang Surabaya sentris. Sebut saja Power Metal, Andromeda, atau dimasa
pertengahan ada Boomerang. Masih ada banyak band dan solois rock di kota-kota
selain Surabaya yang diorbitkan Log sampai hari ini. Contoh lain Jamrud yang asal
Bandung.
Era festival itu memuncak
di awal era 90an. Lagu-lagu rock dari Surabaya cenderung jadi anutan.
1994
Saya sudah SMA. Tak lagi
menyanyi, kali itu saya banting setir jadi drummer. Sebuah komunitas yang lebih
dikenal sebagai komunitas otomotif mencoba meluaskan eksistensi mereka ke ranah
seni musik. Padahal nama komunitas itu adalah nama band rock n’ roll legendaris
asal Amrik, Grand Funk (GF). Pun sama, saaat itu saya di tarik untuk kebutuhan
menutupi ketiadaan personil yang bermain drum untuk sebuah festival rock.
Bolos sekolah saya semakin
menjadi-jadi. Ditambah miras dan mulai mengenal narkoba. Saat tampil, saya yang
bermain drum saat itu menghentikan lagu kedua yang masih di tengah jalan. Dua lagu
yang sudah kami persiapkan itu, lagu terakhir tak sampai selesai. Pil koplo
merusak konsentrasi saya untuk melanjutkan permainan.
Kiki, mantan drummer saya
di OFF yang bersekolah (SMA) di Bandung setiap kali pulang liburan ke Palu mengenalkan
saya pada Green Day. Yang sudah lama macam The Cure menjadi baru buat saya saat
itu. Radio-radio hanya memutar lagu-lagu permintaan yang diakses dari media
mainstream (televisi dan media cetak) dan kebanyakan top fourty, istilah lain bagi tren
kompetisi, lagu hits mingguan yang disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
radio yang menyelenggarakan.
Dan drum menjadi harapan
baru saya bermusik. Saat itu saya merasa tetap bisa menyanyi dibalik set drum.
Rasanya lebih menantang, lebih gagah. Ketika teman sebaya meneruskan sekolahnya
ke kelas 2 SMA, saya putus sekolah dan melanjutkan kursus drum selama enam
bulan di Studio 5, di jalan Supratman, Bandung. Tempat kursus yang dilabeli music
school of rock itu
milik musisi-musisi tua kota kembang macam Deddy Stanzah (alm), bassis band
rock terkenal asal Bandung, The Rollies.
Era Festival
Gamal, pentolan Madness,
sebuah komunitas di Palu di era itu menyebut, menyelenggarakan untuk kali
pertama festival rock pada 1986 dengan bendera Madness sebagai organizernya.
Saat itu Gamal menjadi ketua panitia. Event itu diselenggarakan di Gedung
Olahraga dibilangan jalan Prof. Mohamad Yamin yang lebih dikenal orang sebagai
jalur dua. Aset milik pemerintah propinsi yang menjadi salah satu saksi bisu
perkembangan musik itu, tak saya dapatkan data pembangunannya.
Di kesempatan yang lain,
Ges Hasan, seorang promotor musik yang terakhir pada 2009 lalu mengadakan
pagelaran musik jazz yang menghadirkan bintang tamu Zarro, menyebut pernah
menginisiasi sebuah event musik pertama di Palu yang diselenggarakan di
lapangan terbuka di halaman gedung kampus Stisipol Panca Bhakti. Event itu
diberi titel Musik Parkir. Itu tahun 1989. Mungkin serupa warna baru yang
inovatif di masa itu ketika pagelaran-pagelaran musik lebih sering
diselenggarakan diruangan tertutup.
Festival rock Madness 1986
mengantarkan nama-nama yang baru saya tahu sekarang. Interview, Tholaress,
menurut Jojon (47), adalah beberapa diantaranya yang dia ingat. Jojon adalah
bassis rock lintas generasi yang sampai hari ini konsisten bermain dan berkarya
di jalur seni musik. Kala itu, Jojon berkisah, band mereka, TR (singkatan dari
Teroris) meraih juara dua. Nama Ote Abadi, Neni Larekeng, Theo Kamudi, dan Umar
Cibo, selanjutnya Hengky Supit dan Abdee Negara sudah dikenal Jojon sebagai
pentolan-pentolan Interview saat itu.
Jojon serupa jembatan bagi
saya yang menghubungkan serpih kenangan ketika tren-tren dalam musik berganti.
Contoh itu serupa tren celana jins seorang rocker yang baggy di era 80 dan 90an
awal, lalu masuk ketika glam rock yang ketat (skinny) dan fashionable –tidak
saja celana tapi juga rambut panjang terurai rapi. Dan akhirnya sampai pada
hari ini ketika dua tren itu campur aduk bersama banyaknya pilihan genre musik
yang tidak lagi saling mendominasi.
Resmi bermain band pada
1982, Jojon menjadi saksi bagi generasi ketika era lama dan baru bertemu dan
berinteraksi. Beberapa nama ia sebut di awal pilihannya menjadi musisi itu. Ia
menyebut Ilham Lawido (alm), Dahlan Intje Makka, dan yang sangat berkesan
baginya, Man Himran (alm). Jojon pernah merasakan tampil membawa nama Risela di
sebuah acara resmi pemerintah daerah diawal pengalamannya bermusik. Mereka
membawakan lagu-lagu pop Kaili gubahan HM Bahasyuan.
Saat saya temui (18/01),
terlihat Jojon haru ketika berkisah mengenang masa lalunya bersama drummernya,
Hakim yang hari itu dimakamkan.
Tentu saya ingat Harimau
Power, juga pernah nonton langsung band bentukan RRI, Audiorama yang biasanya
tampil malam minggu di halaman kantor itu, juga Palbar (singkatan dari Palu
Barat)yang dibentuk Camat Palu Barat saat itu, Rully Lamadjido, dan Hammer Rock
Band. Saya masih SD dan melihat penampilan-penampilan Jojon cum suis di semua
bandnya itu –sering tampil di panggung lapangan Walikota atau di tempat lain
yang meninggalkan banyak kesan.
---
Sekarang, selain festival
yang sudah tak lagi menentukan lagu orang yang wajib dibawakan, sejak dulu,
event-event musik dengan bintang tamu dari luar juga tak kalah ramainya. Saya
pernah menonton Nike Ardila (alm) dan Inka Christie di Gedung Olahraga. Juga
pernah menonton Anggun C. Sasmi. Hari ini para selebitis musik yang rasanya
jauh itu datang silih berganti main di Palu. Mungkin sejak dulu, selain
berorientasi bisnis, event model itu menjadi semacam stimulan lain bagi musisi
Palu untuk menggantungkan eskpektasinya: meninggalkan kampung halaman dan
bergelut dengan nasib, dengan karya dan dengan kesempatan masuk dapur rekaman.
Beberapa nama tercatat di
blantika musik Indonesia. Abdee Negara (Slank), Rival Himran (Pallo), Sigit aka
Pasha (Ungu), Nizar (Zarro), Reza
(Peterpan), Adi Lawido (Tony Q Rastafara), Indha (Cozy Republic), Harry Mantong
(Indonesian Idol) untuk menyebut beberapa nama itu. Tentu saja masih ada nama-nama lain yang
terlewatkan oleh saya. Jauh sebelum itu, Hengky Supit (Whizzkid) seperti tak asing
di telinga orang Indonesia.
1996
Saya meninggalkan Palu dan
memilih Bandung dengan dua cita-cita sekaligus: bisa melanjutkan studi ke
perguruan tinggi dan jadi musisi.
Atmosfir kota yang dingin itu memicu sesuatu, kreasi. Saat itu, tren
musik sedang bergerak kearah alternatif. Saya tertarik di satu sisi dari gejala
itu, Seattle sound, dan mulai mengakrabkan telinga dengan band-band asal
Seattle itu: Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, Nine Inch Nails.
Gejala yang kemudian
terbaca oleh saya dimaknai oleh komunitas-komunitas subkultur di Bandung
sebagai Do it Yourself. Tidak hanya musik, sastra, rupa, hobi, literasi,
bergerak kearah sana. Mereka sering menuliskannya DIY. Ini menjadi semacam gerakan
kultural baru yang di ranah musik, band-band mulai melepaskan diri dari
pengaruh band idola, berkreasi menciptakan karya sendiri dan menyusun strategi
pemasaran. PAS band mungkin jadi sampel abadi untuk menjelaskan fenomena itu,
tidak saja di Bandung, tapi juga Indonesia.
Saya mengamati gejala itu
dari dekat. Gejala yang berjalan seiring dengan periode ketika politik
Indonesia jenuh di tahun 1998 dan reformasi menjadi anak kejenuhannya. Sempat
setelah selesai kuliah pada 2001, orientasi bermusik saya ditantang oleh kawan
yang saya idolakan sikap dan selera bermusiknya, Adi Tangkilisan. Adi, gitaris
yang di Palu terkenal dengan band Pleaseat, sebelumnya sudah mencoba
mendokumentasikan karya mereka. Bersama Rival (bass), hijrah ke Jogjakarta
untuk menyusun segala sesuatunya tentang band itu dari sana. Kevakuman dua personil
Pleaseat itu saya isi (drum), sembari menunggu kepastian Abdi (vokal) yang
masih di Palu.
Hampir setahun kolaborasi
itu berproses tanpa orientasi, tiba juga di titik nadir. Saya memilih balik ke
Bandung, Rival pindah ke Jakarta, dan hari ini setelah sekian tahun
berkolaborasi dengan banyak solois dan band, Rival memutuskan untuk membangun
sebuah duo Reggae solid yang dia beri nama Pallo. Sebuah album sudah dihasilkan.
Doa saya panjang buat Rival untuk terus eksis berkarya.
Timur dan Barat
Periode ketika festival
musik booming
di awal 90an –mungkin hampir setiap minggu festival dihelat di Palu, muncul
kecenderungan soal dikotomi antara timur dan barat. Jojon menegasi anggapan
saya soal dikotomi itu. Baginya anggapan itu salah, sekalipun tak benar-benar
salah. Dikotomi itu menurut Jojon terjadi karena fans, para pendukung tempat
band itu didirikan. Bukan oleh band itu sendiri. Groupies, mungkin istilah
kekinian yang tepat bagi para pendukung sebuah grup band.
Di masa itu, yang saya ingat
hanya beberapa. Wild Cats, Makachecho, Grandness, Azymuth, yang barat, dan
Kantata, Ex Collection, Pluto yang timur. Tapi seringkali sulit
mengidentifikasi band, karena sebagian besar band lahir menjadi tak sekadar
kumpulan orang yang memainkan alat musik, tapi juga semangat berkumpul. Sebagai
contoh tentang ini saya ingin mengajukan Kantata Pleaseat, yang awalnya diidentikkan
sebagai mimikri Iwan Fals.
Penanda polarisasi
timur-barat kemudian oleh Jojon mungkin dapat terlacak ketika pada akhir 80an,
sebuah event kontes lagu-lagu The Beatles digelar. Aura soliditas masing-masing
pendukung band terasa ketika yel-yel diteriakkan, sekalipun sebenarnya tidak
jarang ada anak timur yang main di band dari barat, dan begitu pula sebaliknya.
Jembatan, seringkali berkecenderungan memisahkan.
Tentang kecenderungan
kiblat bermusik pun sama. Era mengidentikkan Madness dengan Genesis, The
Police, dan band-band beraliran new wave, punk, dan progresif rock masa itu.
Ermas Cintawan, basiss Madness saat itu mengamini identifikasi macam itu.
Selain itu, kecenderungan lain yang bisa di baca pada pelaku lainnya misalnya
pada Revi Passau cs yang memainkan The Beatles atau The Rolling Stones.
Menurut Jojon, God Bless
menjadi salah satu kiblat mereka di barat (Boyaoge, Kamonji, Kampung Baru),
karena di masa itu yang soulnya sama seperti God Bless macam Deep Purple, Led Zeppelin, juga mereka
mainkan, tapi soalnya ada pada susahnya mencari vokalis yang aksentuasi
Inggrisnya baik.
Kecenderungan lain ada
pada soal nama band. Di barat ada banyak nama band yang pemain-pemainnya berpindah
dari satu band ke band yang lain, yang bisa jadi dibentuk dengan nama baru,
atau saling berganti. Beda dengan misalnya di timur yang secara kasuistik, bisa
dilihat pada band Ex Collection yang bermarkas di bilangan jalan Sultan
Hasanuddin, Jojon menambahkan.
Sisi positif lain dari
musik, khusus di wilayah Boyaoge adalah anak-anak muda disana seperti
mendapatkan wadah untuk mengaktualisasikan diri. Sejak lama, ada dua band,
Gembira Ria dan Soneta yang punya alat band yang biasanya mereka akses untuk
latihan atau mereka lihat penampilan dua band itu saat ada acara syukuran atau
kawinan. Musik yang dimainkan all round, dari dangdut sampai rock.
Saya baru tahu ketika akan
memulai tulisan ini, Jojon adalah basiss terbaik saat festival rock se Sulawesi
yang diadakan Uzi itu.
Era Awal
Di ranah musik, modernitas
Indonesia bisa diraba ketika pelaut-pelaut Potugis masuk membawa Fado, musik
Portugis yang kemudian dikenal dalam bentuk awalnya sebagai Moresco dan akhirnya
sebagai Keroncong. Modernisme yang mungkin tak lebih dulu meraba Palu, tapi
Parigi, ketika Hasan Muhamad Bahasyuan (1930 – 1987) mulai mengeksistensikan
dirinya sebagai seniman besar yang mulai memperkenalkan musik Hawaiian band dan
kemudian membentuk sebuah orkes keroncong yang diberi nama Irama Seni pada 1947.
Saat itu beliau menjadi pemain biolanya.
HM Bahasyuan seolah jadi
pintu masuk untuk menjelaskan perkembangan awal modernisme musik di Palu,
ketika pada 1965 dari Parigi, Bahasyuan muda pindah ke Palu dan membentuk band
yang diberi nama Nada Anda, cikal bakal Risela, band populer masa itu singkatan
dari Riri Sekeluarga. Riri adalah perempuan, anak tertua Aziz Lamadjido (alm), tokoh
yang kemudian pernah menjabat sebagai Bupati Donggala dan Gubernur Sulawesi
Tengah.
HM Bahasyuan telah
meletakkan pondasi dalam perkembangan musik modern dan spirit lokal di Palu.
Sebagai contoh, lagu Posisani gubahan HM Bahasyuan yang menurut Jojon punya
akar (roots) rock n’ roll. Atau pada lagu Kaili Kana Ku Tora yang pop a la Rinto
Harahap yang saat itu tren.
HM Bahasyuan memang telah
pergi mendahului, tapi keroncong belum mati. Saya menemukan nafas musik itu
hidup di keluarga Yusuf Dadang yang sampai hari ini masih tetap memainkan irama
keroncong bersama keluarga dan kerabatnya di ruang tamu rumahnya di jalan
Sungai Balantak, Kalikoa. Cuk, Kontra Bass, Biola, Seruling, masih bunyi dari
rumah itu. Sebagai seniman musik, Yusuf
(74 tahun) berpesan bahwa musik baginya adalah hidup, dan untuk itu sampai hari
ini pula Yusuf masih bermusik.
Akhirnya…
Saya masih bermusik. Mungkin
dengan orientasi yang tidak lagi menjadikan musik sebagai pilihan dan sandaran hidup.
Maret 2008 saya bersama Kiki, drummer band OFF itu, menginisiasi terbentuknya
sebuah komunitas musik yang kami beri nama Palu Jam of Claro (classic rock). Momen
yang kami rangkaikan dengan undangan kami pada sebuah band rock n’ roll dari
Bandung The SIGIT.
Setelah pulang kampung
pada 2007, saya tak punya peta. Kalaupun ada, peta yang saya gunakan adalah
peta buta yang tak punya penanda. Tapi saya tahu, media, khususnya radio-radio
di Palu juga memberi ruang khusus buat musisi Palu yang ingin memperdengarkan
karya-karya mereka pada pendengar. Organizer-organizer tumbuh dan tak jarang
bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan rokok atau produk jasa lainnya menggelar
event-event yang melibatkan band-band dengan karya sendiri yang seringkali dilabeli
dengan lema indie (dari kata independent).
Di sebuah waktu yang
bersamaan, event-event itu menyebar dan pilihan atasnya beragam, termasuk pada pilihan
genre musik yang ingin didengarkan.
Terakhir, pada Desember
2011, impian saya yang lain, mengundang band pop Efek Rumah Kaca main di Palu terwujud.
Dua band yang saya suka. Suka yang tidak biasa. Suka musikalitasnya, suka langgamnya,
suka sikapnya bermusik: memadukan kebutuhan hiburan dan refleksi yang
menginspirasi.
Epilog
Saya senantiasa membangun kepercayaan bahwa karya seni
yang baik akan menjadi serupa bunga yang didatangi kumbang. Cepat atau lambat
ada pada soal waktu, bukan? dan bukan ruang! Teknologi, menciptakan ruang
terbuka yang akan menjawab kebutuhan teknis pendokumentasian karya seni juga sekaligus
sebagai alat mempublikasikan karya seni itu sendiri. Tapi tentu saja dengan
tetap menggunakan strategi untuk menemukenali orientasi berkarya. Dan akhirnya,
sebagai sebuah gerakan kultural, lokalitas dalam karya seni harusnya dimaknai
sebagai spirit yang memberikan kekhasan.
Keren bro, salam sukses yaaa
ReplyDeletehttp://fgirlsband.blogspot.com
Mantap ulasan nya, kalau bisa pake dokumentasi foto vestival jaman dulu di palu, festifal rolling stone , saya yakin ilo larekeng masih punya, salam...dedong_anak palu
ReplyDelete