PELESIR
alias jalan-jalan, bersenang, tanpa disadari kadang memang jadi lebih substansi
dari tujuan utama dalam sebuah kegiatan serius seperti studi banding.
Bersenang
dalam sebuah perjalanan adalah salah satu modus psikis purba yang ada pada
sebagian besar manusia selain makan, minum, dan memenuhi kebutuhan biologis.
Gejala yang hadir karena komodifikasi kebendaan, rasa ingin tahu (kuriositas)
pada tempat-tempat baru dan asing, dan status sosial itu membuat setiap
perjalanan selalu ada penanda khasnya. Berbelanja, mengabadikan perjalanan,
termasuk mencatatnya, adalah beberapa perilaku yang merespon gejala itu.
Muncul
soal. Bagaimana dengan perjalanan yang konteksnya adalah studi banding, yang
biayanya bukan dari uang pribadi?
Inilah
yang kemudian ditunjukkan oleh mahasiswa Indonesia di Jerman yang tergabung
dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), yang menolak kedatangan 10 anggota
DPR RI dari komisi 1 yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi
(24/4), dengan melakukan aksi walkout dari
acara ramah tamah di gedung KBRI dengan para wakilnya yang datang jauh-jauh
dari Jakarta itu. Aksi penolakan itu segera tersiar dan di respon publik
melalui media massa, khususnya media sosial internet yang berbasis audiovisual,
Youtube.
Beberapa
hal dikeluhkan. Dari soal pemborosan anggaran Rp. 3,1 miliar, soal bawa
rombongan termasuk keluarga dalam perjalanan, soal urgensi studi banding, soal
transparansi, soal pelesir. 10 anggota DPR itu akan studi banding tentang alat utama
sistem senjata (alutsista).
Soal-soal
yang kompleks. Tapi satu hal, bahwa opini publik mengarah pada kegiatan studi
banding yang secara konseptual sebenarnya dibutuhkan sebagai referensi
pembanding itu tetap saja tak populis, seperti kritik para mahasiswa di atas.
Teknologi
informasi hari ini, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, penulis buku-buku
kebudayaan itu, telah melipat batas-batas geografis dunia. Rekaman yang
dikirimkan para mahasiswa di Jerman yang melakukan aksi walkout itu contohnya. Rekaman itu
seakan memberitahukan hal lain terkait perjalanan para wakil rakyat yang mereka
tolak itu, teleconference, cara murah berkomunikasi dan mendapatkan informasi,
lintas ruang dan waktu.
Tapi
selalu akan ada sanggahan politis dan diplomatis atas kritik itu. Bahwa
kegiatan-kegiatan seperti studi banding itu telah jauh-jauh hari direncanakan
dan untuk itu pula dianggarkan dan harus dilaksanakan. Kritik harusnya ada pada
proses perencanaan. Tapi tak apalah. Sudah basah. Jika saya jadi anggota DPR
yang dikritik itu, saya akan bilang bahwa tujuan utama saya adalah studi
banding. Yang lain yang tidak utama adalah jalan-jalan, foto-foto, dan beli
oleh-oleh buat keluarga di rumah yang tidak saya ikutkan. Boleh kan?
Gambar: formulablogger.com
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya