SEORANG
kawan mengirimkan statusnya yang terbaru melalui Facebook. Status yang isinya
pertanyaan, apa sebenarnya tupoksi politisi?
Saya tak tahu dan juga sebenarnya
tak mau tahu, maksud dibalik pertanyaan kawan saya itu, perihal tupoksi (singkatan
dari tugas pokok dan fungsi) politisi itu. Menurut saya, pertanyaan itu tidak
saja menggelitik, tapi juga memantik saya untuk menulis.
http://indonas.blogspot.com/p/tak-bisa-bicara.html |
Saya
menanggapi status kawan itu. Ada dua hal dalam singkatan (akronim) dari tupoksi
itu. Pertama bahwa tugas pokok politisi menurut saya adalah bicara. Kedua dan
seterusnya sebagai fungsi politisi menurut saya bicara juga. Saya dapat
tanggapan balik. Enak juga jadi politisi kalau tupoksinya hanya bercerita,
tulis kawan saya itu. Maksud bercerita itu adalah bicara. Dan masih menurut
kawan saya itu, ada dua model politisi, yang formal dan yang tidak formal,
lengkap dengan penandanya, satu di partai politik, satunya lagi biasanya di
warung kopi.
Memang ada
yang rancu di soal-soal itu. Singkatan tupoksi hanya dikenal dalam konteks
formal. Artinya ketika kita lekatkan dia dengan kata politisi, atau orang yang
bekerja di dunia politik, politisi yang dimaksud adalah orang atau pribadi yang
bekerja sebagai perwakilan banyak orang melalui partai politik di gedung
parlemen. Singkatnya, adalah mereka yang sering disebut dengan anggota dewan
yang terhormat.
Saya
meyakini bahwa kerja sesungguhnya seorang politisi baik yang tidak formal,
apalagi yang formal, adalah bicara, meneruskan pembicaraan (baca kebutuhan) banyak
orang, ke orang lain atau pihak tertentu yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan
bersama itu. Ini yang misalnya membedakan politisi dengan birokrat sebagai
profesi. Ranah kerja birokrat ada di urusan-urusan administrasi. Yang
menyamakan keduanya secara formal adalah bahwa keduanya sama-sama mengambil
keputusan.
Coba
bayangkan, kalau politisi tak suka bicara, lebih sering diam, dan kalau pun
bicara lebih sering tak ada isinya alias asal bicara atau asal bunyi untuk
sekadar dianggap bicara.
Ada soal
disini yang menurut saya, tidak saja karena sistem, tapi juga keterampilan,
berpolitik. Soal-soal itu kemudian mempengaruhi persepsi awam pada realitas
bahwa politik menjadi begitu identik dengan hal-hal yang bertendensi negatif.
Ini buah dari para pelakunya, politisi, dan bukan karena politik sebagai
substansi, sebagai seni mengelola kepentingan.
Tak
jarang, kita menyaksikan politik hari ini dalam pernyataan-pernyataan banal
para politisi juga birokrat yang berhamburan di media massa, dan di ruang-ruang
sidang, memang sudah tak lagi mencerahkan, memberikan jaminan kesejahteraan,
apalagi mencerdaskan. Yang tinggal dalam realitas itu adalah kesan bahwa
politik begitu absurd, keras, tidak santun, kotor, dan ah, sudahlah…
Banyak
cerita tak baik itu membungkam cerita-cerita kecil yang baik dari proses
politik yang ada yang harusnya dikonsumsi publik dan sekalipun kecil dan
sedikit, tapi mengisyaratkan bahwa kita masih punya masa depan. Lagi-lagi ini
soal keterampilan politisi.
Saya
bertanya lagi pada kawan saya itu, terus tupoksi politisi yang ideal menurut
dia apa? Karena kayaknya dia tak puas dengan tanggapan saya bahwa tupoksi
politisi sekadar “bicara” itu, yang mungkin terlalu menyederhanakan. Kawan saya
itu menjawab, menginginkan politisi yang berjuang untuk rakyat, yang menjadikan
politik sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk merebut
kekuasaan. Di tengah tanggapannya itu diselipkannya kalimat yang di dipagarinya
dalam tanda baca kurung. Kawan saya itu menulis, ah basi.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya