Tuesday, July 17, 2012

POLITISI


SEORANG kawan mengirimkan statusnya yang terbaru melalui Facebook. Status yang isinya pertanyaan, apa sebenarnya tupoksi politisi? 

Saya tak tahu dan juga sebenarnya tak mau tahu, maksud dibalik pertanyaan kawan saya itu, perihal tupoksi (singkatan dari tugas pokok dan fungsi) politisi itu. Menurut saya, pertanyaan itu tidak saja menggelitik, tapi juga memantik saya untuk menulis.

http://indonas.blogspot.com/p/tak-bisa-bicara.html
Saya menanggapi status kawan itu. Ada dua hal dalam singkatan (akronim) dari tupoksi itu. Pertama bahwa tugas pokok politisi menurut saya adalah bicara. Kedua dan seterusnya sebagai fungsi politisi menurut saya bicara juga. Saya dapat tanggapan balik. Enak juga jadi politisi kalau tupoksinya hanya bercerita, tulis kawan saya itu. Maksud bercerita itu adalah bicara. Dan masih menurut kawan saya itu, ada dua model politisi, yang formal dan yang tidak formal, lengkap dengan penandanya, satu di partai politik, satunya lagi biasanya di warung kopi.

Memang ada yang rancu di soal-soal itu. Singkatan tupoksi hanya dikenal dalam konteks formal. Artinya ketika kita lekatkan dia dengan kata politisi, atau orang yang bekerja di dunia politik, politisi yang dimaksud adalah orang atau pribadi yang bekerja sebagai perwakilan banyak orang melalui partai politik di gedung parlemen. Singkatnya, adalah mereka yang sering disebut dengan anggota dewan yang terhormat.

Saya meyakini bahwa kerja sesungguhnya seorang politisi baik yang tidak formal, apalagi yang formal, adalah bicara, meneruskan pembicaraan (baca kebutuhan) banyak orang, ke orang lain atau pihak tertentu yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan bersama itu. Ini yang misalnya membedakan politisi dengan birokrat sebagai profesi. Ranah kerja birokrat ada di urusan-urusan administrasi. Yang menyamakan keduanya secara formal adalah bahwa keduanya sama-sama mengambil keputusan.  

Coba bayangkan, kalau politisi tak suka bicara, lebih sering diam, dan kalau pun bicara lebih sering tak ada isinya alias asal bicara atau asal bunyi untuk sekadar dianggap bicara. 

Ada soal disini yang menurut saya, tidak saja karena sistem, tapi juga keterampilan, berpolitik. Soal-soal itu kemudian mempengaruhi persepsi awam pada realitas bahwa politik menjadi begitu identik dengan hal-hal yang bertendensi negatif. Ini buah dari para pelakunya, politisi, dan bukan karena politik sebagai substansi, sebagai seni mengelola kepentingan.

Tak jarang, kita menyaksikan politik hari ini dalam pernyataan-pernyataan banal para politisi juga birokrat yang berhamburan di media massa, dan di ruang-ruang sidang, memang sudah tak lagi mencerahkan, memberikan jaminan kesejahteraan, apalagi mencerdaskan. Yang tinggal dalam realitas itu adalah kesan bahwa politik begitu absurd, keras, tidak santun, kotor, dan ah, sudahlah…

Banyak cerita tak baik itu membungkam cerita-cerita kecil yang baik dari proses politik yang ada yang harusnya dikonsumsi publik dan sekalipun kecil dan sedikit, tapi mengisyaratkan bahwa kita masih punya masa depan. Lagi-lagi ini soal keterampilan politisi.

Saya bertanya lagi pada kawan saya itu, terus tupoksi politisi yang ideal menurut dia apa? Karena kayaknya dia tak puas dengan tanggapan saya bahwa tupoksi politisi sekadar “bicara” itu, yang mungkin terlalu menyederhanakan. Kawan saya itu menjawab, menginginkan politisi yang berjuang untuk rakyat, yang menjadikan politik sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk merebut kekuasaan. Di tengah tanggapannya itu diselipkannya kalimat yang di dipagarinya dalam tanda baca kurung. Kawan saya itu menulis, ah basi.

Masih rancu juga. Kawan saya masih tak menerima bahwa politik adalah perebutan kekuasaan. Bagi saya, selain seni mengelola kepentingan, politik juga hadir sebagai seni merebut kekuasaan. Soalnya ada pada bagaimana cara merebut kekuasaan. Memilih santun atau tidak santun. Ini serupa upaya mencari keseimbangan, meminjam istilah hukumnya, antara das sein dan das sollen, antara harapan dan kenyataan. Tuduhan atas pendekatan demikian adalah sebagai Machiavellian, pola pikir yang dipengaruhi filsuf politik itu. Tak apalah, karena buat apa berpolitik, kalau hanya sekadar bicara. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..