namamu Lindu
getar itu
rapuh batu
kata-kata jadi kayu
jadi puisi paling sendu
hari itu
MINGGU pagi (19/08). Lantunan
suara takbir berkumandang. Matahari terbit perlahan dengan gagah. Orang-orang di
Kota Palu berduyun-duyun di jalan-jalan menuju mesjid dan lapangan hendak menunaikan
ibadah shalat ied, merayakan hari lebaran. Sekira 50 km dari situ, di Kulawi
dan sekitarnya, beberapa desa terisolir, setelah gempa besar yang terjadi saat
sore jelang buka puasa terakhir (Sabtu, 18/08).
Sebuah rumah di Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi |
Berita saat dini hari pasca gempa
dari salah satu saluran tv, ada korban jiwa, rumah-rumah rusak, banyak titik di
ruas jalan poros yang menghubungkan Kota Palu dan Kecamatan Kulawi mengalami
longsor parah yang membuat akses jalan terputus.
Beberapa saat setelah gempa,
sempat terjadi silang pendapat dengan beberapa kawan tentang pusat gempa. Badan
Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sebagai instansi yang berwenang
memberikan informasi perihal gempa merilis laporannya. Pusat gempa, oleh BMKG terjadi
di arah baratdaya, 27 km dari Kabupaten Parigi Moutong, dengan skala richter
6,2, dikedalaman 10 km. Yang itu berbeda dengan laporan United States
Geological Survey (USGS), BMKG milik Amerika Serikat yang merilis pusat gempa
terjadi di Kulawi, dekat Danau Lindu (di peta Google), dengan skala richter 6,3
dan dikedalaman 19,9 km.
Perbedaan data sebagai laporan
itu berimplikasi pada perhatian publik, kerusakan berpusat di sekitar wilayah administrasi
Kabupaten Parigi Moutong. Media-media menyebut Gempa Sulawesi Tengah. Kerabat
di luar kota yang mengirim pesan atau menelepon untuk bermaaf-maafan, keterusan
untuk melakukan klarifikasi berita-berita media, memastikan tak terjadi apa-apa
sebelum lebaran. Yang di Kota Palu saja getarannya hebat, apalagi yang berada
di pusat gempa.
Besar kemungkinan Lembah Palu
yang terkenal memiliki patahan (sesar) bernama Palu Koro yang membentang dari
arah utara di laut Selat Makassar dan membelah Kota Palu hingga ke arah selatan
itu, adalah penyebabnya. Sebagai gejala alam, sesar itu bergerak tidak biasa
juga dangkal hari itu, dan menimbulkan apa yang di sebut orang-orang sebagai
tanah goyang.
Sesar aktif itu senantiasa
bergerak. Suatu kali saya pernah ke kantor BMKG di Padanjese, Kota Palu. Di
kantor yang berfungsi sebagai pos pemantau gempa itu saya sempat berbincang
dengan salah seorang petugas yang bekerja mengamati pergerakannya. Hampir
setiap hari sesar itu bergerak namun dalam skala yang kecil dan dalam. Terasa
sebagai tanah goyang atau gempa, apalagi hingga menimbulkan kerusakan, korban
baik jiwa maupun bangunan, jika skala gerakannya besar dan dangkal.
Di sepanjang perjalanan menyusuri
lokasi yang semakin mendekat ke pusat gempa, sejak Kecamatan Gumbasa, situasi
mulai terlihat berubah pada beberapa bangunan. Sebuah rumah rusak berat hingga
rata dengan tanah di Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa. Rumah itu dapat segera
terlihat karena berada di jalan poros. Beberapa warga di sana mengatakan,
rumah-rumah lain yang letaknya agak ke dalam, yang tidak berada di sisi-sisi jalan
poros pun banyak yang rusak. Sehingga, pendataan harus cermat. Desa Tuva adalah
desa terakhir, perbatasan antara kecamatan Gumbasa dan Kecamatan Kulawi.
Setelah Tuva, masuk ke Kecamatan
Kulawi desa pertama yang akan ditemui adalah Desa Salua, desa terakhir yang
dapat diakses saat itu. Titik-titik longsoran terlihat semakin sering ditemui.
3 dusun di di desa itu bangunan-bangunannya juga banyak yang rusak. Tenda-tenda
darurat pengungsian didirikan. Tak sedikit warga mengungsi ke desa tetangga
yang dirasakan lebih aman.
Pengungsian itu dipantik oleh kekhawatiran
warga, Sungai Saluki yang bermuara di Desa Salua, ke Daerah Aliran Sungai (DAS)
Miu itu debit airnya berkurang drastis –dipercaya karena tertutup longsoran
pasca gempa, yang itu mengindikasikan ancaman lain: banjir bandang. Kerusakan
parah terjadi di sekitar Lindu yang pasca gempa baru dapat diakses dengan
menggunakan helikopter.
Belum juga setahun lewat (3
Desember 2011) dan masih lekat diingatan bagaimana banjir bandang menyapu Desa
Bolapapu di Kulawi yang menimbulakn korban jiwa dan bangunan.
Ada kebutuhan mendesak bagi Sigi
sebagai kabupaten paling bungsu di Sulawesi Tengah ini untuk memikirkan sacara
serius dan sungguh-sungguh upaya-upaya mitigasi bencana dalam siklus pra
bencana lalu tanggap darurat ketika bencana terjadi, dan pasca bencana ketika
pemulihan (recovery).
Upaya-upaya itu harus didukung
oleh semua pihak, baik oleh masyarakat Sigi, saudara-saudara tetangga, dan khususnya
Propinsi Sulawesi Tengah, bahkan dunia internasional. Kenapa dunia? Tak lain
karena ada taman nasional sebagai satu dari tinggal sedikit paru-paru dunia
yang tertinggal ada di sana. Apapula hubungannya dengan tetangga seperti Poso,
Donggala, Parigi Moutong, dan Kota Palu sebagai ibukota? Itu karena ada
keterkaitan dan keterikatan geografis (alam) dan sosial diantara wilayah-wilayah
yang sering disingkat Palapas itu.
Bagi masyarakat Sigi bentuk
dukungan bagi upaya mitigasi itu tentu saja menjadi sesuatu yang terberi.
Sayangnya, masih dalam duka bencana, sekaligus khidmat lebaran, beberapa hari
setelah tanah goyang, gempa yang lain datang menghadang. Bencana sosial karena
tawuran antar warga di Kecamatan Marawola juga meminta korban jiwa dan harta
benda. Tidak saja warga di sana, tapi juga wartawan yang sedang meliput
kejadian. Sungguh menyesakkan.
namamu Sigi
sesuatu padamu terberi
danau di Kulawi
dan bentang alam yang serupa nyanyi
sunyi
aku mengeja pelan sepi, mareso
masagena
mari bekerja keras dan bersatu
dalam ruang
dalam waktu
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya