SAYA pernah jadi dosen
luar biasa selama satu semester untuk mata kuliah Hubungan Internasional di
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tadulako. Dalam sebuah kesempatan
berdiskusi di ruangan kuliah dengan mahasiswa semester akhir, saya menunjuk
secara acak, meminta pada salah seorang mahasiswa, menjelaskan tentang siapa
dia. Terserah akan mulai dari mana penjelasan soal kediriannya itu. Permintaan
saya itu terkait dengan tema kuliah kami saat itu, geopolitik. Dan mahasiswa
itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian saya meminta
kerelaan mahasiswa yang lain untuk memulai diskusi kami itu. Tak ada. Saat itu
yang ada di pikiran saya kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan, apakah
mahasiswa segan –untuktidak mengatakan takut menyampaikan pendapat, atau
mahasiswa tak paham geopolitik itu apa. Saat itu saya hanya ingin tahu
sejauhmana orang memahami keber-ada-annya: kesehariannya, lingkungannya, yang
menurut saya penting sebagai upaya memahami hal yang ada di luar dirinya.
Pendeknya, geopolitik secara sederhana –sekalipun tak sesederhana yang saya
maksud, adalah kemampuan memahami keberadaan diri dan letak dan yang melingkupi
diri dan letak itu sejak rukun tetangga sebagai lingkup sosial terkecil domisili,
hingga dunia yang hari ini oleh teknologi menjadi sudah tak lagi berbatas.
Pendeknya lagi, diskusi
itu hanya ingin mengarah pada hal-hal sederhana, orang tahu nama jalan/gang
rumahnya, nomor rumahnya, siapa tetangganya, nomor rukun tetangganya, rukun
warganya, bagus kalau orang tahu siapa ketua rt dan rw-nya, namanya, termasuk
nama kelurahannya atau desa, di mana kantor lurah atau desanya itu,
kecamatannya, kantor a, b, c, untuk urus a, b, c, dan seterusnya, kantor kepala
daerahnya dan kantor dprd sebagai wakil-wakil mereka. Semua hal-hal yang
sederhana, bukan?
Secara serius geopolitik
seringkali diidentikkan menjadi apa yang dikenal sebagai wawasan nusantara.
Tulisan saya tak hendak menjelaskan panjang lebar dan dalam perihal tema yang
di masa orde baru berkuasa itu malah digunakan untuk menyeragamkan keberagaman,
padahal secara konseptual, geopolitik Indonesia yang jadi wawasan nusantara itu
mengakui keberagaman kebudayaan dan keyakinan warganya, juga keberagaman dimensi
alamnya.
Itu karena pemahaman
geopolitik itu belum lagi masuk ke hal-hal yang lebih khusus, misalnya tentang batas
dan potensi kewilayahan sejak rumah, kantor, kelurahan atau desa, kota atau
kabupaten, propinsi, negara, pulau, kawasan, benua, dunia, dan bla bla bla…
Pertanyaannya kemudian, misalnya
buat seorang ibu rumah tangga, atau tukang ojek, atau penjual ikan di pasar,
apa gunanya geopolitik? Sepintas lalu rasanya memang tak penting. Orang suka
meyakini peribahasa bijak itu, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Menurut saya peribahasa yang anonim itu tak sekadar praksis orang bisa hidup di
mana saja. Kemampuan beradaptasi secara sosial adalah pemahaman geopolitik yang
secara tak sadar ada di masing-masing orang. Agar bisa diterima dan
mengaktualisasikan diri di sebuah lingkungan, hal pertama yang menjadi serupa
syarat mutlak adalah kamu harus mengenal dengan baik lingkungan dan termasuk tetangga-tetangga
di empat penjuru arah mata angin darimu, bukan? Soal kamu selanjutnya bisa
akrab dan berinteraksi, saya pikir itu soal pilihan.
ada di mana kamu di peta ini, sayang? dan tahukah bahwa kamu adalah pusat? :) |
Itulah mengapa situasi yang
digambarkan di atas akan sedikit berbeda dengan biasanya kearifan lokal milik
masyarakat adat, yang jauh dari pusat kekuasan ekonomi dan politik di kota.
Pengetahuan geopolitik masyarakat adat yang juga hadir sebagai bawaan itu
biasanya tercermin dari pemahaman mereka atas sejarah tempat mereka bermukim
dan bagaimana mereka menyikapinya dengan perilaku sehari-hari.
Mereka tak paham
geopolitik sebagai konsep akademik yang serius itu, tapi mereka paham dan
serius soal bagaimana berinteraksi dengan saudara se ngata (kampung), tetangga,
bagaimana memperlakukan tamu yang datang, memperlakukan tanah, sungai, hewan,
tumbuhan, sebagai sebuah sistem yang saling berkait dan menjadi bagian dari
keseharian. Sekalipun demikian, sayangnya nilai-nilai lokal di beberapa tempat itu
juga banyak yang digerus oleh perubahan zaman, dan di tengah perubahan itu orang-orang
terlihat gagap, termasuk pada orang-orang kota, pada urban.
Kesadaran atas pemahaman
geopolitik adalah bagian dari literasi juga, kemampuan “membaca” kapasitas yang
ada pada diri dan di sekitar keseharian diri itu, potensinya maupun kerentanannya.
Sebagai hewan politik
(zoon politicon) membuat seorang tukang ojek yang cerdas secara geopolitik
tentu saja paham, dimana dia harus mangkal dan membentuk konvensi bersama
kolega sesama ojek untuk mendistribusikan rezeki pengguna jasa mereka, membentuk
sebuah harmoni sosial baru yang seringkali tidak tertulis. Ibu rumah tangga
paham, misalnya, secara letak, rumah tempat dia tinggal berada di kerentanan-kerentanan
(bencana), jika terjadi sesuatu hal karena kerentanan-kerentanan itu,
antisipasi sudah dipikirkan dan didiskusikannya dengan anggota keluarganya,
sebagai upaya mengurangi risiko. Yang jual ikan paham jika urus apa-apa
misalnya untuk urus pinjaman bank untuk usahanya karena harus ada legalisasi
kependudukan, tahu harus kemana, misalnya ke kelurahan, syarat-syarat yang
biasanya ditanyakan pegawai kelurahan dia punya dan siapkan: surat pengantar
dari ketua rt, pajak bumi bangunan, dan seterusnya. Tiga dari mereka itu merasa
punya hak ketika ada forum warga dilibatkan, memberikan pendapat, masukan,
mengoreksi.
Kalau sebuah kota kita
posisikan sebagai diri, geopolitik akan membuat sebuah kota dituntut untuk
memahami kapasitasnya, kemampuannya, kelemahannya, apa yang dia punya dan yang
tidak dipunyai kota, agar dengan begitu kota menjadi bisa memahami kediriannya
untuk tetap berkembang di tengah perubahan dan kenyataan bahwa ada diri-diri
lain, kota-kota tetangga yang juga berbenah di tengah perubahan yang terjadi.
Orang-orang yang tinggal di kota itu
adalah kesatuan geopolitik. Anggap saja ini duga-duga. Semakin tinggi tingkat
kesadaran kritis geopolitik warga sebuah kota, akan berdampak pada semakin baik
pula kota itu berkembang. Apa maksud kata “baik” itu? bagi saya, kota-kota akan
menjadi lebih ramah dan humanis, dan bukan sebaliknya, sangar dan kasar,
terlebih pada yang minoritas.
Namun seiring itu, saya
juga suka bertanya-tanya, ketika wilayah dengan batas-batas tegas, kota-kota
memahami geopolitiknya dan karenanya
berkompetisi dalam biasanya rumusan visi sebagai yang terdepan, termaju dan ter
ter lainnya, wilayah tertentu, kota-kota, kemudian menjadi tidak bersahabat
dalam kompetisi. Ukuran-ukuran “paling” bla bla bla sebagai visi itu tak lagi
berada dalam tujuan-tujuan bersama di luar dirinya, pada wilayah lain dalam
konteks yang lebih besar (bangsa), dan dalam dirinya, pada warga Yang Lain (the
others).
Kesadaran geopolitik bagi
saya akan membuat orang menjadi lebih peduli pada tujuan-tujuan, kesepakatan
bersama, kontrak sosial yang seringkali konvensional, tidak tertulis, kenapa
harus berkomunitas, bermasyarakat, kenapa harus bernegara-bangsa, bahkan apa
pentingnya sadar menjadi warga dunia, dengan misalnya, mengerti ada hubungan
empati kemanusiaan antara seseorang yang tinggal di sebuah gang sempit di Kota
Palu dengan seorang Rohingya yang sedang dalam kecemasan konflik sosial di
Myanmar. Dan empati itu bisa berdampak. Geopolitik mempertanyakan semua
soal-soal di atas dengan kritis.
Saya ingin menutup tulisan
ini dengan mengajukan soal perihal geopolitik dengan apa yang terjadi dan dekat
dengan saya sekarang. Hari ini, Kota Palu sudah pecah menjadi 8 kecamatan, dari
yang sebelumnya 4. Apa pesan geopolitik dari perubahan itu? ketika luas wilayah
tak bertambah, membuat jumlah kelurahan di masing-masing kecamatan menjadi
lebih sedikit?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya