SAYA belum baca buku
terjemahan Douglas Wilson yang berjudul 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia yang
dibakar (13/6) oleh penerbitnya sendiri itu, Gramedia.
Awalnya bermula dari surat
pembaca yang dikirimkan ke salah satu harian nasional (Republika). Syahruddin,
warga Depok yang mengirimkan surat pembaca itu menyebut salah satu halaman pada
bab di buku itu yang bercerita tentang Nabi Muhammad, informasinya menyesatkan.
FPI (Front Pembela Islam) dan lalu MUI (Majelis Ulama Indonesia) selanjutnya
meminta penerbit untuk memusnahkan buku tersebut.
criticsatlarge.ca |
Pemusnahan buku dipilih
dengan cara dibakar. Di hadapan insan pers di halaman gedung milik grup
Gramedia, Bentara Budaya Jakarta, buku yang dicetak 3000 eksemplar itu ditaruh
dalam tong-tong kosong kemudian dibakar. Selanjutnya permasalahan jadi kompleks
dan polemik terjadi di media-media sosial.
Saya belum baca buku yang
dibakar itu, termasuk membaca utuh keberatan yang dilayangkan melalui surat
pembaca itu. Tapi sedikitnya saya tahu substansi kenapa buku itu kontroversi. Saya
ragu dan untuk itu keberatan dengan kebenaran (premis) yang dibangun dan
kemudian ditulis Douglas Wilson tentang sosok Nabi Muhammad. Syahruddin lebih
dulu membaca tulisan itu dari saya. Artinya, kalau saja saya membacanya duluan,
saya akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Syahruddin, melakukan
kritik pembacaan dan melayangkan surat pembaca untuk dipublikasikan.
Di sisi yang lain, saya
menyayangkan sikap penerbit Gramedia perihal seleksi pada naskah-naskah
terbitan. Sebagai penerbit dengan kiprah panjang, Gramedia tentu punya
mekanisme soal itu, apalagi ketika sebuah naskah menjadi sangat sensitif pada
isu SARA, dan juga terlebih lagi pada soal yang akhirnya kemudian paling saya
sesalkan, membakarnya.
Membakar buku buat saya
harusnya dibaca tak sekadar sebagai kegiatan, sebuah kata kerja. Membakar buku
adalah simbol. Sama seperti motor atau rumah yang dibakar massa sebagai penanda
bagi sebuah situasi yang rusuh, chaos sosial.
Buku sebagai jendela dunia
adalah juga simbol bagi peradaban dan kemanusiaan. Pada buku pikiran-pikiran
manusia didedahkan. Tak jarang, buku-buku lain hadir untuk memperkaya
pikiran-pikiran yang sudah ada atau malah bahkan menantang dan menentangnya.
Kehidupan dinamis di ranah literasi yang sehat dan mencerahkan harus terus
ditumbuhkan. Ketika sebuah tulisan tak sesuai dengan apa yang kita harapkan,
tuliskan hal baru untuk mendekonstruksi secara kritis tulisan sebelumnya. Juga
tentu saja menulis realitas yang menurut kita timpang.
Realitas sosial yang
timpang dan keberaksaraan yang tak dipandang memang lebih cenderung memilih
lisan dan menegaskan keberlisanan itu dengan tindakan, yang tidak jarang dengan
cara-cara kekerasan.
Peradaban hari ini
dibentuk oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh temuan-temuan
yang dipublikasikan. Catatan-catatan lama yang dibukukan itu sangat
mempengaruhi atas apa-apa yang terjadi hari ini. Saya meyakini satu hal,
tingkat keberadaban manusia akan ditentukan oleh situasi ketika literasi sebuah
masyarakat baik dan bahwa literasi kemudian dianggap memanusiakan manusia.
Akhirnya memang ada banyak
buku yang diterbitkan. Tapi tentu tak semua buku bagus dan mencerahkan.
Ketidaksukaan kita pada buku yang isinya buruk tidak lantas membuat kita
mengambil kesimpulan tindakan, memusnahkannya dengan cara membakar.
Dan saya ingin menutup
tulisan ini sambil mendengarkan sebuah lagu dari band Efek Rumah Kaca yang
berjudul Jangan Bakar Buku.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya