Monday, October 1, 2012

BAKAR BUKU


SAYA belum baca buku terjemahan Douglas Wilson yang berjudul 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia yang dibakar (13/6) oleh penerbitnya sendiri itu, Gramedia.

Awalnya bermula dari surat pembaca yang dikirimkan ke salah satu harian nasional (Republika). Syahruddin, warga Depok yang mengirimkan surat pembaca itu menyebut salah satu halaman pada bab di buku itu yang bercerita tentang Nabi Muhammad, informasinya menyesatkan. FPI (Front Pembela Islam) dan lalu MUI (Majelis Ulama Indonesia) selanjutnya meminta penerbit untuk memusnahkan buku tersebut.

criticsatlarge.ca

Pemusnahan buku dipilih dengan cara dibakar. Di hadapan insan pers di halaman gedung milik grup Gramedia, Bentara Budaya Jakarta, buku yang dicetak 3000 eksemplar itu ditaruh dalam tong-tong kosong kemudian dibakar. Selanjutnya permasalahan jadi kompleks dan polemik terjadi di media-media sosial.

Saya belum baca buku yang dibakar itu, termasuk membaca utuh keberatan yang dilayangkan melalui surat pembaca itu. Tapi sedikitnya saya tahu substansi kenapa buku itu kontroversi. Saya ragu dan untuk itu keberatan dengan kebenaran (premis) yang dibangun dan kemudian ditulis Douglas Wilson tentang sosok Nabi Muhammad. Syahruddin lebih dulu membaca tulisan itu dari saya. Artinya, kalau saja saya membacanya duluan, saya akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Syahruddin, melakukan kritik pembacaan dan melayangkan surat pembaca untuk dipublikasikan.

Di sisi yang lain, saya menyayangkan sikap penerbit Gramedia perihal seleksi pada naskah-naskah terbitan. Sebagai penerbit dengan kiprah panjang, Gramedia tentu punya mekanisme soal itu, apalagi ketika sebuah naskah menjadi sangat sensitif pada isu SARA, dan juga terlebih lagi pada soal yang akhirnya kemudian paling saya sesalkan, membakarnya.

Membakar buku buat saya harusnya dibaca tak sekadar sebagai kegiatan, sebuah kata kerja. Membakar buku adalah simbol. Sama seperti motor atau rumah yang dibakar massa sebagai penanda bagi sebuah situasi yang rusuh, chaos sosial.

Buku sebagai jendela dunia adalah juga simbol bagi peradaban dan kemanusiaan. Pada buku pikiran-pikiran manusia didedahkan. Tak jarang, buku-buku lain hadir untuk memperkaya pikiran-pikiran yang sudah ada atau malah bahkan menantang dan menentangnya. Kehidupan dinamis di ranah literasi yang sehat dan mencerahkan harus terus ditumbuhkan. Ketika sebuah tulisan tak sesuai dengan apa yang kita harapkan, tuliskan hal baru untuk mendekonstruksi secara kritis tulisan sebelumnya. Juga tentu saja menulis realitas yang menurut kita timpang.  

Realitas sosial yang timpang dan keberaksaraan yang tak dipandang memang lebih cenderung memilih lisan dan menegaskan keberlisanan itu dengan tindakan, yang tidak jarang dengan cara-cara kekerasan.

Peradaban hari ini dibentuk oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh temuan-temuan yang dipublikasikan. Catatan-catatan lama yang dibukukan itu sangat mempengaruhi atas apa-apa yang terjadi hari ini. Saya meyakini satu hal, tingkat keberadaban manusia akan ditentukan oleh situasi ketika literasi sebuah masyarakat baik dan bahwa literasi kemudian dianggap memanusiakan manusia.   

Akhirnya memang ada banyak buku yang diterbitkan. Tapi tentu tak semua buku bagus dan mencerahkan. Ketidaksukaan kita pada buku yang isinya buruk tidak lantas membuat kita mengambil kesimpulan tindakan, memusnahkannya dengan cara membakar.

Dan saya ingin menutup tulisan ini sambil mendengarkan sebuah lagu dari band Efek Rumah Kaca yang berjudul Jangan Bakar Buku.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..