SAYA yakin sebagian dari
kita pernah mengalami peristiwa mengkonsumsi berita di media massa, baik cetak
maupun elektronik, yang salah menulis atau menyebut Palu –paling sering di
Sulawesi Tenggara, mungkin karena penyebutan tengah dan tenggara secara auditif
terasa dekat, atau seperti judul di atas, di Kalimantan (Suara
Pembaruan,10/5/2012, Festival Film Solo, Munculnya Sineas Muda dari Daerah).
Media-media massa yang
seringkali salah itu adalah media-media massa yang terbit atau siaran di
Jakarta. Dan tanggapan kita bisa beraneka. Saya suka bertanya pada diri saya
sendiri, apakah waktu sekolah sebagian orang lain dapat pelajaran geografi, dan
sebagian yang lain tidak? Atau apakah jurnalisme kita memang suka luput pada
soal-soal akurasi dan ricek data? Atau apakah Palu, kota tempat saya tinggal
memang tak dikenal di luar?
Zaman saya kuliah di
Bandung, sebagian besar kawan saya mengenal Sulawesi itu isinya Makassar,
Toraja, Manado. Setelah paham, pertanyaan lanjutannya biasanya begini, “dari
Poso jauh ndak?”
Saya menduga, kota-kota
tetangga yang terakhir saya sebut dikenal karena wisata, sejarah, laku budaya.
Beberapa produk kesenian populer yang ditandai oleh bahasa untuk kepentingan
menampilkan sisi lain Indonesia pun menegaskan itu. Untuk menyebut salah
satunya adalah anda tentu masih ingat iklan layanan masyarakat untuk pemilihan
umum 2004 karya Garin Nugroho yang “inga-inga” khas Manado itu.
Percakapan-percakapan di
sinetron atau reality show juga menghadirkan sosok dengan logat-logat kental
Makassar, atau Sunda, atau Madura,, atau Medan, Padang, atau Ambon, atau Papua.
Sekalipun sayangnya seringkali hanya jadi objek jenaka yang seringkali pula tak
mencerahkan.
Pada cerita zaman saya
kuliah mengenal Palu dengan penanda Poso, asumsi saya menguat pada soal bahwa
persepsi konflik jauh lebih tampil di permukaan dibanding isu positif lainnya
yang harus dikabarkan.
Buat saya ini soal
persepsi. Dalam konteks personal, serupa rasa ingin tahu pandangan orang lain
atas kita, saya. Tentu saja kita ingin persepsi orang lain atas kita positif.
Pun ketika kita menarik konteks ini pada skala ruang yang lebih besar, kota.
Sebagai warga Palu, tentu saya ingin tahu persepsi atas kota tempat saya
tinggal ini dari media massa, dari kawan-kawan di luar kota di Indonesia bahkan
kawan-kawan pribumi dan non pribumi yang bisa dihitung . Kita ingin tahu
persepsi atas kota ini oleh Jakarta, oleh elit politik dan elit bisnis ibukota.
Soal persepsi itu penting
rasanya benar. Tapi seberapa penting persepsi itu buat saya, itulah yang tidak
saya ketahui dengan pasti. Malah saya pikir tak penting-penting amat. Jauh
lebih penting menyiapkan diri sebagai orang baik, warga kota yang baik, dan
tetap membangun harapan, pemerintah yang mengurusi kota ini juga berusaha untuk
menyiapkan diri menjadi lebih baik. Beberapa kawan lain di luar Palu, di kota
dan desa lain di luar sana saya yakin juga tak merasa persepsi atas mereka
penting-penting amat.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya