Tuesday, October 2, 2012

PEWARTA


HAMPIR setiap orang punya pengalaman atas tempat, kejadian, atau hal-hal baru dalam hidupnya, yang berkesan. Hal mana yang kemudian membentuk pengalaman hidup pada hampir setiap orang itu, seberapa pun kecil dampaknya: keunikan. Saya ingin menyebut pengalaman itu sebagai perjalanan. 

Apa yang menarik dari sebuah perjalanan? Bagi saya adalah catatan atasnya. Maksud saya, siapapun Anda, yang tak harus berstatus sosial sebagai penulis atau wartawan cetak, misalnya, untuk memulai kebiasaan menuliskan catatan perjalanan.

Saya ingin meluaskan pemaknaan kata Perjalanan, yang tak sekadar jalan-jalan, tapi juga pengalaman menemukan sesuatu hal yang baru dan layak dikabarkan, dibagikan pada orang-orang sebagai informasi.

Apa pentingnya sebuah perjalanan yang dituliskan, bagi diri yang mengalami perjalanan dan bagi orang lain yang membaca, ketika catatan dipublikasikan? Yang pertama adalah aktualisasi. Menulis adalah bagian dari kecakapan berbahasa selain membaca, mendengar, berbicara. Di ranah psikologi, kemampuan menulis malah diyakini mampu menjadi media katarsis yang menyembuhkan, membahagiakan.

Yang kedua, adalah informasi.

Dulu informasi dipahami hanya lahir dari institusi pers. Sebut saja media massa baik cetak maupun elektronik yang wujudnya berupa surat kabar harian, radio, televisi, internet. Media-media massa ini dikelola secara profesional untuk memproduksi informasi. Pun saat ini, pemahaman itu belum terganti. Tapi, ada yang berubah dari kebiasaan itu sekarang. Teknologi informasi hari ini mempersilakan, menjadikan siapapun Anda sebagai pewarta. Bedanya pada Anda yang misalnya bukan wartawan hanyalah kartu penanda, akses bagi setiap peristiwa. Itu saja. Samanya adalah keduanya bisa memproduksi informasi dan membagi informasi itu pada siapa saja.

Yang membedakannya kemudian adalah keunikan yang sifatnya personal, keintiman berbahasa yang tak dimiliki media massa resmi. Sekalipun cara personal dengan penggunaan kata aku, saya itu saat ini sudah diadopsi juga dalam karya jurnalistik. Pengalaman yang sudah saya singgung di atas menunjukkan bahwa pada setiap catatan perjalanan hidup yang dituliskan itu akan berdampak pada orang lain yang mengaksesnya, membacanya. Terbentuk sebuah siklus informasi yang akan membuat pengalaman jadi kaya, penuh warna, dan bertendensi memperbaiki. Kita akan tahu bagaimana cara yang ekonomis menuju ke tempat x, apa yang menarik di tempat y, dan apa-apa yang pernah terjadi di tempat z yang akan membuat kita jadi antisipatif. Semoga Anda mengikuti kisah kasus hukum Prita yang menulis catatan perjalanannya menghadapi layanan rumah sakit dan berujung di pengadilan. Betapa catatan punya dampak, bukan?

Saya tak menyatakan bahwa pesan berantai (broadcast) adalah catatan, sekalipun tak semuanya salah karena ada informasi berantai penting yang harus kita teruskan. Fenomena yang menurut saya, mengutip judul lagu band lawas The Police, sebagai too much information. Kritik bagi derasnya arus informasi dan kita tak punya penyaring yang baik untuk memilah-milih informasi yang kita butuhkan.

Media-media massa mewadahi catatan unik pembacanya dalam surat pembaca atau kolom-kolom khusus jurnalisme warga (citizen journalism). Itu karena media massa tentu paham bahwa ada banyak keterbatasan pada mereka, dan saya ingin menambahkan perihal keunikan pada pengalaman yang saya maksudkan di atas.

Produksi informasi cetak hari ini juga dapat dilakukan tanpa birokrasi, selagi informasi yang dipublikasikan tidak mengandung unsur SARA. Selebaran yang dibagi saat Jumatan, contohnya. Atau cetak stensilan propaganda komunitas, adalah bentuk dari informasi yang tercatat itu. Lebih dari itu, media sosial internet memberi ruang pada siapapun yang mau mendokumentasikan catatan perjalanan hidupnya sejak teks, gambar, hingga audiovisual. Gratis!

Saya tak tahu, apakah ritual mengarang cerita yang pernah saya alami saat masih kecil di bangku sekolah dasar masih dilakukan saat sekarang. Kebiasaan itu harus selalu ditumbuhkan bersama kebiasaan lain dalam apa yang saya sebut di atas sebagai kecakapan berbahasa, utamanya membaca. Tentang teknis menulis tentu saja adalah soal kebiasaan. Hal terpenting dari sana adalah kemauan, kejujuran. Soal membuka tulisan dengan, “pada suatu hari…” bukanlah halangan untuk tak membiasakan diri menulis catatan. A la bisa karena biasa.

Apa yang tak dipunyai televisi dan dimiliki buku atau bentuk bacaan lain? Imajinasi. Kata-kata yang jadi kalimat dan membentuk catatan akan menggerakkan apa yang ada di pikiran, yang itu tak dimungkinkan oleh televisi yang menyajikan bentuk pada mata telanjang kita dan kita tak butuh imajinasi. Kita menginterpretasikan ruang, waktu, dan kejadian yang dituliskan. Dan tahukah Anda apa yang nyaris hilang di bangsa ini ketika membicarakan suatu hal dari sekian unsur dalam kecakapan berbahasa ini –menulis? Saya kira Anda akan bersepakat dengan saya, imajinasi.

Ini seperti geram kita pada politisi dan pejabat publik sejak level nasional hingga lokal yang sering melakukan perjalanan dengan uang publik dan tak ada catatan perjalanan yang harusnya mereka tulisakan sebagai konsumsi publik itu, selain hanya bernarsis ria jadi turis mengabadikan diri di tempat-tempat terkenal. Ada yang tak mempublikasikan karena khawatir kritikan, tak jarang yang mempublikasikannya tanpa catatan di media-media sosial internet. Catatan resmi perjalanan dan apa yang dihasilkan, didapatkan juga banyak yang tak dipublikasikan.

Baiklah, kita sudah terlalu banyak bicara, kadang tidak begitu suka mendengar karena cenderung egois ingin didengar, dan hanya punya sedikit waktu untuk meluangkan diri membaca karena lebih suka menonton televisi. Sekarang, maukah kita menulis catatan?

nikchng.wordpress.com

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..