HAMPIR
setiap orang punya pengalaman atas tempat, kejadian, atau hal-hal baru dalam
hidupnya, yang berkesan. Hal mana yang kemudian membentuk pengalaman hidup pada
hampir setiap orang itu, seberapa pun kecil dampaknya: keunikan. Saya ingin
menyebut pengalaman itu sebagai perjalanan.
Apa yang
menarik dari sebuah perjalanan? Bagi saya adalah catatan atasnya. Maksud saya,
siapapun Anda, yang tak harus berstatus sosial sebagai penulis atau wartawan
cetak, misalnya, untuk memulai kebiasaan menuliskan catatan perjalanan.
Saya
ingin meluaskan pemaknaan kata Perjalanan, yang tak sekadar jalan-jalan, tapi
juga pengalaman menemukan sesuatu hal yang baru dan layak dikabarkan, dibagikan
pada orang-orang sebagai informasi.
Apa
pentingnya sebuah perjalanan yang dituliskan, bagi diri yang mengalami
perjalanan dan bagi orang lain yang membaca, ketika catatan dipublikasikan?
Yang pertama adalah aktualisasi. Menulis adalah bagian dari kecakapan berbahasa
selain membaca, mendengar, berbicara. Di ranah psikologi, kemampuan menulis
malah diyakini mampu menjadi media katarsis yang menyembuhkan, membahagiakan.
Yang
kedua, adalah informasi.
Dulu
informasi dipahami hanya lahir dari institusi pers. Sebut saja media massa baik
cetak maupun elektronik yang wujudnya berupa surat kabar harian, radio,
televisi, internet. Media-media massa ini dikelola secara profesional untuk
memproduksi informasi. Pun saat ini, pemahaman itu belum terganti. Tapi, ada
yang berubah dari kebiasaan itu sekarang. Teknologi informasi hari ini
mempersilakan, menjadikan siapapun Anda sebagai pewarta. Bedanya pada Anda yang
misalnya bukan wartawan hanyalah kartu penanda, akses bagi setiap peristiwa.
Itu saja. Samanya adalah keduanya bisa memproduksi informasi dan membagi
informasi itu pada siapa saja.
Yang
membedakannya kemudian adalah keunikan yang sifatnya personal, keintiman
berbahasa yang tak dimiliki media massa resmi. Sekalipun cara personal dengan
penggunaan kata aku, saya itu saat ini sudah diadopsi juga dalam karya jurnalistik.
Pengalaman yang sudah saya singgung di atas menunjukkan bahwa pada setiap
catatan perjalanan hidup yang dituliskan itu akan berdampak pada orang lain
yang mengaksesnya, membacanya. Terbentuk sebuah siklus informasi yang akan
membuat pengalaman jadi kaya, penuh warna, dan bertendensi memperbaiki. Kita
akan tahu bagaimana cara yang ekonomis menuju ke tempat x, apa yang menarik di
tempat y, dan apa-apa yang pernah terjadi di tempat z yang akan membuat kita
jadi antisipatif. Semoga Anda mengikuti kisah kasus hukum Prita yang menulis
catatan perjalanannya menghadapi layanan rumah sakit dan berujung di
pengadilan. Betapa catatan punya dampak, bukan?
Saya tak
menyatakan bahwa pesan berantai (broadcast) adalah catatan, sekalipun tak
semuanya salah karena ada informasi berantai penting yang harus kita teruskan.
Fenomena yang menurut saya, mengutip judul lagu band lawas The Police, sebagai
too much information. Kritik bagi derasnya arus informasi dan kita tak punya
penyaring yang baik untuk memilah-milih informasi yang kita butuhkan.
Media-media
massa mewadahi catatan unik pembacanya dalam surat pembaca atau kolom-kolom
khusus jurnalisme warga (citizen journalism). Itu karena media massa tentu
paham bahwa ada banyak keterbatasan pada mereka, dan saya ingin menambahkan
perihal keunikan pada pengalaman yang saya maksudkan di atas.
Produksi
informasi cetak hari ini juga dapat dilakukan tanpa birokrasi, selagi informasi
yang dipublikasikan tidak mengandung unsur SARA. Selebaran yang dibagi saat
Jumatan, contohnya. Atau cetak stensilan propaganda komunitas, adalah bentuk
dari informasi yang tercatat itu. Lebih dari itu, media sosial internet memberi
ruang pada siapapun yang mau mendokumentasikan catatan perjalanan hidupnya sejak
teks, gambar, hingga audiovisual. Gratis!
Saya tak
tahu, apakah ritual mengarang cerita yang pernah saya alami saat masih kecil di
bangku sekolah dasar masih dilakukan saat sekarang. Kebiasaan itu harus selalu
ditumbuhkan bersama kebiasaan lain dalam apa yang saya sebut di atas sebagai
kecakapan berbahasa, utamanya membaca. Tentang teknis menulis tentu saja adalah
soal kebiasaan. Hal terpenting dari sana adalah kemauan, kejujuran. Soal
membuka tulisan dengan, “pada suatu hari…” bukanlah halangan untuk tak
membiasakan diri menulis catatan. A la bisa karena biasa.
Apa yang
tak dipunyai televisi dan dimiliki buku atau bentuk bacaan lain? Imajinasi.
Kata-kata yang jadi kalimat dan membentuk catatan akan menggerakkan apa yang
ada di pikiran, yang itu tak dimungkinkan oleh televisi yang menyajikan bentuk
pada mata telanjang kita dan kita tak butuh imajinasi. Kita menginterpretasikan
ruang, waktu, dan kejadian yang dituliskan. Dan tahukah Anda apa yang nyaris
hilang di bangsa ini ketika membicarakan suatu hal dari sekian unsur dalam
kecakapan berbahasa ini –menulis? Saya kira Anda akan bersepakat dengan saya,
imajinasi.
Ini
seperti geram kita pada politisi dan pejabat publik sejak level nasional hingga
lokal yang sering melakukan perjalanan dengan uang publik dan tak ada catatan
perjalanan yang harusnya mereka tulisakan sebagai konsumsi publik itu, selain
hanya bernarsis ria jadi turis mengabadikan diri di tempat-tempat terkenal. Ada
yang tak mempublikasikan karena khawatir kritikan, tak jarang yang
mempublikasikannya tanpa catatan di media-media sosial internet. Catatan resmi
perjalanan dan apa yang dihasilkan, didapatkan juga banyak yang tak
dipublikasikan.
nikchng.wordpress.com |
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya