Tuesday, October 2, 2012

UNGKE DAN UMA


BERAS sudah, gula pernah. Sekarang ubi kayu. Indonesia mengimpor dalam jumlah ribuan ton singkong dari Cina dan Vietnam (kompas.com, 10/07/12). Kekagetan yang tak perlu sebenarnya, dan tak harus jadi bahan tulisan, apalagi dibicarakan. Impor yang artinya membeli komoditi dari luar negeri itu tentu tak sama artinya dengan ekspor yang sebaliknya, komoditi dalam negeri dibeli oleh luar negeri.

Saya ingin menyebut yang pertama itu Ungke atau uang keluar, dan yang kedua Uma atau uang masuk. Singkatan (akronim) Uma dan Ungke itu di sebagian lingkup pergaulan di Kota Palu sudah mulai digunakan sebagai ungkapan.

Sayangnya, dalam kasus Indonesia, Uma sebagai komoditi ekspor yang paling sering dibicarakan adalah manusia atau tenaga kerja, selain minyak dan gas (migas). Paling sering kita mendengar atau membaca di berita-berita media massa, ketika ada kasus terkait tenaga kerja di luar negeri, kalimat penegas berita selalau menyertai, sebagai penyumbang devisa terbesar negara.

Kekagetan-kekagetan itu  seolah mengajarkan kita secara perlahan-lahan pada perihal bahwa dunia hari ini sudah berubah. Kamu boleh tahu ada lagu legendaris Koes Plus yang judulnya Kolam Susu itu, yang orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Hari ini lagu itu tidak kontekstual. Kamu juga harus dengar lagu-lagu baru, genre-genre baru musik hari ini yang lirik-liriknya lebih penting merayu dan mendayu-dayu, atau yang musiknya bisa bikin kamu kerasukan (trance) dan dari situasi itu kamu beranggapan bahwa bangsa ini memang tak punya persoalan.

Apalagi filsafat macam gemah ripah loh jinawi itu. Masih relevankah hari ini spirit Jawa itu bagi petani-petani di tanah tempat spirit itu lahir? ketika petani-petani tembakau, garam, menghadapi kenyataan, khawatir suatu saat mereka tak lagi menanam tembakau karena undang-undang kesehatan, ladang-ladang garam berubah fungsi jadi pemukiman karena negara lebih memilih Ungke dari pada Uma. Masih lekat diingatan saya, sebuah kota, Toli-toli yang dikelilingi Cengkeh itu. Ketika jaya komoditi itu bikin petani-petaninya di sebagian Sulawesi Tengah dan Utara bisa menikmati liburan, jalan-jalan nikmati hasil panen. Dan nyatanya seakarang lebih mudah bertemu di pinggir jalan Apel, jeruk, dan buah-buahan lainnya yang impor, dari pada yang lokal.

Dalih lebih memilih Ungke dari pada Uma biasanya soal kebutuhan dan bukan karena untung rugi. Tapi benarkah hanya soal itu? ini dugaan saya, penjajahan hari ini tak harus dengan senjata, sekalipun pada saat-saat tertentu senjata dibutuhkan sebagai alat paksa. Ada yang salah dalam hal kebijakan. Dan kebijakan lebih sering diputuskan karena campur tangan yang tak kelihatan (invisible hand). Ambil contoh tentang kebijakan terhadap tembakau yang masuk lewat undang-undang kesehatan. Atau pada komoditi rotan. Kementerian perindustrian dan perdagangan melalui peraturannya nomor 35 tahun 2012 melarang ekspor rotan setengah jadi. Apa akibatnya bagi Sulawesi Tengah sebagai sala sentra yang melimpah produksi kayu rotannya itu? Propinsi itu hilang Uma dalam setahun Rp. 175 miliar! Karena kelebihan produksi itu tak bisa dikonversi jadi bernilai secara ekonomi (Mercusuar, 12/06/12). Di sisi yang lain mebel-mebel impor masuk dan merayu calon pembeli dalam negeri yang konsumtif karena tak kritis dan cenderung memilih barang karena status sosial.

Semoga ini tak terjadi pada Kakao, Kopra, Kopi, komoditi sexy Indonesia lainnya yang dibutuhkan lidah dan tubuh kita dan sebagian besar orang Eropa sebagai pasar pembeli, Ungke bagi Indonesia. Ini belum soal tambang yang merentang sejak Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote. Mulai dari tambang pasir dan batu untuk kebutuhan rumah tangga dan industri, hingga minyak, gas, dan batu-batu mulia yang harganya selangit. Jakarta mengatur Uma ke daerah-daerah dari tambang-tambang yang dibiayai pemodal asing itu dengan judul dana bagi hasil. Sudah rasa? Saya belum!

Selain karena kita sudah memproklamirkan diri sebagai bangsa berdaulat dan dunia mengakuinya, untungnya hari ini kita masih berdaulat karena punya kekayaan alam. Tapi benarkah kita benar-benar sudah berdaulat dan karenanya sejahtera atas semua soal di atas? Jawab saja sendiri!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..