BERAS sudah, gula pernah.
Sekarang ubi kayu. Indonesia mengimpor dalam jumlah ribuan ton singkong dari
Cina dan Vietnam (kompas.com, 10/07/12). Kekagetan yang tak perlu sebenarnya,
dan tak harus jadi bahan tulisan, apalagi dibicarakan. Impor yang artinya
membeli komoditi dari luar negeri itu tentu tak sama artinya dengan ekspor yang
sebaliknya, komoditi dalam negeri dibeli oleh luar negeri.
Saya ingin menyebut yang
pertama itu Ungke atau uang keluar, dan yang kedua Uma atau uang masuk. Singkatan
(akronim) Uma dan Ungke itu di sebagian lingkup pergaulan di Kota Palu sudah
mulai digunakan sebagai ungkapan.
Sayangnya, dalam kasus Indonesia,
Uma sebagai komoditi ekspor yang paling sering dibicarakan adalah manusia atau
tenaga kerja, selain minyak dan gas (migas). Paling sering kita mendengar atau
membaca di berita-berita media massa, ketika ada kasus terkait tenaga kerja di
luar negeri, kalimat penegas berita selalau menyertai, sebagai penyumbang
devisa terbesar negara.
Kekagetan-kekagetan itu seolah mengajarkan kita secara perlahan-lahan
pada perihal bahwa dunia hari ini sudah berubah. Kamu boleh tahu ada lagu legendaris
Koes Plus yang judulnya Kolam Susu itu, yang orang bilang tanah kita tanah
surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Hari ini lagu itu tidak kontekstual.
Kamu juga harus dengar lagu-lagu baru, genre-genre baru musik hari ini yang
lirik-liriknya lebih penting merayu dan mendayu-dayu, atau yang musiknya bisa
bikin kamu kerasukan (trance) dan dari situasi itu kamu beranggapan bahwa
bangsa ini memang tak punya persoalan.
Apalagi filsafat macam
gemah ripah loh jinawi itu. Masih relevankah hari ini spirit Jawa itu bagi
petani-petani di tanah tempat spirit itu lahir? ketika petani-petani tembakau,
garam, menghadapi kenyataan, khawatir suatu saat mereka tak lagi menanam
tembakau karena undang-undang kesehatan, ladang-ladang garam berubah fungsi jadi
pemukiman karena negara lebih memilih Ungke dari pada Uma. Masih lekat
diingatan saya, sebuah kota, Toli-toli yang dikelilingi Cengkeh itu. Ketika
jaya komoditi itu bikin petani-petaninya di sebagian Sulawesi Tengah dan Utara
bisa menikmati liburan, jalan-jalan nikmati hasil panen. Dan nyatanya seakarang
lebih mudah bertemu di pinggir jalan Apel, jeruk, dan buah-buahan lainnya yang
impor, dari pada yang lokal.
Dalih lebih memilih Ungke
dari pada Uma biasanya soal kebutuhan dan bukan karena untung rugi. Tapi
benarkah hanya soal itu? ini dugaan saya, penjajahan hari ini tak harus dengan
senjata, sekalipun pada saat-saat tertentu senjata dibutuhkan sebagai alat paksa.
Ada yang salah dalam hal kebijakan. Dan kebijakan lebih sering diputuskan karena
campur tangan yang tak kelihatan (invisible hand). Ambil contoh tentang
kebijakan terhadap tembakau yang masuk lewat undang-undang kesehatan. Atau pada
komoditi rotan. Kementerian perindustrian dan perdagangan melalui peraturannya
nomor 35 tahun 2012 melarang ekspor rotan setengah jadi. Apa akibatnya bagi
Sulawesi Tengah sebagai sala sentra yang melimpah produksi kayu rotannya itu? Propinsi
itu hilang Uma dalam setahun Rp. 175 miliar! Karena kelebihan produksi itu tak
bisa dikonversi jadi bernilai secara ekonomi (Mercusuar, 12/06/12). Di sisi
yang lain mebel-mebel impor masuk dan merayu calon pembeli dalam negeri yang
konsumtif karena tak kritis dan cenderung memilih barang karena status sosial.
Semoga ini tak terjadi
pada Kakao, Kopra, Kopi, komoditi sexy Indonesia lainnya yang dibutuhkan lidah
dan tubuh kita dan sebagian besar orang Eropa sebagai pasar pembeli, Ungke bagi
Indonesia. Ini belum soal tambang yang merentang sejak Sabang sampai Merauke,
dari Miangas hingga Rote. Mulai dari tambang pasir dan batu untuk kebutuhan
rumah tangga dan industri, hingga minyak, gas, dan batu-batu mulia yang
harganya selangit. Jakarta mengatur Uma ke daerah-daerah dari tambang-tambang
yang dibiayai pemodal asing itu dengan judul dana bagi hasil. Sudah rasa? Saya
belum!
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya