SEBAGIAN dari kita hidup
dalam kecemasan-kecemasan yang entah ketika membicarakan perihal kesehatan dan
pendidikan. Saya adalah bagian dari kita itu.
Sebagai orangtua, saya
mungkin tak begitu mempersoalkan sejumlah angka rupiah yang disampaikan oleh
sekolah untuk membayar ini-itu ketika anak saya akan masuk sekolah dasar atau
ketika sudah jadi murid di sekolah itu. Apalagi ketika misalnya, saya memilih
sekolah yang bukan negeri alias swasta. Saya membayangkan yang papa, sekalipun
saya juga tak kaya.
Apa yang terjadi di masa
yang akan datang pada pendidikan dan kesehatan? pada biaya untuk mengakses dua
soal itu? ketika nilai uang pemaknaannya pada barang dan jasa berubah dari
waktu ke waktu.
Di hadapan dokter praktik
atau meja kasir apotik, kadang saya merasa berada di situasi antara ikhlas dan kritis
ketika sejumlah angka rupiah disebutkan untuk menebus jasa dokter atau obat. Ikhlas,
ada kepercayaan konvensional bahwa segala sesuatu harus selalu baik sejak niat.
Dan ikhlas adalah pengejawentahan niat baik itu, selain tentu saja kekhawatiran
pada penyakit yang niscaya terberi (given) pada manusia, dan pengetahuan bahwa
tak mudah dan tak murah jadi seorang dokter.
Kritis, karena harusnya
layanan yang terjangkau saya dapatkan dari layanan milik negara sejak posyandu,
puskesmas, rumah sakit.
Setiap orang ingin
mendapatkan layanan yang baik, layak, tepercaya, pada dua soal diatas,
pendidikan dan kesehatan. Masih terngiang-ngiang di telinga pesan heroik orangtua
yang siap banting tulang untuk sekolah anak-anaknya, dan ketika anak-anak
mereka sakit. Di media massa tak sedikit cerita inspiratif bagaimana orangtua,
dan anak-anak, yang penuh militansi untuk memenuhi kebutuhan sebagai hak
dasarnya pada pengetahuan dan kesehatan. Juga dokter, bidan, guru, yang penuh
dedikasi pada kemanusiaan melayani dengan tulus ikhlas bekerja di tengah sibuk
kota, di pedalaman-pedalaman, dan wilayah-wilayah pesisir. Indonesia yang berpengharapan,
yang masih punya masa depan, sekecil apapun bentuk militansi dan dedikasi
orang-orang itu.
Negara memang punya
bantuan operasional sekolah untuk murid, punya jaminan dan asuransi kesehatan
sebagai kebijakan sejak tingkat daerah hingga nasional. Harapannya, uang dari
pajak yang dibayarkan rakyat yang kebanyakan menengah dan papa itu berdampak
nyata pada pendidikan dan kesehatan yang gratis atau tidak dipungut bayaran,
cuma-cuma, seperti definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Bangunan sekolah dan
kampus dirancang bagus, begitu juga tempat-tempat praktik kesehatan. Alat
kesehatan dan alat peraga pendidikan tak dikorupsi. Tenaga-tenaga pengajar dan
kesehatan diberikan penghargaan yang harapannya sebanding dengan beban kerja
dan dibayarkannya tidak lambat. Guru-guru dan dosen di sertifikasi dan dinaikkan
gaji, tunjangan bagi dokter dan tenaga operasional kesehatan layak.
Kenyataanya sekolah memang
tetap bayar, dengan tidak jarang menggunakan metode kekerasan, layanan
kesehatan kurang bahkan seringkali tidak memuaskan. Dua perihal itu seperti
sedang menuju orientasi yang beda-beda tipis: bisnis. Dalam sebuah kesempatan,
saya mengalami berhadapan dengan dokter yang sama di dua ruang berbeda, ruang
praktik pribadi dan ruang praktik rumah sakit. Dua kesan pelayanan yang yang
juga berbeda. Yang satu baik, yang satunya lagi buruk, oleh dokter yang sama.
Di sebuah kesempatan yang
lain saya kadang malah heran dan bertanya-tanya sendiri, mungkin karena apa-apa
selalu bayar, kenapa tak ada bayaran bulanan (spp) untuk anak saya yang sekolah
dasar itu, seperti saya dulu. Kali yang lain di puskesmas, pelayanan pendaftaran
(registrasi) kesehatan lumayan cepat, dengan bayaran relatif murah berdasarkan peraturan
daerah berapa rupiah untuk setiap tindakan pengobatan dari dokter. Keluar ruang
praktik tak ada lagi bayaran yang sudah dilakukan saat registrasi. Biaya sudah
sudah termasuk konsultasi dan tindakan dokter, juga obat.
Tapi ternyata tak semua
penyakit dan obatnya digaransi layanannya oleh negara. Juga tak semua proses
kegiatan belajar dan alat penunjang pendidikan disubsidi negara. Tanya kenapa?!
Sebuah tagline
terkenal sebuah iklan rokok seolah pas untuk menyikapi keadaan itu.
Jaminan kesehatan Sulawesi
Tengah yang di tahun 2012 ini dianggarkan sebanyak 1,6 miliar sudah habis
padahal ini baru pertengahan tahun (Juni), dan malah minus 138 juta (Mercusuar, 27/6). Itu bagi
warga umum. Yang pegawai negeri juga ada asuransi kesehatan. Setiap bulan gaji
mengalami pemotongan, berobat atau tidak berobat.
Beberapa penyakit tak
biasa dan seringkali mematikan malah tak bisa ditangani di Kota Palu, ibukota
Propinsi Sulawesi Tengah. Atas cerita ini, saya teringat anak kawan saya yang
mengidap Leukemia dan harus dirujuk ke rumah sakit di daerah tetangga Makassar,
Sulawesi Selatan. Tiga bulan di rawat disana, anak kawan saya yang masih kecil
itu akhirnya dipanggil Sang Maha Kuasa. Kemudian saya membayangkan pada apa
yang terjadi di kabupaten-kabupaten, di desa-desa terpencil, layanan kesehatan
dan pendidikannya.
Bayangan itu juga ada pada
apa yang seringkali dikeluhkan banyak kelas menegah, termasuk pegawai negeri
dengan askesnya itu. Banyak cerita soal tak sebandingnya take and give, antara hak dan kewajiban
dalam soal yang melayani dan yang dilayani.
Sebagai hak dasar yang
senantiasa dibutuhkan, dua hal ini kemudian menjadi begitu sexy sebagai komoditi sejak
politik, digadang-gadang sebagai janji, hingga bisnis farmasi. Saya mafhum. Apa
yang tak jadi komoditi hari ini? Juga bahwa dua isu itu jadi kebutuhan primer
manusia, selain kebutuhan makan, minum, dan seksual.
Tapi harapan harusnya tak
berhenti sebatas mafhum, bukan? Harapan ini dibangun oleh negara lewat
pemerintah daerah. Kepala-kepala daerah harus berkomitmen penuh bahwa alokasi
anggaran daerahnya memprioritaskan soal-soal itu. Daerah-daerah memang sudah
melakukannya dengan indikasi nyata, anggaran dua sektor vital pembangunan
manusia itu sudah lebih besar dari sektor lainnya, terkecuali gaji pegawai
negeri yang dimana-mana menyerap anggaran daerah diatas 50 persen.
Dan kita tak berhenti juga
pada keyakinan setelah secara kuantitas dua sektor itu anggarannya meningkat,
apakah itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas, mutu layanan keduanya,
dan yang jauh lebih penting, garansi bahwa tak ada orangtua yang cemas anaknya
tak bisa bersekolah atau ketika ada anggota keluarganya yang sakit akhirnya hanya
berpasrah pada keadaan karena tak bisa mengakses dokter ahli dan obat yang
harganya mahal.
Terhadap strategi lain di
bidang pendidikan dengan misalnya pemberian beasiswa pada anak didik tentu saja
baik. Tapi strategi itu harus sangat dicermati peruntukannya benar-benar jatuh
pada anak-anak yang tidak saja berprestasi secara akademik, tapi juga karena
seorang anak didik miskin.
Kebutuhan sekunder manusia
yang terpenuhi adalah cerminan bahwa kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang primer
digaransi. Iwan Fals pernah menulis lagu berjudul Libur Kecil Kaum Kusam yang
gambarkan realitas itu, bahwa liburan tak hanya milik yang berpunya. Ketika dua
kebutuhan layanan dasar itu –pendidikan dan kesehatan terpenuhi, itu akan menjadi
upaya agar dampak dari deret permasalahan berbangsa semoga jadi tak semakin
panjang. Apa misalnya? Kebutuhan lain yang sekarang ini sudah mengarah ke
prioritas setiap orang di republik ini: rasa aman dan rasa keadilan dari para
penegak hukum.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya