Tuesday, October 2, 2012

GRATIS TIS TIS TIS…


SEBAGIAN dari kita hidup dalam kecemasan-kecemasan yang entah ketika membicarakan perihal kesehatan dan pendidikan. Saya adalah bagian dari kita itu.

Sebagai orangtua, saya mungkin tak begitu mempersoalkan sejumlah angka rupiah yang disampaikan oleh sekolah untuk membayar ini-itu ketika anak saya akan masuk sekolah dasar atau ketika sudah jadi murid di sekolah itu. Apalagi ketika misalnya, saya memilih sekolah yang bukan negeri alias swasta. Saya membayangkan yang papa, sekalipun saya juga tak kaya.

Apa yang terjadi di masa yang akan datang pada pendidikan dan kesehatan? pada biaya untuk mengakses dua soal itu? ketika nilai uang pemaknaannya pada barang dan jasa berubah dari waktu ke waktu.

Di hadapan dokter praktik atau meja kasir apotik, kadang saya merasa berada di situasi antara ikhlas dan kritis ketika sejumlah angka rupiah disebutkan untuk menebus jasa dokter atau obat. Ikhlas, ada kepercayaan konvensional bahwa segala sesuatu harus selalu baik sejak niat. Dan ikhlas adalah pengejawentahan niat baik itu, selain tentu saja kekhawatiran pada penyakit yang niscaya terberi (given) pada manusia, dan pengetahuan bahwa tak mudah dan tak murah jadi seorang dokter.

Kritis, karena harusnya layanan yang terjangkau saya dapatkan dari layanan milik negara sejak posyandu, puskesmas, rumah sakit.

Setiap orang ingin mendapatkan layanan yang baik, layak, tepercaya, pada dua soal diatas, pendidikan dan kesehatan. Masih terngiang-ngiang di telinga pesan heroik orangtua yang siap banting tulang untuk sekolah anak-anaknya, dan ketika anak-anak mereka sakit. Di media massa tak sedikit cerita inspiratif bagaimana orangtua, dan anak-anak, yang penuh militansi untuk memenuhi kebutuhan sebagai hak dasarnya pada pengetahuan dan kesehatan. Juga dokter, bidan, guru, yang penuh dedikasi pada kemanusiaan melayani dengan tulus ikhlas bekerja di tengah sibuk kota, di pedalaman-pedalaman, dan wilayah-wilayah pesisir. Indonesia yang berpengharapan, yang masih punya masa depan, sekecil apapun bentuk militansi dan dedikasi orang-orang itu.

Negara memang punya bantuan operasional sekolah untuk murid, punya jaminan dan asuransi kesehatan sebagai kebijakan sejak tingkat daerah hingga nasional. Harapannya, uang dari pajak yang dibayarkan rakyat yang kebanyakan menengah dan papa itu berdampak nyata pada pendidikan dan kesehatan yang gratis atau tidak dipungut bayaran, cuma-cuma, seperti definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Bangunan sekolah dan kampus dirancang bagus, begitu juga tempat-tempat praktik kesehatan. Alat kesehatan dan alat peraga pendidikan tak dikorupsi. Tenaga-tenaga pengajar dan kesehatan diberikan penghargaan yang harapannya sebanding dengan beban kerja dan dibayarkannya tidak lambat. Guru-guru dan dosen di sertifikasi dan dinaikkan gaji, tunjangan bagi dokter dan tenaga operasional kesehatan layak.

Kenyataanya sekolah memang tetap bayar, dengan tidak jarang menggunakan metode kekerasan, layanan kesehatan kurang bahkan seringkali tidak memuaskan. Dua perihal itu seperti sedang menuju orientasi yang beda-beda tipis: bisnis. Dalam sebuah kesempatan, saya mengalami berhadapan dengan dokter yang sama di dua ruang berbeda, ruang praktik pribadi dan ruang praktik rumah sakit. Dua kesan pelayanan yang yang juga berbeda. Yang satu baik, yang satunya lagi buruk, oleh dokter yang sama.

Di sebuah kesempatan yang lain saya kadang malah heran dan bertanya-tanya sendiri, mungkin karena apa-apa selalu bayar, kenapa tak ada bayaran bulanan (spp) untuk anak saya yang sekolah dasar itu, seperti saya dulu. Kali yang lain di puskesmas, pelayanan pendaftaran (registrasi) kesehatan lumayan cepat, dengan bayaran relatif murah berdasarkan peraturan daerah berapa rupiah untuk setiap tindakan pengobatan dari dokter. Keluar ruang praktik tak ada lagi bayaran yang sudah dilakukan saat registrasi. Biaya sudah sudah termasuk konsultasi dan tindakan dokter, juga obat.

Tapi ternyata tak semua penyakit dan obatnya digaransi layanannya oleh negara. Juga tak semua proses kegiatan belajar dan alat penunjang pendidikan disubsidi negara. Tanya kenapa?! Sebuah tagline terkenal sebuah iklan rokok seolah pas untuk menyikapi keadaan itu.

Jaminan kesehatan Sulawesi Tengah yang di tahun 2012 ini dianggarkan sebanyak 1,6 miliar sudah habis padahal ini baru pertengahan tahun (Juni), dan malah  minus 138 juta (Mercusuar, 27/6). Itu bagi warga umum. Yang pegawai negeri juga ada asuransi kesehatan. Setiap bulan gaji mengalami pemotongan, berobat atau tidak berobat.

Beberapa penyakit tak biasa dan seringkali mematikan malah tak bisa ditangani di Kota Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Atas cerita ini, saya teringat anak kawan saya yang mengidap Leukemia dan harus dirujuk ke rumah sakit di daerah tetangga Makassar, Sulawesi Selatan. Tiga bulan di rawat disana, anak kawan saya yang masih kecil itu akhirnya dipanggil Sang Maha Kuasa. Kemudian saya membayangkan pada apa yang terjadi di kabupaten-kabupaten, di desa-desa terpencil, layanan kesehatan dan pendidikannya.

Bayangan itu juga ada pada apa yang seringkali dikeluhkan banyak kelas menegah, termasuk pegawai negeri dengan askesnya itu. Banyak cerita soal tak sebandingnya take and give, antara hak dan kewajiban dalam soal yang melayani dan yang dilayani.

Sebagai hak dasar yang senantiasa dibutuhkan, dua hal ini kemudian menjadi begitu sexy sebagai komoditi sejak politik, digadang-gadang sebagai janji, hingga bisnis farmasi. Saya mafhum. Apa yang tak jadi komoditi hari ini? Juga bahwa dua isu itu jadi kebutuhan primer manusia, selain kebutuhan makan, minum, dan seksual.

Tapi harapan harusnya tak berhenti sebatas mafhum, bukan? Harapan ini dibangun oleh negara lewat pemerintah daerah. Kepala-kepala daerah harus berkomitmen penuh bahwa alokasi anggaran daerahnya memprioritaskan soal-soal itu. Daerah-daerah memang sudah melakukannya dengan indikasi nyata, anggaran dua sektor vital pembangunan manusia itu sudah lebih besar dari sektor lainnya, terkecuali gaji pegawai negeri yang dimana-mana menyerap anggaran daerah diatas 50 persen.

Dan kita tak berhenti juga pada keyakinan setelah secara kuantitas dua sektor itu anggarannya meningkat, apakah itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas, mutu layanan keduanya, dan yang jauh lebih penting, garansi bahwa tak ada orangtua yang cemas anaknya tak bisa bersekolah atau ketika ada anggota keluarganya yang sakit akhirnya hanya berpasrah pada keadaan karena tak bisa mengakses dokter ahli dan obat yang harganya mahal.

Terhadap strategi lain di bidang pendidikan dengan misalnya pemberian beasiswa pada anak didik tentu saja baik. Tapi strategi itu harus sangat dicermati peruntukannya benar-benar jatuh pada anak-anak yang tidak saja berprestasi secara akademik, tapi juga karena seorang anak didik miskin.

Kebutuhan sekunder manusia yang terpenuhi adalah cerminan bahwa kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang primer digaransi. Iwan Fals pernah menulis lagu berjudul Libur Kecil Kaum Kusam yang gambarkan realitas itu, bahwa liburan tak hanya milik yang berpunya. Ketika dua kebutuhan layanan dasar itu –pendidikan dan kesehatan terpenuhi, itu akan menjadi upaya agar dampak dari deret permasalahan berbangsa semoga jadi tak semakin panjang. Apa misalnya? Kebutuhan lain yang sekarang ini sudah mengarah ke prioritas setiap orang di republik ini: rasa aman dan rasa keadilan dari para penegak hukum.

Ya, kencing saja bayar kok!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..