aku belanja, maka aku ada ~ descartoon :) |
SEORANG kawan mengatakan,
ada dua musim selain panas dan hujan. Sebagai orang tua, dia harus
mempersiapkan dana cadangan untuk menghadapi dua musim itu yang terdengar mirip
di telinga, musim liburan, dan musim lebaran. Belanja, menjadi kata kunci di
dua musim itu, katanya.
Waktu
liburan panjang sekolah, dana cadangan keluarga yang disiapkan adalah ketika
keluarga maksimal bisa jalan-jalan ke luar kota, atau minimal rekreasi mingguan
di dalam kota. Tahun ajaran baru sekolah menjadi identik juga dengan serba
kebaruan: pakaian, sepatu, topi, dasi, sampai kaos kaki. Belum buku tulis atau
buku pelajaran. Apalagi jika masuk ke jenjang baru pendidikan, sejak taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Bagaimana
dengan lebaran? Sebagai hari perayaan umat Islam setelah sebulan berpuasa di
bulan Ramadan, lebaran, sebagai puncak dari Ramadan menjadi identik dengan
pengeluaran. Saya ingin mendudukkan fenomena itu sebagai penyambutan, gejala
sosial yang menandai Ramadan.
Penyambutan
itu bagi saya selalu berasal dari pulangnya ingatan ketika Ramadan datang.
Ingatan-ingatan masa kecil saya dan Ramadan adalah dua hal yang menyatu dalam
kedirian, dan ingin saya sebut sebagai kerinduan.
Malam
semarak oleh orang-orang di jalan yang ke mesjid untuk shalat tarawih, pulang
dari tarawih lebih semarak lagi di toko-toko pakaian dan warung makan. Dini
hari yang sibuk dengan bebunyian alat masak di dapur dan meja makan, ketika
sekeluarga kumpul dan saling berinteraksi dalam kehangatan. Lalu sebagian orang-orang
menikmati udara subuh yang bersih dari polusi kendaraan ketika hari sudah
terang dengan berjalan kaki sepulang shalat subuh berjamaah.
Sore hari menjadi
asyik karena jalan-jalan sambil belanja kudapan. Untuk soal ini kita bahkan
menjadi akrab dengan Ngabuburit, idiom kebudayaan Ramadan dari negeri
Parahyangan. Saat berbuka puasa, meja makan terasa tak lengkap tanpa beragam camilan.
Jelang Ramadan, rumah didandan, minimal di cat baru, gordyn diganti, maksimal
ganti sofa. Saya tak tahu apakah belanja pakaian menjadi semacam konvensi
sosial terkait lebaran, karena masa kecil saya mengajarkan, malam lebaran
adalah malam paling khusyuk buat belanja baju dan celana panjang.
Yang hidup
merantau di negeri seberang karena menuntut ilmu atau pekerjaan, lebaran dimaknai
sebagai katarsis tahunan dalam laku mudik, sebagai penegasan makna kata “pulang”
dan kerinduan pada kampung halaman. Tak jarang, bahkan hadir dalam wujud lain
yang bergerak di luar konteks Ramadan sebagai kesuksesan.
Lokalitas
menjadikan lebaran dan Ramadan, juga hari perayaan agama lainnya memang tak
sekadar laku spiritual. Keduanya bersimbiosis dengan kebudayaan. Contoh bagi
itu adalah petasan, atau ketika jelang natal dan tahun baru, penjual bambu
untuk kuliner nasi bulu terlihat ramai di beberapa ruas jalan khusus yang dari
dulu begitu dan karenanya konvensi, tak disepakati secara tertulis.
Khusus
Ramadan dan lebaran kali ini, kerinduan saya dari laku penyambutan itu masih
terobati. Bedanya, kalau sekarang anak-anak lebih instan oleh petasan kemasan,
dulu saya masih merasakan buatan tangan: bambu yang dibuat jadi meriam, karbit
yang diledakkan, atau bunyi letusan busi bekas yang dilempar ke udara. Isinya
serbuk inti korek api, yang agar jatuhnya lurus vertical karena gravitasi,
pantat busi dikasih rumbai-rumbai dari tali rafia. Sungguh kenangan!
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya