Tuesday, October 2, 2012

BELANJA

aku belanja, maka aku ada ~ descartoon :)

SEORANG kawan mengatakan, ada dua musim selain panas dan hujan. Sebagai orang tua, dia harus mempersiapkan dana cadangan untuk menghadapi dua musim itu yang terdengar mirip di telinga, musim liburan, dan musim lebaran. Belanja, menjadi kata kunci di dua musim itu, katanya.

Waktu liburan panjang sekolah, dana cadangan keluarga yang disiapkan adalah ketika keluarga maksimal bisa jalan-jalan ke luar kota, atau minimal rekreasi mingguan di dalam kota. Tahun ajaran baru sekolah menjadi identik juga dengan serba kebaruan: pakaian, sepatu, topi, dasi, sampai kaos kaki. Belum buku tulis atau buku pelajaran. Apalagi jika masuk ke jenjang baru pendidikan, sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Bagaimana dengan lebaran? Sebagai hari perayaan umat Islam setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan, lebaran, sebagai puncak dari Ramadan menjadi identik dengan pengeluaran. Saya ingin mendudukkan fenomena itu sebagai penyambutan, gejala sosial yang menandai Ramadan.

Penyambutan itu bagi saya selalu berasal dari pulangnya ingatan ketika Ramadan datang. Ingatan-ingatan masa kecil saya dan Ramadan adalah dua hal yang menyatu dalam kedirian, dan ingin saya sebut sebagai kerinduan.

Malam semarak oleh orang-orang di jalan yang ke mesjid untuk shalat tarawih, pulang dari tarawih lebih semarak lagi di toko-toko pakaian dan warung makan. Dini hari yang sibuk dengan bebunyian alat masak di dapur dan meja makan, ketika sekeluarga kumpul dan saling berinteraksi dalam kehangatan. Lalu sebagian orang-orang menikmati udara subuh yang bersih dari polusi kendaraan ketika hari sudah terang dengan berjalan kaki sepulang shalat subuh berjamaah.

Sore hari menjadi asyik karena jalan-jalan sambil belanja kudapan. Untuk soal ini kita bahkan menjadi akrab dengan Ngabuburit, idiom kebudayaan Ramadan dari negeri Parahyangan. Saat berbuka puasa, meja makan terasa tak lengkap tanpa beragam camilan. Jelang Ramadan, rumah didandan, minimal di cat baru, gordyn diganti, maksimal ganti sofa. Saya tak tahu apakah belanja pakaian menjadi semacam konvensi sosial terkait lebaran, karena masa kecil saya mengajarkan, malam lebaran adalah malam paling khusyuk buat belanja baju dan celana panjang.          

Yang hidup merantau di negeri seberang karena menuntut ilmu atau pekerjaan, lebaran dimaknai sebagai katarsis tahunan dalam laku mudik, sebagai penegasan makna kata “pulang” dan kerinduan pada kampung halaman. Tak jarang, bahkan hadir dalam wujud lain yang bergerak di luar konteks Ramadan sebagai kesuksesan.

Lokalitas menjadikan lebaran dan Ramadan, juga hari perayaan agama lainnya memang tak sekadar laku spiritual. Keduanya bersimbiosis dengan kebudayaan. Contoh bagi itu adalah petasan, atau ketika jelang natal dan tahun baru, penjual bambu untuk kuliner nasi bulu terlihat ramai di beberapa ruas jalan khusus yang dari dulu begitu dan karenanya konvensi, tak disepakati secara tertulis.

Khusus Ramadan dan lebaran kali ini, kerinduan saya dari laku penyambutan itu masih terobati. Bedanya, kalau sekarang anak-anak lebih instan oleh petasan kemasan, dulu saya masih merasakan buatan tangan: bambu yang dibuat jadi meriam, karbit yang diledakkan, atau bunyi letusan busi bekas yang dilempar ke udara. Isinya serbuk inti korek api, yang agar jatuhnya lurus vertical karena gravitasi, pantat busi dikasih rumbai-rumbai dari tali rafia. Sungguh kenangan!  

Akhirnya, saya memikirkan makna kemenangan saat lebaran setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadan. Zakat sudah barang tentu kewajiban, sebagai bentuk kongkrit dari refleksi kemanusiaan, yang berpunya pada yang dhuafa. Kemenangan itu juga ditandai dengan sepanjang hari selama Ramadan orang-orang beribadah dan menaklukkan naluri dasar dirinya untuk tidak makan, minum, berhubungan badan, dan melakukan hal-hal yang tak perlu yang mengurangi nilai pahala puasa. Intinya menundukkan nafsu, termasuk nafsu belanja? Wallahu’alam!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..