SIS Aldjufrie (Guru Tua) |
SEMUA hal yang saya sukai ada
pada sebagian besar dirinya: melakukan perjalanan, sepak bola, dan syair.
Beruntunglah murid-muridnya, mereka yang pernah dekat secara fisik dengannya,
berinteraksi secara langsung dengan dia, dengan Guru Tua.
Seketika gambaran saya tentangnya
begitu luas. Keluasan itu seolah merangkum apa-apa yang saya rasakan sekarang,
generasi yang tak pernah bersentuhan langsung dengannya, tapi merasakan detak
dan jejak yang begitu kuat dan banyak.
Suatu kali, ketika saya masih
kecil dan tak punya apapun tendensi, seringkali bertanya dalam hati, siapa
lelaki tua berkacamata, bersorban putih, dengan tatapan tajam itu, bertemu selalu
secara tak sengaja di pigura-pigura kaca ruang tamu rumah-rumah yang kebetulan
saya kunjungi, atau stiker di interior mobil, hingga gantungan kunci. Gagah
sekali. Penanda-penanda itu menjadi semacam identitas yang sangat lokal Palu,
atau Sulawesi Tengah, sebagai sebuah lokus, tempat. Saya pikirnya saat itu,
Guru Tua adalah bapak atau kakek dari semua orang yang rumahnya saya kunjungi
itu.
Dan memang, karenanya, ada yang
membuat sesuatu menjadi “pusat” di kota ini. Alkhairaat.
Keluasan itu bagi saya memantik
kepekaan historis, membayangkan ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda,
dan lalu Jepang. Dan di tengah masa sulit itu ada seorang yang memikirkan
sebentuk perlawanan melalui pendidikan. Ada semacam kesamaan psikologis yang terbentuk
dari kolonialisme. Di darahnya mengalir bangsa ibunya yang nusantara, dan darah
Yaman bapaknya, bangsa yang dijajah Britania Raya.
Komitmen kebangsaannya nyata dari
syair yang dia tulis dan dibacakannya pada 17 Desember 1945, beberapa bulan
setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan sebagai
penanda dibukanya kembali secara terbuka sekolah Alkhairaat yang sebelumnya
bergerak “bawah tanah” karena pendudukan Jepang. Simak syair berikut.
“Berkibarlah Sang Saka Merah Putih dengan megahmu di angkasa, bumimu Indonesia,
untuk selama-lamanya” (Depdikbud, 1987).
Ini menjadi serupa teologi
pembebasan di negara-negara latin benua Amerika, ketika para pendakwah melalui
pendidikan agama memberi pencerahan tentang makna kehadiran manusia di dunia
pada kaum papa dan tertindas: petani, buruh, pengangguran, bersimbiosis dengan
ideologi kiri yang seringkali dipersepsi dan direduksi sekadar sebagai anti
Tuhan dan agama. Dan dengan pendekatan itu masyarakat mengorganisir diri dan
komunitas untuk keluar dari segala bentuk penjajahan.
Sebagai kata, Alkhairaat,
masterpiece itu, secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata Chair yang
artinya kebajikan. Kata ini bagi saya sakral (akhirat) sekaligus profan (dunia)
yang mengindikasikan relasi-relasi antar manusia (Hablum minnnas) dan antara
manusia dan Sang Pencipta (Hablum minallah). Dalam hal dunia, realitas
kebajikan itu diterjemahkan dalam spirit pendidikan.
Tapi tak hanya pendidikan.
Humanisme sebagai laku sosial pun menjadi bagian yang dipraktikannya,
dihargainya, sebagai manifestasi kemanusiaan yang profan itu, yang dalam
kenyataannya penuh keberagaman. Di tengah pluralitasIndonesia yang mencekam
seperti sekarang ini, sulit bagi saya membayangkan seorang tokoh pendidik muslim
mengajak guru yang beragama Kristen mengajar di sekolah yang didirikan. Bapak
PK Entoh (Alm), tokoh pendidik yang beragama Kristen, pernah diajaknya mengajar
di sekolah Alkhairaat. Lakum dinukum wa liadin, bagiku agamaku, bagimu agamamu.
Kebutuhan bersamanya dalam konteks itu adalah ilmu, dan bukan agama sesesorang.
Pun begitu halnya dengan interaksinya dengan kebudayaan lokal (khususnya
Kaili).
Dalam banyak keterbatasan, spirit
itu hadir dalam perjalanannya bersama murid-muridnya membuka sekolah-sekolah
–awalnya di Kota Palu lalu di sebagian jazirah nusantara yang sekarang dinamakan
kawasan timur Indonesia. Suatu waktu, perjalanannya berhari-hari menyisir
pantai timur Sulawesi Tengah dengan kendaraan gerobak sapi (Jamrin Abubakar,
2012).
Hari ini sudah tak bisa lagi
dihitung dengan jari spirit itu, sejak taman kanak-kanak, sekolah dasar,
sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan kejuruan, dan lalu sebuah
perguruan tinggi dan juga alumni-alumni di semua jenjang pendidikan itu.
Zaman berubah bersama
tantangannya. Di tengah perubahan zaman itu, ada yang ajeg sebagai landasan,
sebagai pijak, seperti yang telah diwariskannya kepada kita semua, terlebih dan
khususnya bagi abnaul khairaat. Tapi ada juga yang beradaptasi bersama zaman
itu sendiri, yang bergerak maju dan berdinamisasi.
Yang paling mengkhawatirkan oleh
tantangan perubahan zaman itu sekarang adalah toleransi antar umat beragama,
antar kebudayaan, antar lokus, wilayah. Tidak saja secara nasional, tapi juga
potensi laten di sekitar kita. Namun dalam perubahan itu, prinsip-prinsip dasar
kemanusiaan Guru Tua menjadi sesuatu yang menurut saya ajeg, sebagai pijak yang
hari ini kontekstual, senantiasa menjadi nilai bersama (common sense) yang
harapannya sangat lokal, sangat khas Kota Palu dan bersimbiosis dengan semboyan
itu malintinuvu, nosarara nosabatutu.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya