Tuesday, October 2, 2012

AKSES


ANGGAP saja pengertian dari kata akses itu sebagai jalan masuk, atau makna lainnya sebagai kemampuan memasuki, mendapatkan, memiliki, suatu hal. Ada banyak hal yang menyamakan manusia. Juga ada banyak perbedaan dalam hal manusia. Satu dari sekian hal yang membedakan itu adalah akses, alat yang harusnya selalu dipakai sebagai ukuran adil (fair) tidaknya tindakan.  

Setiap orang mungkin bisa sama dalam banyak hal, memiliki bawaan kodrati sebagai manusia yang punya mata, kaki, pipi, dan seterusnya yang fisik itu. Perbedaan mulai nampak ketika yang tadinya sama sebagai manusia lalu tidak sama secara biologis. Ada lelaki, ada perempuan. Semakin ditarik pengertiannya ke ranah sosial, sebenarnya semakin beda manusia. Tapi penampakan perbedaan yang ditarik ke soal sosial itu tak semudah membedakan lelaki dan perempuan secara biologis. Di sinilah letak soalnya.

Misalnya sama dalam hal fisik manusia. Lalu bagaimana dengan yang cacat fisik atau kaum disable itu? Yang masih produktif bekerja dan memberikan kontribusi pada dirinya sendiri untuk aktualisasi dan tak jarang berguna bagi banyak orang. Ruang publik seringkali dibentuk untuk kebutuhan mayoritas. Beberapa ruang publik sekarang dituntut untuk membuat mereka yang disable tetap punya akses. Akses dipakai untuk soal ini. Tanpa itu, tentu tak adil.

Begitu pula pada gender, kelamin sosial itu. Stigma, cap, mitos, seringkali melekat dan dipakai untuk mendudukan soal-soal timpang yang sengaja atau tidak –karena hadir di alam bawah sadar dalam hubungan lelaki dan perempuan. Akses dapat dipakai untuk melihat dengan nyata soal-soal yang tak nampak dalam hal itu.

Setiap orang harus sehat, bersekolah, bekerja, liburan. Kata “harus” itu mengidealisasi realitas bahwa semua itu adalah hal-hal yang terberi (given) sebagai kebutuhan primer manusia. Seolah-olah tak ada soal dari pernyataan itu, dan bahwa setiap orang memang sama dalam konteks itu. Pertanyaanya kemudian,apa yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain dalam hal bahwa setiap orang harus sehat, sekolah, punya gaji, berakhir pekan? Lagi-lagi akses!

Bisakah seseorang bersaing di dunia kerja ketika dunia kerja secara kongkrit membedakan orang yang satu dengan orang yang lain dari titel pendidikan? Itu standar malah. Ketika titel sama, kompetisi mengerucut pada kebutuhan dunia kerja atas pengalaman, kemampuan teknologi informasi, bahasa, dan bla bla bla. Saya membayangkan banyak orang yang jangankan terpenuhi bla bla blanya, yang standar, yang dasar, bisa duduk di bangku sekolah saja sudah lumayan, banyak yang bahkan putus sekolah atau terancam karena soal akses yang tak punya.

Di ranah seni budaya ceritanya bisa demikian, kamu boleh sama secara musikal bisa berkreasi, menyanyi atau memainkan alat musik dengan baik, tapi apakah kamu sama dalam soal akses untuk jadi sebenar-benarnya penyanyi, artis musik? Musisi yang satu kadang lebih baik dalam banyak hal, utamanya penghasilan, karena punya akses pada pergaulan sosialita dan media massa, sedang musisi yang lain tidak. Perihal berkesenian yang lain pun sama ceritanya. Sekalipun antara percaya dan absurd, khusus seni, saya meyakini kumbang selalu datang pada kembang, dan bukan sebaliknya.
  
Saya tak ingin berwacana panjang soal persamaan dan perbedaan juga akses yang seolah menjadi jembatan di antara keduanya. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan pada diri saya sendiri yang kadang luput pada situasi-situasi yang membuat rasanya tak ada soal dalam relasi sosial itu, padahal problem tersebut laten. Satu hal yang pasti dan masih saya yakini adalah Indonesia tentu bukan Amerika atau Eropa yang usia praktik liberalismenya sudah sangat tua, ketika semua hal diserahkan pada mekanisme pasar. Founding fathers kita menegasi (baca mengingkari) praktik itu, yang sayangnya tak begitu sexy lagi hari ini untuk dibicarakan. 

Akhirnya, siapa pemegang garansi akses ini? Tak lain dan tak bukan adalah negara. Di daerah negara ini mewujud dalam apa yang dikenal sebagai pemerintah daerah. Contoh-contoh nyata yang dapat kita lihat, jika kita memang benar ingin melihat, adalah akses kaum papa, the others, yang lain tapi banyak ini, pada banyak soal: orangtua-orangtua yang resah karena pungutan sekolah, pelayanan setengah hati jaminan kesehatan, lapangan kerja yang kompetitif, akses mendapatkan layanan hukum ketika bermasalah, hingga ruang publik untuk berwisata dan berusaha. Tentu saja negara abai jika dengan kewenangannya sebagai agen yang dibentuk dari kontrak publik yang digaji dari uang pajak yang dibayarkan publik itu, kemudian tak mengintervensi soal-soal itu dan malah menghadapkan yang satu yang tak punya akses dengan yang lainnya yang punya.  

Kaya miskin pun seperti hukum alam. Tapi negara tak boleh absen, kan?  

Tahukah anda, anjing atau kucing saja punya kelas sosial. Yang kudisan hidup di jalan, yang impor atau peranakan hidup di kandang.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya

Postingan Sebelumnya..