MARSINAH, perempuan buruh pabrik di Porong Sidoarjo itu adalah ingatan
sosial yang tak akan pernah terhapuskan. Sejak ditemukan menjadi mayat pada 8
Mei 1993, akibat penyiksaan hebat yang dialaminya karena menjadi motor
penggerak kawan-kawannya yang menuntut hak-hak buruh, tafsir atas dirinya tak
akan pernah lekang oleh zaman.
Benarlah kiranya apa yang disampaikan oleh Mirek, tokoh di novel The
Book of Laughter and Forgetting, karya Milan Kundera itu, bahwa perjuangan
manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.
Setiap upaya bagi tafisr baru pada Marsinah adalah upaya untuk melawan
lupa sembari mengekalkan ingatan dari sepenggal sejarah hitam Indonesia.
Marsinah menjadi penanda kisah keji kemanusiaan yang menerabas ruang dan waktu.
Tak hanya di Indonesia, kisah perempuan yang jadi simbol perlawanan buruh itu
menjadi milik dunia. Sejak kematiannya, hingga sekarang, tafsir baru dalam
banyak media dan disiplin hadir memberi peringatan.
Dan tafsir baru itu hadir pada kamis malam (14/03) di gedung pementasan
Taman Budaya Propinsi Sulawesi Tengah oleh penampilan monolog. Naskah lama
karya Ratna Sarumpaet berjudul Marsinah Menggugat (1997) itu diperankan dengan
penuh totalitas oleh akting Deita. Sutradara pementasan, Mohamad Nurdiansyah
atau yang lebih dikenal dengan nama panggilan Toto, menghidupkan kembali getir
di menit-menit terakhir Marsinah yang mengalami penyiksaan dan akhirnya secara
tragis dibunuh.
Tata panggung yang minimalis –hanya ada Marsinah sendiri dan sebuah
bangku tempat interogasi, sudah sangat menjelaskan kengerian penyiksaan yang
tak seharusnya dialami oleh siapapun manusia, kata Marsinah dalam sepenggal
monolog itu.
Deita yang memerankan kesakitan yang teramat sangat yang dialami
Marsinah, mengolah kesakitan itu sedemikian rupa dalam intonasi suara dan gerak
tubuhnya. Ada yang membahagiakan dari sana, muncul bakat-bakat baru seni peran
yang dilakoni perempuan, karena kesan aktor lelaki yang lebih sering dalam
banyak pementasan. Kritik setelah pementasan datang, kostum Deita yang kurang
menggambarkan kesakitan itu.
Pentas malam itu ditujukan untuk persiapan menghadapi perhelatan
Festival Monolog yang akan
diselenggarakan di Jember, Jawa Timur, 25 – 27 Maret 2013.
Foto katalog pementasan dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=4308746970532&set=a.2020544126891.92208.1642585311&type=1&theater¬if_t=photo_comment_tagged |
No comments:
Post a Comment
Terima kasih, telah berkunjung ke blog saya