Buku Narasi Kapten David Woodarddan Empat Awak Kapal (1793), yang ditulis oleh William Vaughn (1804) |
MINGGU
ini dan setiap tanggal 27 September, umur kota ini bertambah. Umur yang sama
dengan umur saya: tiga puluh empat tahun.
Kalau
kota-kota besar lain mulai susah berlari karena sesak akibat pertambahan
penduduk dan wilayah yang semakin sempit, Palu dalam analogi itu malah
sebaliknya. Pertambahan penduduk meningkat dari hari ke hari. Kost menjadi
fenomena baru kota. Lalu lintas manusia dan barang mulai terlihat. Buat saya,
identifikasi sebuah kota menjadi sebenar-benarnya kota adalah ketika semakin
sulitnya kita bertemu dengan kenalan di ruang-ruang publik. Banyak orang baru
yang membuat kata dinamika menemukan tempatnya.
Ruang di
wilayah sabuk (green belt) di timur dan barat kota masih banyak yang kosong. Di
beberapa titik di kekosongan itu rumah-rumah baru yang dibangun seragam mulai
nampak mengisi kekosongan. Bisnis pemukiman menjadi komoditi baru bagi Palu.
Pun di tengah kota yang mulai tak asing dengan gaya klaster, yang eksklusif,
dan menegaskan esklusifitasnya melalui tembok-tembok pembatas.
Di
beberapa ruas jalan di tengah kota, pada jam-jam tertentu kemacetan mulai
menjadi kebiasaan baru. Kendaraan baru dari berbagai merek keluar ke jalan
dalam hitungan puluhan, mungkin bahkan ratusan, dalam hitungan hari. Di
beberapa titik di ruas kesibukan itu, waktu terasa berdenyut 24 jam.
Kepala
kita mulai belajar mendongak ke atas. Bangunan kantor, hotel-hotel, tempat
hiburan yang sebagian besar bisnis waralaba tumbuh menjulang memanfaatkan
ruang. Daftar bisnis waralaba itu sekarang menunggu antrian melihat ceruk pasar
yang memungkinkan bisnis dijalankan. Ada yang agak tidak biasa bagi Palu di umurnya yang masuk tiga puluh empat tahun
itu.
Sama
seperti kita, yang selalu punya resolusi, cita-cita ketika ulangtahun tiba.
Palu pun demikian. Dalam cita-cita itu, masyarakat tumbuh berkembang dalam
kesehariannya. Ada kekhawatiran di sana, beberapa kelompok dari masyarakat itu,
ketinggalan dan meningkatkan kapasitas masyarakat menjadi kebutuhan. Negara
melalui agennya, pemerintah daerah punya kewajiban untuk memastikan tak ada
yang ketinggalan dalam proses kota yang sedang bergegas itu.
Saya
membayangkan umur kota-kota memang seperti manusia. Beberapa kota setanah air malah
ada yang sudah berumur ratusan tahun. Kota-kota dengan umur uzur itu bagi saya
telah mengalami regenerasi, sebagaimana sekumpulan manusia yang tinggal di
dalamnya, yang membentuknya, sebagai warga kota.
Interaksi
manusia di Palu yang penamaannya berasal dari nama lokal untuk bambu ini, dalam
catatan sejarah sebenarnya sudah sangat panjang. Di catatan harian pelaut David
Woodard yang disunting oleh William Vaughn, The Narrative of Captain David
Woodard (1793), tercatat sebuah nama: Parlow, yang berarti Palu, nama tempat
yang oleh Woodard, dilisankan orang-orang yang berinteraksi dengannya saat itu.
Agak mundur ke belakang, pada 1603, seorang datuk dari tanah Minangkabau datang
untuk siar Islam. Abdullah Raqie, yang gelar datuknya dalam penyebutan lokal kemudian
menjadi Dato, lengkapnya Dato Karama. Dalam proses dakwah itu, interaksi tentu
saja terjadi dan membentuk kebiasaan-kebiasaan baru khas kota, ketika ada interaksi
antara yang lahir dan tinggal di situ dan yang datang.
Umumnya umur
kota ditandai oleh peristiwa-peristiwa administratif, dan bukan penanda historis.
Pengertian ini membuat imajinasi kota dibangun oleh negara dan bukan komunitas
masyarakat yang tinggal dan beranak pinak di kota itu. Tapi karena kesepakatan
berkota terasa lebih mudah dicapai dengan cara yang seperti itu.
Untuk
menyebut beberapa contoh, Bandung menetapkan waktu kelahirannya dengan
pendekatan historis, ketika Daendels menancap patok untuk pembukaan jalan raya
pos (Groote Postweg Anyer-Panarukan sepanjang kurang lebih 1000 km) di Bandung –sekarang jalan Asia Afrika, titik nol kota
itu pada 25 September 1810. Makassar, tetangga Palu menetapkan peristiwa
historis yang jika ditilik, kurang lebih sama dengan Palu, ketika Gowa menerima
kali pertama Islam masuk ke sana pada 9 Nopember 1607, beda empat tahun lebih
lama ketika Datokarama tiba di Palu pada 1603.
Kota-kota
di Indonesia dibentuk oleh kolonisasi dan sejarah pergolakan politik nasional.
Ketika Pelabuhan Donggala masih sibuk, dunia luar lebih mengenalnya sebagai
urban, dan Palu adalah suburbannya. Pelabuhan, pasar tradisional, adalah
penanda penting terbentuknya lokus yang dinamai kota, sejak dulu kala. Begitu
pula halnya secara administrasi. Ketika kekuasaan kolonial berpusat di Batavia
(Jakarta), yang kemudian membentuk pola ajeg hingga sekarang ketika Jakarta menjadi
ibukota negara, dan daerah-daerah diluar itu didefinisikan dari sana oleh dua
hal: secara vertikal oleh pemerintahan kolonial (negara) dan pasar (interaksi
masyakarat) yang horisontal.
Dinamika modernisasi
kota selanjutnya ditentukan oleh interaksi antara negara dan pasar. Sejarah juga menunjukkan demikian. Sebuah
fiksi bagus yang menggambarkan terbentuknya sebuah kota adalah film Gangs of
New York (Martin Scorsese, 2002) megapolitan yang terbentuk oleh pertentangan
kelas dan ras.
Negosiasi
itu sekarang mengarah ke pilihan-pilihan, kota akan berorientasi pada
kepentingan publik atau privat. Kita suka luput, di kota-kota dari negeri yang
kita anggap sangat kapitalis, misalnya, yang diktum privat adalah segalanya dan
peran negara perlahan lenyap, ruang kota malah berorientasi publik, ruang
publik ramah bagi siapa saja termasuk buat kelompok rentan: orang tua,
anak-anak, dan yang cacat fisik (disable). Mulai dari taman, pedestrian,
angkutan massal, hingga toilet.
Mungkin
masih dini bicarakan soal-soal di atas dalam hal Palu. Beberapa yang dirasa
mendesak adalah mental berkota misalnya untuk hal mudah tapi susah:
memperlakukan sampah, misalnya, untuk menyebut salah satu dari sekian persoalan
berkota.