Sunday, May 13, 2012

EMPATI


ehow.com, connection humanity on empathy


KATA empati, serapan yang asalnya dari bahasa Inggris, Empathy itu memang sudah diadopsi sebagai bahasa nasional dan masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti kata itu dalam KBBI adalah kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain.

Hari-hari ini, bahkan mungkin sudah lama, ada gejala ketika kata-kata kehilangan makna. Serupa mantra, kata itu tak lagi punya daya. Hanya sekadar kata, sekadar bunyi, tanpa definisi.

Contoh makna kata yang hilang itu ada pada saat saya sedang memikirkan apa yang akan saya tuliskan minggu ini. Saya berhadapan dengan situasi ketika banyak pesan berantai yang dikirimkan kerabat, kawan, isinya tentang berita pesawat Sukhoi yang jatuh itu.

Bukan soal beritanya. Soalnya ada pada empati, kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain atas isi berita Sukhoi itu. Saya yakin kita bersepakat bahwa pesawat jatuh itu adalah tragedi dan bukan parodi, upaya mencari sisi lain yang jenaka dari tragedi. Muncul gejala anekdotal yang berkesan kreatif, dengan begitu seolah jadi alternatif, menyikapi tragedi. Ada cerita, ada gambar. Termasuk pada berita Sukhoi yang jatuh itu.

Saya tidak sedih, misalnya sampai harus menitikkan airmata atas kejadian Sukhoi yang jatuh itu. Tak ada keluarga atau kerabat saya yang jatuh di pesawat itu. Sekalipun begitu, ada sesuatu yang entah apa namanya dalam diri saya yang membetik bertanya-tanya tanpa tendensi harus dapat jawaban: bagaimana dengan keluarga dari orang-orang yang ada dalam pesawat itu, apa yang mereka rasakan saat itu. Naluri dasar yang menerabas batas-batas biologis dan geografis. Karena sesama manusia dan imaji . Dalam konteks ini, media kerap hadir dan tidak jarang lebay, berlomba-lomba mengeksplorasi rasa sedih untuk tujuan eksklusif.

Saya dapat tanggapan balik dari situasi ini dengan, “tak perlulah terlalu serius, terlalu sedih, terlalu sok ini, sok itu”. Ya, saya pikir ada benarnya tanggapan balik itu. Realitas sosial politik kita yang macet ini seringkali lebih mujarab dihadapi dengan parodi. Tapi bagi saya ada hal-hal yang tak bisa ditoleransi dengan parodi. Salah satunya adalah tragedi.

Ada banyak cerita soal parodi, tragedi, dan empati ini. Misalnya penggunaan kata autis untuk urusan main-main. Pernah ada kecaman untuk parodi atas berita gempa dan Tsunami Simeulue yang baru saja terjadi. Akan ada banyak orang kritis yang siap meniupkan sempritannya karena ketidaktahuan itu.

Saya paham ada gejala baru ketika perangkat teknologi (gadget) membuat relasi sosial kita begitu lengket. Pesan yang entah dari mana asalnya, anonim pula, karena unik, dapat terkirim berantai dari satu orang ke orang yang lain dengan begitu cepat. Semoga model parodi pada tragedi yang tanpa empati ini sekadar gejala saja karena persoalan ketidaktahuan, dan bukan karena kita memang sudah tidak lagi punya empati.
Dan selemah-lemahnya sikap dalam tragedi adalah diam. Saya merasakan ini sebagai bentuk lain banalnya diri yang harusnya dikritisi oleh diri saya sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut-ikutan sadar untuk tidak berempati.


collective-thoughts.com

KAPAL


BELUM lama ini saya datang ke kantor Pelni yang di jalan Kartini itu, untuk keperluan bahan tulisan panjang yang sedang saya siapkan, dan bukan untuk tulisan yang saya tuliskan ini. Saya bertanya ke informasi di kantor itu, apakah masih ada kapal penumpang yang melayani trayek dari Pantoloan ke Tanjung Priok (Jakarta), dan sebaliknya. Ternyata sudah tak ada. Sekarang paling jauh kapal Pelni yang ke Jawa hanya melayani sampai Surabaya.

Awal dasawarsa 90an hingga mula ketika dunia memasuki tahun-tahun pertama di abad milenium, kapal menjadi alat transportasi utama yang saya gunakan sebagai kelas menengah yang lebih condong ke kelas papa dari pada yang berpunya. Transportasi pulang pergi ketika kuliah memasuki masa liburan atau lebaran. Masa itu, jurang harga tiket antara kapal dan pesawat jauh menganga. Harga tiket pesawat lebih mahal dari harga tiket kapal.

Tak adanya kapal dengan trayek jauh itu sekarang sudah bisa dipastikan karena beberapa hal. Daya beli masyarakat yang meningkat dan maskapai penerbangan yang banyak, yang membuat harga tiket pesawat jadi kompetitif. Beda harga tiket dua moda transportasi itu sekarang hanya sedikit, sedang waktu tempuh antara keduanya bak jurang yang juga jauh menganga. Pesawat dalam hitungan jam, kapal berhari-hari.

Saya tidak ingin bernostalgia tentang kapal itu, seperti yang sudah saya sampaikan di awal. Saya ingin bercerita soal kapal dan pelayanan penumpang dan barang dalam skala Sulawesi Tengah sebagai propinsi. Mengutip istilah perhubungan dalam rute bus itu, antar kota antar propinsi. Kaltim, Sulsel, Sulbar, Gorontalo, Sulut, Sultra, Maluku Utara tak jauh-jauh amat, bukan?

Yang saya tahu memang masih ada kapal Pelni yang mengarungi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), baik yang melayani penumpang di sepanjang Selat Makassar hingga Laut Sulawesi, dan di perairan Teluk Tomini hingga Banggai. Tapi karena rutenya lumayan panjang, kapal-kapal itu jarak kedatangannya mingguan.

Baiknya ada kapal yang melayani penumpang dengan intensitas harian, termasuk membuka rute-rute baru perjalanan.

Sebagai contoh rute Pantai Timur sejak Moutong hingga Banggai yang melayani, misalnya, kota-kota ramai macam Tinombo, Ampibabo, Parigi, Poso, Touna, kepulauan Togean yang terkenal dengan wisatanya, Banggai, hingga Morowali.

Contoh lainnya, antara Palu ke Donggala (Banawa), ke Pantai Barat, hingga Toli-toli, dan Buol di perairan Teluk Palu dan sebagian Selat Makassar hingga Laut Sulawesi. Dulu masih ada kapal yang melayani dua wilayah yang terakhir saya sebutkan, yang lama tempuhnya sehari semalam.

Saya meyakini satu hal. Kapal-kapal penumpang dan juga barang yang dirintis untuk melayani rute di semua wilayah-wilayah itu akan membuka akses ekonomi dan lalu lintas jasa. Tentang dampaknya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah-wilayah itu, saya tak punya kompetensi untuk menjelaskan. Biarlah para ahli ekonomi yang menjelaskan. Saya hanya mengkhayal dan menuliskan khayalan.

Akhirnya, khusus Donggala, saya harus bernostalgia. Pelabuhan Donggala yang melegenda itu punya catatan panjang sejarah, betapa pelabuhan itu pada masa lampau menyimpan banyak cerita, paling tidak sampai akhir dekade 70an, yang menurut penulis buku-buku humaniora Jamrin Abubakar, saat itu lalu lintas barang dan penumpang masih ramai. Sekarang pelabuhan itu masih ada dan beberapa kapal yang hanya khusus untuk barang (industri, komoditi perkebunan) masih bersauh. Foto bertitimangsa 1937 koleksi ahli bahasa, Anton Abraham Cense, dan foto AW. Nieuwenhuis (1916) juga menyampaikan itu pada saya.


Foto Koleksi Anton Abraham Cense
(KITLV), landskap Kota Donggala, 1937
Pelabuhan Donggala 1916, foto koleksi
AW. Niuwenhuis (KITLV)

STUDI BANDING


PELESIR alias jalan-jalan, bersenang, tanpa disadari kadang memang jadi lebih substansi dari tujuan utama dalam sebuah kegiatan serius seperti studi banding.

Bersenang dalam sebuah perjalanan adalah salah satu modus psikis purba yang ada pada sebagian besar manusia selain makan, minum, dan memenuhi kebutuhan biologis. Gejala yang hadir karena komodifikasi kebendaan, rasa ingin tahu (kuriositas) pada tempat-tempat baru dan asing, dan status sosial itu membuat setiap perjalanan selalu ada penanda khasnya. Berbelanja, mengabadikan perjalanan, termasuk mencatatnya, adalah beberapa perilaku yang merespon gejala itu.

Muncul soal. Bagaimana dengan perjalanan yang konteksnya adalah studi banding, yang biayanya bukan dari uang pribadi? 

Inilah yang kemudian ditunjukkan oleh mahasiswa Indonesia di Jerman yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), yang menolak kedatangan 10 anggota DPR RI dari komisi 1 yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi (24/4), dengan melakukan aksi walkout dari acara ramah tamah di gedung KBRI dengan para wakilnya yang datang jauh-jauh dari Jakarta itu. Aksi penolakan itu segera tersiar dan di respon publik melalui media massa, khususnya media sosial internet yang berbasis audiovisual, Youtube.

Beberapa hal dikeluhkan. Dari soal pemborosan anggaran Rp. 3,1 miliar, soal bawa rombongan termasuk keluarga dalam perjalanan, soal urgensi studi banding, soal transparansi, soal pelesir. 10 anggota DPR itu akan studi banding tentang alat utama sistem senjata (alutsista).

Soal-soal yang kompleks. Tapi satu hal, bahwa opini publik mengarah pada kegiatan studi banding yang secara konseptual sebenarnya dibutuhkan sebagai referensi pembanding itu tetap saja tak populis, seperti kritik para mahasiswa di atas.

Teknologi informasi hari ini, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, penulis buku-buku kebudayaan itu, telah melipat batas-batas geografis dunia. Rekaman yang dikirimkan para mahasiswa di Jerman yang melakukan aksi walkout itu contohnya. Rekaman itu seakan memberitahukan hal lain terkait perjalanan para wakil rakyat yang mereka tolak itu, teleconference, cara murah berkomunikasi dan mendapatkan informasi, lintas ruang dan waktu.

Tapi selalu akan ada sanggahan politis dan diplomatis atas kritik itu. Bahwa kegiatan-kegiatan seperti studi banding itu telah jauh-jauh hari direncanakan dan untuk itu pula dianggarkan dan harus dilaksanakan. Kritik harusnya ada pada proses perencanaan. Tapi tak apalah. Sudah basah. Jika saya jadi anggota DPR yang dikritik itu, saya akan bilang bahwa tujuan utama saya adalah studi banding. Yang lain yang tidak utama adalah jalan-jalan, foto-foto, dan beli oleh-oleh buat keluarga di rumah yang tidak saya ikutkan. Boleh kan?

Tentu saja boleh. Tapi soalnya kemudian adalah saya bukan anggota dewan.


Gambar: formulablogger.com

KEK


KOTA ini sedang bergegas. Dalam sebuah kegiatan diskusi tentang Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) yang belum lama lewat, Wakil Walikota Palu, Andi Mulhanan Tombolotutu mengatakan, orang yang keluar masuk ke kota ini intensitasnya, lalu lintasnya tinggi. Saya mengamini pernyataan itu.

Intensifnya lalu lintas orang yang tinggi itu memang tak lantas harus kita bandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia yang berpenduduk jauh lebih banyak dari Palu. Kota dengan jumlah penduduk berkategori sedang seperti Palu, asumsi tinggi itu dapat kita lihat pemandangannya di bandara, pelabuhan, atau terminal angkutan darat.

Hampir semua maskapai penerbangan nasional yang parkir di bandara Mutiara padat penumpang, dari yang take off subuh hingga petang. Dari yang landing siang hingga malam. Belum kapal-kapal Pelni di Pelabuhan Pantoloan yang melayani penumpang di kawasan Alur Laut Kepulauan Indonesia sejak Laut Jawa, Selat Makassar, hingga Laut Sulawesi. Lalu penumpang bus dari dan ke hampir seluruh wilayah propinsi, kabupaten, dan kota di Pulau Sulawesi.

Ada banyak potensi yang segera terbaca dari dinamika itu. Ada potensi ekonomi, ketika perputaran uang jadi lebih cepat dan banyak, tapi juga berpotensi konflik sosial. Dukungan-dukungan lain menyertai. Lahan kosong tak produktif, angkatan kerja, dan letak geografis Palu yang strategis, berada di titik tengah Indonesia dan berbatasan dengan banyak wilayah sebangsa dan dekat juga ke lintas beberapa negara tetangga di Asia.   

Saya agak kurang percaya pada data BPS karena dinamika manusia kota ini dalam pemandangannya dimensinya harian, sedang ritus laporan badan itu tahunan. Itu masih soal manusia. Belum soal barang dan jasa yang dinamis akibat gerak orang-orang di atas.

Dalam kasat mata, gedung-gedung bertingkat berdiri. Beberapa terlihat sudah dalam tahap akhir. Dinamika swasta ini paling banyak hotel, waralaba kuliner, tidak sedikit pula tempat-tempat hiburan. Di sudut yang lain, rencana-rencana pemerintah berjalan perlahan, dari pesisir (reklamasi pantai), pembebasan lahan untuk kawasan, hingga penataan infrastruktur dalam dan belakang kota, mengadopsi filosofi Gandaria pada rumah-rumah adat Suku Kaili.

Gayung bersambut. Dinamika di atas bersinergi dengan program pemerintah pusat yang diberi tajuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Karena skalanya nasional, komitmen Jakarta untuk mendukung daerah yang ditetapkan sebagai KEK juga khusus. Kekhususan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Kata kunci dari kekhususan itu adalah fasilitas, yang tidak semuanya dapat dibiayai oleh uang daerah. Tujuan dari semua ini adalah peningkatan kesejahteraan orang-orang diatas dan sebaran manfaatnya didaerah-daerah lain di Indonesia.

Saya bertanya pada diri saya sendiri. Dalam konteks semua cerita ini, siapkah saya untuk lebih bergegas? Semoga saya siap. Bergegas bagi saya adalah sebuah keniscayaan untuk mengejar ketertinggalan. Beberapa catatan dari upaya bergegas ini adalah agar berhati-hati untuk tidak berlebihan yang oleh orang Palu disebut kajuru-juru itu.

Semoga KEK ditetapkan di kota saya ini dan wujud dan kongkrit KEK nyata adanya. Infrastruktur kota terbangun, lapangan kerja terbuka, pendapatan orang-orang di atas meningkat, dengan tetap cermat untuk seimbang menyikapi alam dan lingkungan sosial dan ekologi kota. Ciri humanis pembangunan harus melekat benar dalam program KEK itu.

Kita sering mendengar kata KEK ini sering jadi ungkapan diakhir kalimat-kalimat percakapan yang maknanya sekadar. Semoga bukan itu maksudnya. Itu sama seperti upaya agar kita tak sekadar menerima kenyataan bahwa sebuah kota memang sedang bergegas.   

GEMPA



SEJAK Rabu sore (11/4) ketika kabar gempa besar mengguncang sisi barat Pulau Sumatera, kabar gempa susulan yang juga masih besar hingga Jumat siang (13/4) masih saja terjadi di sana.

Gempa pertama dengan kedalaman dangkal dan dengan kekuatan 8,5 SR itu tentu saja adalah gempa dengan guncangan hebat. Pusat gempa berada di laut, dan dengan begitu, institusi yang berwenang mengeluarkan informasi, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan peringatan tsunami.

Seluruh orang was-was. Berharap tak ada kabar buruk dari sebagian wilayah yang menyebar dari Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, dan propinsi-propinsi lain di Pulau Sumatera yang berdekatan dengan pusat gempa itu. Deteksi gempa menyebut pusat gempa berada dekat dari Kabupaten Simeulue, pulau terluar di pantai barat Sumatera, masuk dalam wilayah administrasi Propinsi NAD.

Kenangan akan duka bencana dari gempa dan lalu tsunami yang menghantam NAD pada 26 Desember 2004 lalu masih membekas. Dalam kenangan itu, sebuah pulau yang dikenal sebagai Simeulue, diprediksi akan lebih luluh lantak dibanding daerah-daerah lainnya. Pusat gempa saat itu juga dekat dari Simeulue.

Tapi prediksi itu tidak terjadi. Simeulue punya kearifan lokal memahami sejarah kebencanaan, khususnya gempa dan tsunami. Tsunami dalam pemahaman orang Simeulue dikenal dengan nama Smong.

Tanda-tanda alam menyertai pemahaman bijak itu. Hewan-hewan beranjak ke ketinggian, termasuk ketika peliharaan di rumah-rumah warga terlihat gelisah dan bertingkah laku aneh. Pemahaman dasar lainnya yang juga menyertai tentunya ketika air laut di pesisir surut tak seperti biasanya.

Setiap daerah memiliki kearifan lokalnya yang turun secara turun temurun dan dimaknai sebagai kebudayaan. Salah satunya misalnya menyatunya keseimbangan antara alam dan pemahaman mahluk hidup yang tinggal pada alam itu. Tanggap pada fenomena alam seperti yang terjadi pada masyarakat Simeulue dengan tradisi memahami Smong (tsunami) itu adalah contohnya.

Sayangnya, banyak kearifan lokal yang sudah semakin ditinggalkan karena dianggap tak sejalan lagi dengan semangat zaman.

Tsunami menurut laporan BMKG sekira sejam pasca gempa pertama memang menghampiri Simeulue dengan ketinggian ombak 80 cm. Kabar terakhir yang cukup menggembirakan, anak-anak SMA di Sinabang, ibukota Simeulue, tetap siap menghadapi Ujian Nasional Senin nanti. Ketahanan masyarakat yang perlu di tiru.


Gambar: merdeka.com

HBD


USIA kebudayaan sebuah wilayah jauh lebih tua dari sekadar definisi dari negara yang administratif pada hari ulang tahun wilayah itu. Apalagi wilayah yang berulang tahun itu propinsi yang terdiri atas kabupaten dan kota yang lintas kebudayaan.

Dalam konteks Sulawesi Tengah, kebudayaan itu merentang sejak Buol hingga Donggala, dari Banggai Kepulauan sampai Morowali.  Usianya uzur, beberapa catatan sejarah sejak abad 16 sejak pelaut-pelaut Eropa dan Amerika macam Francis Drake yang Inggris dan David Woodard yang Amerika datang berpetualang dan menuliskan catatan.

Di waktu yang tak jauh dari itu sebuah misi dakwah Islam sudah ada sejak Dato Karama dari tanah Andalas (Sumatera Barat) tiba, atau setelah beberapa abad berikutnya oleh duet misionaris Kristen dan antropolog juga sosiolog Kruyt dan Adriani. Memasuki modernitas Indonesia pasca politik etis Belanda, Sulawesi Tengah yang pada masa itu dikenal sebagai Midden Celebes mencatat perjalanan dakwah SIS Aljufri yang lebih dikenal sebagai guru tua.

Kesepakatan usia propinsi ini kemudian ditentukan dari soal-soal yang menurut saya masih kabur. Apakah oleh nomor undang-undang penetapannya (nomor 13 tahun 1964) atau tanggal ketika undang-undang itu ditetapkan (13 April 1964). Saya tak terlalu mementingkan soal itu. Saya hanya beranggapan kita belum benar-benar merasa tua dan memaklumi apa-apa yang ada pada diri kita hari ini.

Saya sering merasakan situasi itu. Saya menyebutnya hari jadi. Ketika dia datang dan selanjutnya melakukan refleksi, kelebat-kelebat pikiran datang, apa yang sudah saya lakukan, apa yang sudah dicapai dengan umur yang bertambah itu.

Muncul dialog-dialog dalam diri. Ah masih muda, belum terlambat. Ada yang memaknai hidup dimulai ketika sebagian besar orang malah mengganggap sebuah usia sudah memasuki masa senja.

Kebudayaan sebagai wujud dari dinamika sosial pun rasanya sama dengan laku orang-orang sebagai pelaku kebudayaan. Dalam konteks itu, sayangnya, saya beranggapan kita belum benar-benar tua dan memaklumi apa-apa yang ada pada diri kita hari ini.

Namanya saja anggapan. Bisa salah, tapi punya kemungkinan besar benar.

Ini soal capaian berpropinsi. Situasi di atas seolah mendapat respon dari Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola. Saya menangkap satu kata kunci dari visi yang dirumuskan bagi propinsi yang ketika saya menuliskan catatan ini berusia 48 tahun. Kata kunci itu, sejajar. Kata kunci yang sekali lagi, seolah membaca situasi hari ini. Saya membacanya sebagai resolusi.

Kalau dilakukan jajak pendapat, apa harapan warga propinsi ini di hari jadinya. Saya berkeyakinan pada satu jawaban seragam: peningkatan kesejahteraan. Kalau pun ada jawaban lain bisa jadi berkutat pada soal-soal ketertinggalan: fasilitas dan layanan dasar publik.

Tantangan terbesarnya kedepan adalah membumikan visi sebagai mimpi bersama itu. Bahwa mimpi itu bukan sekadar mimpi gubernur atau tim sukses yang bersama-sama gubernur merumuskan mimpi itu. Visi itu tumbuh dalam bawah sadar warga yang berkartu tanda penduduk propinsi ini, sejalan dengan masing-masing visi yang lebih khusus tempat di mana orang-orang itu berdomisili di 10 kabupaten dan 1 kota ini.

Karena terbiasa dengan singkatan sebagai bentuk lain laku budaya yang melampaui batas-batas geografis, serba cepat, pendek, instan dan bisa kita rasakan hari-hari ini, akhirnya saya ingin mengucap, HBD Sulteng! Apa kepanjangan dari HBD? Yang tidak tahu kepanjangan ini, coba tanyakan orang-orang di sekitar.

CHRISYE (MASIH) HIDUP!


Reportase Konser Kidung Abadi Tribute to Chrisye, Jakarta Convention Centre (JCC)


SOLOIS Gita Gutawa (19 tahun) memberikan kesaksiannya ketika 10 tahun yang lalu saat Chrisye dan ayahnya, Erwin Gutawa menggelar konser Dekade di JCC. Saat itu usia Gita baru 10 tahun.

Dari backdrop panggung yang ditata mutltimedia itu, sepotong rekaman di konser Dekade yang digelar pada tahun 2003 di gedung yang sama itu menampilkan Chrisye yang turun ke barisan penonton dan memberi microphone pada Gita untuk melanjutkan nyanyian dari salah lagu hitsnya, Pergilah Kasih.

Suasana mengharukan itu datang dari konser Kidung Abadi (05/04) yang diselenggarakan di JCC untuk mengenang penyanyi pop legendaris Chrismansyah Rahadi (1949 – 2007) atau yang lebih dikenal sebagai Chrisye. Chrismansyah adalah nama muallaf Chrisye ketika ia menikahi istrinya Yanti Noor pada 1982 dan memberi mereka empat orang anak.

Chrisye memulai karir bermusiknya pada 1967 sebagai basiss band Gypsy dan telah menghasilkan 31 album solo hingga akhir hayatnya.

Konser Kidung Abadi karya kolaborasi Erwin Gutawa dan Jay Subiakto itu menghadirkan kembali Chrisye dalam bentuknya yang virtual. Rekaman suara tenor khas Chrisye hadir dalam ruangan yang dipadukan oleh musik orkestra, juga tampilan visual Chrisye yang berinteraksi tidak saja dengan penonton tapi juga dengan musisi-musisi pendukung. Ketika berduet dengan Sophia Latjuba di lagu Setangkai Anggrek Bulan, Chrisye hadir bak duet ayah dan anak Nat King Cole dan Natalie Cole yang terpaut ruang waktu.

Selain Sophia Latjuba dan Gita Gutawa, konser itu menampilkan band GIGI, vokalis band Dewa Once Mekel, Vina Panduwinata, dan pemain biola Hendry Lamiri.  

Konser konseptual itu tak hanya menyajikan musik. Orkestra pimpinan Erwin mengiringi secara instrumentalia beberapa nomor hits Chrisye untuk mengiringi tarian-tarian kontemporer dan fesyen tradisional Indonesia.

Jay Subiakto, penggagas konser turut naik panggung dan menjelaskan bahwa pada Chrisye kita diingatkan akan capaian-capaian seni monumental karya anak bangsa. Semua lagu yang dinyanyikan Chrisye semasa hidupnya menggambarkan semangat itu. Kata anak bangsa menjadi semacam kunci dari pesan yang ingin disampaikan oleh konser itu. 

Dan meluncurlah nomor-nomor hits 80 dan 90an Chrisye, sejak Badai Pasti Berlalu, Aku Cinta Dia, Nona Lisa, Hip Hip Hura, Lilin Kecil, dan beberapa lagu lain yang akan selalu dikenang sepanjang masa.

Chrisye yang meninggal pada 30 Maret 2007 di Jakarta karena Kanker Paru-paru yang dideritanya adalah musisi yang menurut Erwin sangat digemari oleh para pencipta lagu. Suaranya yang khas dengan bahasa tubuh yang unik ketika bernyanyi, membuat banyak pencipta lagu yang ingin sekali lagunya dibawakan oleh Chrisye.

Sayangnya, hingga Chrisye berpulang, Erwin yang sudah sejak lama berkolaborasi dengannnya malah hanya punya satu komposisi lagu yang berjudul Kidung Abadi sebagai titel konser. Lirik lagu yang belum diproduksi ini diciptakan oleh Gita Gutawa dan menjadi lagu yang menutup konser.

Tapi setelah dua jam penuh konser berlangsung, Chrisye akhirnya berpulang. Di langit-langit ruang indoor JCC, secara virtual Chrisye dibuat melayang dan perlahan-lahan menghilang.

AHISTORIS


Rumah HOS Tjokroaminto, rumah kost founding fathers
nasion Indonesia, Gang Peneleh, Surabaya

SAYA menyusuri salah satu kawasan di pusat kota Surabaya (03/04). Kawasan itu dikenal orang di kota itu dengan nama Peneleh.

Tapi orang-orang sepertinya hanya mengenalnya sebagai nama dan bukan sejarah. Dari supir yang taksinya saya naiki, tukang ojeg yang lagi nongkrong, penjual kaki lima, ibu-ibu rumah tangga, sampai pegawai puskesmas di kawasan itu saya tanyai perihal sama, nama sebuah Gang dan nama sebuah tokoh kebangsaan. Dan semua jawabannya sama, tidak tahu!

Dan jadilah saya terlihat di seputar kawasan itu seperti anak ayam yang kehilangan induk. Saya mencari alamat rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, pendiri organisasi di awal kebangkitan Indonesia, Sarekat Islam, sekaligus bapak kost dari para pendiri bangsa. Rumah sejarah itu beralamat di Gang Peneleh 7.

Agar tak terlalu kecewa, saya hanya berpikir mungkin saya salah “turun rumah” mitos yang hadir di alam bawah sadar sejak saya kecil bahwa tujuan kadang tak tercapai jika misalnya turun dengan kaki kiri duluan dan tanpa doa. Dampaknya, saya tak bertemu orang yang bisa menunjukkan alamat yang saya cari. Akhirnya dengan begitu ada semacam apologi bagi diri agar tak terlalu kecewa.

Perihal ketidaktahuan itu saya pikir bukan karena sesungguhnya orang-orang tidak tahu atau tidak mau tahu. Saya menemukan jawabannya setelah akhirnya menemukan rumah itu dari panduan seorang kawan di media sosial Twitter. Jawaban itu akhirnya saya dapatkan dari Eko Hadiratno (43 tahun), Ketua RT yang menurut saya bukan sembarang ketua RT. Dengan dedikasi tinggi, Eko melayani saya dengan sangat baik.

Eko dipercaya oleh ahli waris keluarga Tjokroaminoto dan Pemerintah Kota Surabaya untuk merawat sekaligus menjadi informan bagi kesejarahan rumah itu. Menurutnya, banyak orang tak tahu soal rumah Pak Tjokro itu pernah jadi rumah kost Soekarno ketika menjalani pendidikan SMAnya pada 1917. Bukan hanya Soekarno, tokoh politik lainnya seperti Musso dan Alimin yang komunis, atau Samanhudi dan Kartosuwiryo yang Islam pernah lalu-lalang tinggal di rumah kecil itu dan berinteraksi dengan Soekarno muda, yunior mereka.

Tjokro adalah guru politik dari nama-nama itu. Nama-nama yang memberi landasan awal filosofis nasion yang buminya kita pijak dan katanya sudah merdeka ini.

Ini karena usia kesejarahan tempat itu tak berbanding sama dengan catatan sejarah yang menyertainya. Saya tak ingin menyalahkan khalayak. Sejarah kita memang dikaburkan kepentingan penguasa pasca Soekarno, Soeharto dan Orde Baru. Sejarah bagi kita hanya menarik dibicarakan sebagai hapalan ketika sekolah atau justifikasi tindakan yang meotifnya penguasaan. Rumah itu oleh negara diakui sebagai tinggalan sejarah baru pada tahun 1996.

Sudah tak ada lagi kamar sempit dan gelap seperti yang diceritakan Soekarno pada Cindy Adams penulis buku biografinya yang terkenal, Penjambung Lidah Rakjat itu. Kamar di bagian belakang rumah itu telah jadi rumah tinggal orang karena sebelum 1996 tempat itu seolah tak bertuan.

Tapi sisa-sisa suasana kebatinan bangsa saat itu masih tertinggal di beberapa bagian di rumah itu. Ada kamar tidur Tjokro, ruang rapat tersembunyi di langit-langit atap, dan properti-properti tinggalan yang mengajak siapapun yang kesitu, seperti kembali ke lorong waktu ketika ide nasionalisme, Islam, komunis, saling berinteraksi.

Akhirnya, sejarah selalu aktual, menurut saya. Sebagai sebuah bangsa yang lagi-lagi katanya besar ini, sejarah harusnya jadi pijakan buat masa depan. Apa yang terjadi hari ini adalah refleksi dari apa yang terjadi di masa lalu. Dan ketika apa-apa yang terjadi itu tak dibaca sebagai refleksi, kesalahan dan kebodohan yang sama akan selalu berulang. Mungkin.

Ingatan saya balik ke kampung halaman. Suatu kali, saya iseng menanyai seorang pelajar di sebuah SMA di Palu. Saya bertanya apakah anak perempuan pelajar itu mengenal siapa Karanjalemba. Remaja perempuan yang cantik itu hanya bisa menggelengkan kepala, tapi akhirnya memberi juga jawaban ketika dia tahu saya akan beranjak meningalkannya. “Itu kan nama jalan yang ke Biromaru!”


Ruang rapat para aktivis
Syarikat Islam di plafon rumah
Kamar utama yang dikasih Tjokro ke BK
saat kawin dengan Utari, putrinya
Anak-anak kost itu
Eko Hadiratno, Ketua RT Gang Peneleh

Negeri dengan Tujuh Matahari


Dari Pra Rilis Film Animasi Matahari karya Yusuf Radjamuda


“MATAHARI… anugerah yang terbuang percuma...” Sebuah penggalan lirik lagu karya Gitaris Adi Tangkilisan itu seakan memantik Yusuf Radjamuda, film maker dari rumah produksi Kafe Ujung (Komunitas Film Pendek Maesa Ujung) memproduksi karya film terbarunya berjudul Matahari.

Lagu yang juga berjudul Matahari itu, menjadi soundtrack film itu.

Ada yang baru dari Yusuf atau yang lebih dikenal dengan Papa Al alias Ucup ini. Film Matahari yang berdurasi 10 menit dan 5 detik itu bergenre animasi. Bersama Animator Udin Jahe, ide membuat film dengan isu matahari ini sudah ada sejak 2010.

Sebelumnya, Yusuf membuat film pendek berjudul Wrong Day yang pada Februari 2012 lalu diapresiasi oleh sebuah lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institute untuk ikut menghadiri helat akbar sebuah festival film internasional tahunan bergengsi di Berlin, Jerman.

Pada Kamis malam (29/03) bertempat di bioskop mini Kingdom yang berkapasitas maksimal 10 orang itu, Yusuf menggelar acara nonton (screening) terbatas dan sekaligus diskusi bagi debut karya animasinya itu.

Tak hanya lagu, gagasan film animasi ini menurut Yusuf lahir sebagai refleksi pada keseharian, ketika orang-orang hanya bisa mengeluh pada perasaan gerah karena sinar matahari di Palu selalu bikin resah. Petani, jam dinding, cangkul, tanaman jagung, ikon bulan dan matahari yang bersiklus, seakan menegaskan pesan refleksi Yusuf di filmnya itu. Dalam beberapa kesempatan Yusuf selalu saja menegaskan situasi cuaca di Palu tanah kelahirannya itu sebagai Land of the Seven Suns, negeri dengan tujuh matahari.

Kritik datang dari seorang peneliti etnomusikologi asal Argentina, Mayco Santaela. Film animasi seringkali mengidentikkan dirinya dengan simplisitas. Hal-hal yang ditampilkan selalu saja simpel, minimalis, tapi tidak lantas jatuh jadi sederhana dan banal, karena animasi sarat pesan.

Pada Matahari Mayco menangkap sebaliknya, rumit. Mungkin karena durasi yang masih panjang dan hal-hal tentang matahari belum tergali dalam. Ada contoh soal kenyataan di Eropa Utara, Skandinavia, musim ketika matahari tak terbit selama berbulan-bulan lamanya disana. Riset tentang perilaku mahluk hidup atas kenyataan siklus alam itu harusnya diperdalam, karena film Yusuf itu harapannya tak bertendensi sekadar jadi isu lokal khas negeri-negeri tropis tapi universal.

Di banyak daerah, matahari memang lantas menjadi energi terbarukan. Panel-panel solar yang mengkonversi sinar matahari jadi daya alternatif bagi kebutuhan dasar manusia diupayakan menjadi massal. Lewat kapasitasnya di film, Yusuf seakan meminjam pesan itu selain musik sebagai pembuka tulisan ini dan kesadaran semu orang Palu yang lebih suka mengeluh waktu matahari sedang lucu-lucunya saat siang sampai ketika petang menjelang.

BBM, SBY, END


HARI-hari ini, mahasiswa dan sebagian besar masyarakat Indonesia seperti menemukan kembali musuh bersama: menolak kebijakan negara untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Tapi belum benar-benar menjadi musuh bersama seperti momentum Reformasi Mei 1998 saat Soeharto dilengserkan. Pasca reformasi, kebijakan menaikkan harga BBM juga terjadi dan dinamikanya sama seperti yang terjadi hari-hari ini.

Sebagian yang lain pro, ada yang abstain, sebagian yang lain nyaris apatis. Alasan-alasan negara diamini: harga minyak dunia sedang naik, anggaran negara akan jebol jika BBM tak dinaikkan, yang merasakan keuntungan ketika BBM tidak dinaikkan malah kaum yang berpunya. Alasan-alasan pembenaran yang menurut saya rasional sebagai konsumsi para urban kelas menengah yang katanya tercerahkan karena informasi (well-informed).

Yang kontra teguh bahwa sebagai negara penghasil minyak dan gas, absurd menerima alasan-alasan negara diatas. Lalu ketika BBM naik, harga-harga kebutuhan dasar yang lain praktis ikut naik dan itu akan melemahkan daya beli. Sebagian lainnya menuduh negara bohong dan bahwa harga BBM kita ditentukan oleh asing.

Situasi polemis pro kontra kebijakan ini dapat terbaca dari media sosial yang marak di dunia maya. Di dunia nyata, ada masyarakat sipil yang bentrok dengan mahasiswa. Tak sekadar pro, perihal kebijakan tidak populer ini malah jadi humor satir bagi sebagian orang. Salah satunya misalnya, “jika BBM naik, sms!,” sebagai gejala bahwa singkatan BBM bukan hanya isu politik, tapi juga komunikasi dan merek dagang sebuah perangkat teknologi informasi.    

Apa pesan dari situasi polemis ini? Saya menyebutnya sebagai alarm, membaca situasi ini bukan sekadar sebagai penolakan akibat sebuah kebijakan tidak populer sedang ditawarkan pada publik, tapi titik nadir, ketika kekecewaan publik terakumulasi. Setiap hari menu santapan kita di rumah adalah ketidakpastian di semua ranah kehidupan: politik, ekonomi, apalagi hukum. Skema kompensasi subsidi untuk menjawab gejolak sosial seperti yang sudah-sudah terbukti tak menjawab persoalan pasca BBM naik. Yang  ada malah kecenderungan skema itu adalah bentuk lain pemiskinan dan yang lebih tak elok lagi karena disinyalir sebagai cara kasar pencitraan.  

Ini masa kedua pemerintahan SBY, masa ketika titik nadir itu perlahan tapi pasti menjelma alarm baginya sebagai pemimpin.

Pesan lain yang menurut saya tidak polemis dan menjadi keinginan bersama (common sense) dari momentum ini adalah “SBY, jadilah pemimpin”. Saya tidak punya kuasa melanjutkan penjelasan jadilah pemimpin itu. Saya membaca pesan itu ada pada pembaca yang budiman, baik yang pro maupun yang kontra. Pemuda-pemudi yang bentrok dengan polisi karena marah di jalan-jalan raya di kota-kota itu saya yakin menagih pesan sama.       

Tentu saja saya bisa salah, karena bisa jadi hari-hari ini kekecewaan dan kemarahan itu ternyata sudah setingkat pemeo yang sering dipakai pemuda-pemudi zaman sekarang, “you (SBY), me, end.”

Postingan Sebelumnya..