Saturday, March 16, 2013

MARSINAH YANG NIRBATAS RUANG WAKTU


MARSINAH, perempuan buruh pabrik di Porong Sidoarjo itu adalah ingatan sosial yang tak akan pernah terhapuskan. Sejak ditemukan menjadi mayat pada 8 Mei 1993, akibat penyiksaan hebat yang dialaminya karena menjadi motor penggerak kawan-kawannya yang menuntut hak-hak buruh, tafsir atas dirinya tak akan pernah lekang oleh zaman.

Benarlah kiranya apa yang disampaikan oleh Mirek, tokoh di novel The Book of Laughter and Forgetting, karya Milan Kundera itu, bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.

Setiap upaya bagi tafisr baru pada Marsinah adalah upaya untuk melawan lupa sembari mengekalkan ingatan dari sepenggal sejarah hitam Indonesia. Marsinah menjadi penanda kisah keji kemanusiaan yang menerabas ruang dan waktu. Tak hanya di Indonesia, kisah perempuan yang jadi simbol perlawanan buruh itu menjadi milik dunia. Sejak kematiannya, hingga sekarang, tafsir baru dalam banyak media dan disiplin hadir memberi peringatan.

Dan tafsir baru itu hadir pada kamis malam (14/03) di gedung pementasan Taman Budaya Propinsi Sulawesi Tengah oleh penampilan monolog. Naskah lama karya Ratna Sarumpaet berjudul Marsinah Menggugat (1997) itu diperankan dengan penuh totalitas oleh akting Deita. Sutradara pementasan, Mohamad Nurdiansyah atau yang lebih dikenal dengan nama panggilan Toto, menghidupkan kembali getir di menit-menit terakhir Marsinah yang mengalami penyiksaan dan akhirnya secara tragis dibunuh.

Tata panggung yang minimalis –hanya ada Marsinah sendiri dan sebuah bangku tempat interogasi, sudah sangat menjelaskan kengerian penyiksaan yang tak seharusnya dialami oleh siapapun manusia, kata Marsinah dalam sepenggal monolog itu.

Deita yang memerankan kesakitan yang teramat sangat yang dialami Marsinah, mengolah kesakitan itu sedemikian rupa dalam intonasi suara dan gerak tubuhnya. Ada yang membahagiakan dari sana, muncul bakat-bakat baru seni peran yang dilakoni perempuan, karena kesan aktor lelaki yang lebih sering dalam banyak pementasan. Kritik setelah pementasan datang, kostum Deita yang kurang menggambarkan kesakitan itu.

Pentas malam itu ditujukan untuk persiapan menghadapi perhelatan Festival Monolog  yang akan diselenggarakan di Jember, Jawa Timur, 25 – 27 Maret 2013.

Foto katalog pementasan dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=4308746970532&set=a.2020544126891.92208.1642585311&type=1&theater&notif_t=photo_comment_tagged

Sekali lagi, tafsir atas Marsinah tak hanya ada di naskah monolog atau drama, tapi juga film yang pernah dikerjakan oleh Slamet Rahardjo, dan bahkan musik. Semua dari tafsir itu awalnya mendapat penolakan dari negara. Apa yang telah dilakukan Toto dan Deita adalah upaya yang tak hanya sekadar seni tapi juga komitmen kemanusiaan. Atas alasan itu, kita seharusnya memberi apresiasi yang setinggi-tingginya.

Postingan Sebelumnya..