Tuesday, October 2, 2012

PARLOW

Buku Narasi Kapten David Woodarddan Empat Awak Kapal (1793), yang ditulis oleh William Vaughn (1804)


MINGGU ini dan setiap tanggal 27 September, umur kota ini bertambah. Umur yang sama dengan umur saya: tiga puluh empat tahun.

Kalau kota-kota besar lain mulai susah berlari karena sesak akibat pertambahan penduduk dan wilayah yang semakin sempit, Palu dalam analogi itu malah sebaliknya. Pertambahan penduduk meningkat dari hari ke hari. Kost menjadi fenomena baru kota. Lalu lintas manusia dan barang mulai terlihat. Buat saya, identifikasi sebuah kota menjadi sebenar-benarnya kota adalah ketika semakin sulitnya kita bertemu dengan kenalan di ruang-ruang publik. Banyak orang baru yang membuat kata dinamika menemukan tempatnya.

Ruang di wilayah sabuk (green belt) di timur dan barat kota masih banyak yang kosong. Di beberapa titik di kekosongan itu rumah-rumah baru yang dibangun seragam mulai nampak mengisi kekosongan. Bisnis pemukiman menjadi komoditi baru bagi Palu. Pun di tengah kota yang mulai tak asing dengan gaya klaster, yang eksklusif, dan menegaskan esklusifitasnya melalui tembok-tembok pembatas.

Di beberapa ruas jalan di tengah kota, pada jam-jam tertentu kemacetan mulai menjadi kebiasaan baru. Kendaraan baru dari berbagai merek keluar ke jalan dalam hitungan puluhan, mungkin bahkan ratusan, dalam hitungan hari. Di beberapa titik di ruas kesibukan itu, waktu terasa berdenyut 24 jam.

Kepala kita mulai belajar mendongak ke atas. Bangunan kantor, hotel-hotel, tempat hiburan yang sebagian besar bisnis waralaba tumbuh menjulang memanfaatkan ruang. Daftar bisnis waralaba itu sekarang menunggu antrian melihat ceruk pasar yang memungkinkan bisnis dijalankan. Ada yang agak tidak biasa bagi Palu  di umurnya yang masuk tiga puluh empat tahun itu.

Sama seperti kita, yang selalu punya resolusi, cita-cita ketika ulangtahun tiba. Palu pun demikian. Dalam cita-cita itu, masyarakat tumbuh berkembang dalam kesehariannya. Ada kekhawatiran di sana, beberapa kelompok dari masyarakat itu, ketinggalan dan meningkatkan kapasitas masyarakat menjadi kebutuhan. Negara melalui agennya, pemerintah daerah punya kewajiban untuk memastikan tak ada yang ketinggalan dalam proses kota yang sedang bergegas itu.

Saya membayangkan umur kota-kota memang seperti manusia. Beberapa kota setanah air malah ada yang sudah berumur ratusan tahun. Kota-kota dengan umur uzur itu bagi saya telah mengalami regenerasi, sebagaimana sekumpulan manusia yang tinggal di dalamnya, yang membentuknya, sebagai warga kota.

Interaksi manusia di Palu yang penamaannya berasal dari nama lokal untuk bambu ini, dalam catatan sejarah sebenarnya sudah sangat panjang. Di catatan harian pelaut David Woodard yang disunting oleh William Vaughn, The Narrative of Captain David Woodard (1793), tercatat sebuah nama: Parlow, yang berarti Palu, nama tempat yang oleh Woodard, dilisankan orang-orang yang berinteraksi dengannya saat itu. Agak mundur ke belakang, pada 1603, seorang datuk dari tanah Minangkabau datang untuk siar Islam. Abdullah Raqie, yang gelar datuknya dalam penyebutan lokal kemudian menjadi Dato, lengkapnya Dato Karama. Dalam proses dakwah itu, interaksi tentu saja terjadi dan membentuk kebiasaan-kebiasaan baru khas kota, ketika ada interaksi antara yang lahir dan tinggal di situ dan yang datang.

Umumnya umur kota ditandai oleh peristiwa-peristiwa administratif, dan bukan penanda historis. Pengertian ini membuat imajinasi kota dibangun oleh negara dan bukan komunitas masyarakat yang tinggal dan beranak pinak di kota itu. Tapi karena kesepakatan berkota terasa lebih mudah dicapai dengan cara yang seperti itu.

Untuk menyebut beberapa contoh, Bandung menetapkan waktu kelahirannya dengan pendekatan historis, ketika Daendels menancap patok untuk pembukaan jalan raya pos (Groote Postweg Anyer-Panarukan sepanjang kurang lebih 1000 km) di Bandung  –sekarang jalan Asia Afrika, titik nol kota itu pada 25 September 1810. Makassar, tetangga Palu menetapkan peristiwa historis yang jika ditilik, kurang lebih sama dengan Palu, ketika Gowa menerima kali pertama Islam masuk ke sana pada 9 Nopember 1607, beda empat tahun lebih lama ketika Datokarama tiba di Palu pada 1603.   

Kota-kota di Indonesia dibentuk oleh kolonisasi dan sejarah pergolakan politik nasional. Ketika Pelabuhan Donggala masih sibuk, dunia luar lebih mengenalnya sebagai urban, dan Palu adalah suburbannya. Pelabuhan, pasar tradisional, adalah penanda penting terbentuknya lokus yang dinamai kota, sejak dulu kala. Begitu pula halnya secara administrasi. Ketika kekuasaan kolonial berpusat di Batavia (Jakarta), yang kemudian membentuk pola ajeg hingga sekarang ketika Jakarta menjadi ibukota negara, dan daerah-daerah diluar itu didefinisikan dari sana oleh dua hal: secara vertikal oleh pemerintahan kolonial (negara) dan pasar (interaksi masyakarat) yang horisontal. 

Dinamika modernisasi kota selanjutnya ditentukan oleh interaksi antara negara dan pasar.  Sejarah juga menunjukkan demikian. Sebuah fiksi bagus yang menggambarkan terbentuknya sebuah kota adalah film Gangs of New York (Martin Scorsese, 2002) megapolitan yang terbentuk oleh pertentangan kelas dan ras.
    
Negosiasi itu sekarang mengarah ke pilihan-pilihan, kota akan berorientasi pada kepentingan publik atau privat. Kita suka luput, di kota-kota dari negeri yang kita anggap sangat kapitalis, misalnya, yang diktum privat adalah segalanya dan peran negara perlahan lenyap, ruang kota malah berorientasi publik, ruang publik ramah bagi siapa saja termasuk buat kelompok rentan: orang tua, anak-anak, dan yang cacat fisik (disable). Mulai dari taman, pedestrian, angkutan massal, hingga toilet. 

Mungkin masih dini bicarakan soal-soal di atas dalam hal Palu. Beberapa yang dirasa mendesak adalah mental berkota misalnya untuk hal mudah tapi susah: memperlakukan sampah, misalnya, untuk menyebut salah satu dari sekian persoalan berkota.

Akhirnya selamat hari ulang tahun Palu, yang selalu saya tulis di depannya kata “kota” dalam huruf K besar (kapital) sebagai penegas, tapi kali ini tidak. Sebelumnya kata kota itu administratif dan lahir di alam bawah sadar saya sebagai warga yang mencintai kotanya. Sekarang saya tak merasa perlu menuliskannya karena saya merasa kita sudah jadi kota dalam pengertian yang sesungguhnya, bukan? 

PEWARTA


HAMPIR setiap orang punya pengalaman atas tempat, kejadian, atau hal-hal baru dalam hidupnya, yang berkesan. Hal mana yang kemudian membentuk pengalaman hidup pada hampir setiap orang itu, seberapa pun kecil dampaknya: keunikan. Saya ingin menyebut pengalaman itu sebagai perjalanan. 

Apa yang menarik dari sebuah perjalanan? Bagi saya adalah catatan atasnya. Maksud saya, siapapun Anda, yang tak harus berstatus sosial sebagai penulis atau wartawan cetak, misalnya, untuk memulai kebiasaan menuliskan catatan perjalanan.

Saya ingin meluaskan pemaknaan kata Perjalanan, yang tak sekadar jalan-jalan, tapi juga pengalaman menemukan sesuatu hal yang baru dan layak dikabarkan, dibagikan pada orang-orang sebagai informasi.

Apa pentingnya sebuah perjalanan yang dituliskan, bagi diri yang mengalami perjalanan dan bagi orang lain yang membaca, ketika catatan dipublikasikan? Yang pertama adalah aktualisasi. Menulis adalah bagian dari kecakapan berbahasa selain membaca, mendengar, berbicara. Di ranah psikologi, kemampuan menulis malah diyakini mampu menjadi media katarsis yang menyembuhkan, membahagiakan.

Yang kedua, adalah informasi.

Dulu informasi dipahami hanya lahir dari institusi pers. Sebut saja media massa baik cetak maupun elektronik yang wujudnya berupa surat kabar harian, radio, televisi, internet. Media-media massa ini dikelola secara profesional untuk memproduksi informasi. Pun saat ini, pemahaman itu belum terganti. Tapi, ada yang berubah dari kebiasaan itu sekarang. Teknologi informasi hari ini mempersilakan, menjadikan siapapun Anda sebagai pewarta. Bedanya pada Anda yang misalnya bukan wartawan hanyalah kartu penanda, akses bagi setiap peristiwa. Itu saja. Samanya adalah keduanya bisa memproduksi informasi dan membagi informasi itu pada siapa saja.

Yang membedakannya kemudian adalah keunikan yang sifatnya personal, keintiman berbahasa yang tak dimiliki media massa resmi. Sekalipun cara personal dengan penggunaan kata aku, saya itu saat ini sudah diadopsi juga dalam karya jurnalistik. Pengalaman yang sudah saya singgung di atas menunjukkan bahwa pada setiap catatan perjalanan hidup yang dituliskan itu akan berdampak pada orang lain yang mengaksesnya, membacanya. Terbentuk sebuah siklus informasi yang akan membuat pengalaman jadi kaya, penuh warna, dan bertendensi memperbaiki. Kita akan tahu bagaimana cara yang ekonomis menuju ke tempat x, apa yang menarik di tempat y, dan apa-apa yang pernah terjadi di tempat z yang akan membuat kita jadi antisipatif. Semoga Anda mengikuti kisah kasus hukum Prita yang menulis catatan perjalanannya menghadapi layanan rumah sakit dan berujung di pengadilan. Betapa catatan punya dampak, bukan?

Saya tak menyatakan bahwa pesan berantai (broadcast) adalah catatan, sekalipun tak semuanya salah karena ada informasi berantai penting yang harus kita teruskan. Fenomena yang menurut saya, mengutip judul lagu band lawas The Police, sebagai too much information. Kritik bagi derasnya arus informasi dan kita tak punya penyaring yang baik untuk memilah-milih informasi yang kita butuhkan.

Media-media massa mewadahi catatan unik pembacanya dalam surat pembaca atau kolom-kolom khusus jurnalisme warga (citizen journalism). Itu karena media massa tentu paham bahwa ada banyak keterbatasan pada mereka, dan saya ingin menambahkan perihal keunikan pada pengalaman yang saya maksudkan di atas.

Produksi informasi cetak hari ini juga dapat dilakukan tanpa birokrasi, selagi informasi yang dipublikasikan tidak mengandung unsur SARA. Selebaran yang dibagi saat Jumatan, contohnya. Atau cetak stensilan propaganda komunitas, adalah bentuk dari informasi yang tercatat itu. Lebih dari itu, media sosial internet memberi ruang pada siapapun yang mau mendokumentasikan catatan perjalanan hidupnya sejak teks, gambar, hingga audiovisual. Gratis!

Saya tak tahu, apakah ritual mengarang cerita yang pernah saya alami saat masih kecil di bangku sekolah dasar masih dilakukan saat sekarang. Kebiasaan itu harus selalu ditumbuhkan bersama kebiasaan lain dalam apa yang saya sebut di atas sebagai kecakapan berbahasa, utamanya membaca. Tentang teknis menulis tentu saja adalah soal kebiasaan. Hal terpenting dari sana adalah kemauan, kejujuran. Soal membuka tulisan dengan, “pada suatu hari…” bukanlah halangan untuk tak membiasakan diri menulis catatan. A la bisa karena biasa.

Apa yang tak dipunyai televisi dan dimiliki buku atau bentuk bacaan lain? Imajinasi. Kata-kata yang jadi kalimat dan membentuk catatan akan menggerakkan apa yang ada di pikiran, yang itu tak dimungkinkan oleh televisi yang menyajikan bentuk pada mata telanjang kita dan kita tak butuh imajinasi. Kita menginterpretasikan ruang, waktu, dan kejadian yang dituliskan. Dan tahukah Anda apa yang nyaris hilang di bangsa ini ketika membicarakan suatu hal dari sekian unsur dalam kecakapan berbahasa ini –menulis? Saya kira Anda akan bersepakat dengan saya, imajinasi.

Ini seperti geram kita pada politisi dan pejabat publik sejak level nasional hingga lokal yang sering melakukan perjalanan dengan uang publik dan tak ada catatan perjalanan yang harusnya mereka tulisakan sebagai konsumsi publik itu, selain hanya bernarsis ria jadi turis mengabadikan diri di tempat-tempat terkenal. Ada yang tak mempublikasikan karena khawatir kritikan, tak jarang yang mempublikasikannya tanpa catatan di media-media sosial internet. Catatan resmi perjalanan dan apa yang dihasilkan, didapatkan juga banyak yang tak dipublikasikan.

Baiklah, kita sudah terlalu banyak bicara, kadang tidak begitu suka mendengar karena cenderung egois ingin didengar, dan hanya punya sedikit waktu untuk meluangkan diri membaca karena lebih suka menonton televisi. Sekarang, maukah kita menulis catatan?

nikchng.wordpress.com

SAYA DAN GURU TUA

SIS Aldjufrie (Guru Tua)


SEMUA hal yang saya sukai ada pada sebagian besar dirinya: melakukan perjalanan, sepak bola, dan syair. Beruntunglah murid-muridnya, mereka yang pernah dekat secara fisik dengannya, berinteraksi secara langsung dengan dia, dengan Guru Tua.

Seketika gambaran saya tentangnya begitu luas. Keluasan itu seolah merangkum apa-apa yang saya rasakan sekarang, generasi yang tak pernah bersentuhan langsung dengannya, tapi merasakan detak dan jejak yang begitu kuat dan banyak.

Suatu kali, ketika saya masih kecil dan tak punya apapun tendensi, seringkali bertanya dalam hati, siapa lelaki tua berkacamata, bersorban putih, dengan tatapan tajam itu, bertemu selalu secara tak sengaja di pigura-pigura kaca ruang tamu rumah-rumah yang kebetulan saya kunjungi, atau stiker di interior mobil, hingga gantungan kunci. Gagah sekali. Penanda-penanda itu menjadi semacam identitas yang sangat lokal Palu, atau Sulawesi Tengah, sebagai sebuah lokus, tempat. Saya pikirnya saat itu, Guru Tua adalah bapak atau kakek dari semua orang yang rumahnya saya kunjungi itu.

Dan memang, karenanya, ada yang membuat sesuatu menjadi “pusat” di kota ini. Alkhairaat.

Keluasan itu bagi saya memantik kepekaan historis, membayangkan ketika Indonesia masih dijajah oleh Belanda, dan lalu Jepang. Dan di tengah masa sulit itu ada seorang yang memikirkan sebentuk perlawanan melalui pendidikan. Ada semacam kesamaan psikologis yang terbentuk dari kolonialisme. Di darahnya mengalir bangsa ibunya yang nusantara, dan darah Yaman bapaknya, bangsa yang dijajah Britania Raya.

Komitmen kebangsaannya nyata dari syair yang dia tulis dan dibacakannya pada 17 Desember 1945, beberapa bulan setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan sebagai penanda dibukanya kembali secara terbuka sekolah Alkhairaat yang sebelumnya bergerak “bawah tanah” karena pendudukan Jepang. Simak syair berikut. “Berkibarlah Sang Saka Merah Putih dengan megahmu di angkasa, bumimu Indonesia, untuk selama-lamanya” (Depdikbud, 1987).

Ini menjadi serupa teologi pembebasan di negara-negara latin benua Amerika, ketika para pendakwah melalui pendidikan agama memberi pencerahan tentang makna kehadiran manusia di dunia pada kaum papa dan tertindas: petani, buruh, pengangguran, bersimbiosis dengan ideologi kiri yang seringkali dipersepsi dan direduksi sekadar sebagai anti Tuhan dan agama. Dan dengan pendekatan itu masyarakat mengorganisir diri dan komunitas untuk keluar dari segala bentuk penjajahan.

Sebagai kata, Alkhairaat, masterpiece itu, secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata Chair yang artinya kebajikan. Kata ini bagi saya sakral (akhirat) sekaligus profan (dunia) yang mengindikasikan relasi-relasi antar manusia (Hablum minnnas) dan antara manusia dan Sang Pencipta (Hablum minallah). Dalam hal dunia, realitas kebajikan itu diterjemahkan dalam spirit pendidikan.

Tapi tak hanya pendidikan. Humanisme sebagai laku sosial pun menjadi bagian yang dipraktikannya, dihargainya, sebagai manifestasi kemanusiaan yang profan itu, yang dalam kenyataannya penuh keberagaman. Di tengah pluralitasIndonesia yang mencekam seperti sekarang ini, sulit bagi saya membayangkan seorang tokoh pendidik muslim mengajak guru yang beragama Kristen mengajar di sekolah yang didirikan. Bapak PK Entoh (Alm), tokoh pendidik yang beragama Kristen, pernah diajaknya mengajar di sekolah Alkhairaat. Lakum dinukum wa liadin, bagiku agamaku, bagimu agamamu. Kebutuhan bersamanya dalam konteks itu adalah ilmu, dan bukan agama sesesorang. Pun begitu halnya dengan interaksinya dengan kebudayaan lokal (khususnya Kaili).
  
Dalam banyak keterbatasan, spirit itu hadir dalam perjalanannya bersama murid-muridnya membuka sekolah-sekolah –awalnya di Kota Palu lalu di sebagian jazirah nusantara yang sekarang dinamakan kawasan timur Indonesia. Suatu waktu, perjalanannya berhari-hari menyisir pantai timur Sulawesi Tengah dengan kendaraan gerobak sapi (Jamrin Abubakar, 2012).

Hari ini sudah tak bisa lagi dihitung dengan jari spirit itu, sejak taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan kejuruan, dan lalu sebuah perguruan tinggi dan juga alumni-alumni di semua jenjang pendidikan itu.

Zaman berubah bersama tantangannya. Di tengah perubahan zaman itu, ada yang ajeg sebagai landasan, sebagai pijak, seperti yang telah diwariskannya kepada kita semua, terlebih dan khususnya bagi abnaul khairaat. Tapi ada juga yang beradaptasi bersama zaman itu sendiri, yang bergerak maju dan berdinamisasi.

Yang paling mengkhawatirkan oleh tantangan perubahan zaman itu sekarang adalah toleransi antar umat beragama, antar kebudayaan, antar lokus, wilayah. Tidak saja secara nasional, tapi juga potensi laten di sekitar kita. Namun dalam perubahan itu, prinsip-prinsip dasar kemanusiaan Guru Tua menjadi sesuatu yang menurut saya ajeg, sebagai pijak yang hari ini kontekstual, senantiasa menjadi nilai bersama (common sense) yang harapannya sangat lokal, sangat khas Kota Palu dan bersimbiosis dengan semboyan itu malintinuvu, nosarara nosabatutu.    

Di perpustakaan yang saya kelola ada poster besar dalam pigura kaca wajah penyair Rendra dan sepenggal sajaknya. Saya berharap, disaat saya melihat poster itu, semangat menulis saya terbakar. Harapan itu sama seperti ketika saya melihat poster Bung Karno yang masih tetap dipajang oleh para pengagumnya di dinding-dinding rumah, juga mungkin seperti kaos atau stiker bergambar siluet Che Guevara yang dipakai banyak anak-anak muda. Ada yang menyatu bersama spirit orang yang mereka kagumi itu, tapi tak jarang juga yang tidak.      

SIGI OH SIGI


namamu Lindu
getar itu
rapuh batu
kata-kata jadi kayu
jadi puisi paling sendu
hari itu

MINGGU pagi (19/08). Lantunan suara takbir berkumandang. Matahari terbit perlahan dengan gagah. Orang-orang di Kota Palu berduyun-duyun di jalan-jalan menuju mesjid dan lapangan hendak menunaikan ibadah shalat ied, merayakan hari lebaran. Sekira 50 km dari situ, di Kulawi dan sekitarnya, beberapa desa terisolir, setelah gempa besar yang terjadi saat sore jelang buka puasa terakhir (Sabtu, 18/08).

Sebuah rumah di Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi

Berita saat dini hari pasca gempa dari salah satu saluran tv, ada korban jiwa, rumah-rumah rusak, banyak titik di ruas jalan poros yang menghubungkan Kota Palu dan Kecamatan Kulawi mengalami longsor parah yang membuat akses jalan terputus.

Beberapa saat setelah gempa, sempat terjadi silang pendapat dengan beberapa kawan tentang pusat gempa. Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sebagai instansi yang berwenang memberikan informasi perihal gempa merilis laporannya. Pusat gempa, oleh BMKG terjadi di arah baratdaya, 27 km dari Kabupaten Parigi Moutong, dengan skala richter 6,2, dikedalaman 10 km. Yang itu berbeda dengan laporan United States Geological Survey (USGS), BMKG milik Amerika Serikat yang merilis pusat gempa terjadi di Kulawi, dekat Danau Lindu (di peta Google), dengan skala richter 6,3 dan dikedalaman 19,9 km.

Perbedaan data sebagai laporan itu berimplikasi pada perhatian publik, kerusakan berpusat di sekitar wilayah administrasi Kabupaten Parigi Moutong. Media-media menyebut Gempa Sulawesi Tengah. Kerabat di luar kota yang mengirim pesan atau menelepon untuk bermaaf-maafan, keterusan untuk melakukan klarifikasi berita-berita media, memastikan tak terjadi apa-apa sebelum lebaran. Yang di Kota Palu saja getarannya hebat, apalagi yang berada di pusat gempa.   

Besar kemungkinan Lembah Palu yang terkenal memiliki patahan (sesar) bernama Palu Koro yang membentang dari arah utara di laut Selat Makassar dan membelah Kota Palu hingga ke arah selatan itu, adalah penyebabnya. Sebagai gejala alam, sesar itu bergerak tidak biasa juga dangkal hari itu, dan menimbulkan apa yang di sebut orang-orang sebagai tanah goyang.

Sesar aktif itu senantiasa bergerak. Suatu kali saya pernah ke kantor BMKG di Padanjese, Kota Palu. Di kantor yang berfungsi sebagai pos pemantau gempa itu saya sempat berbincang dengan salah seorang petugas yang bekerja mengamati pergerakannya. Hampir setiap hari sesar itu bergerak namun dalam skala yang kecil dan dalam. Terasa sebagai tanah goyang atau gempa, apalagi hingga menimbulkan kerusakan, korban baik jiwa maupun bangunan, jika skala gerakannya besar dan dangkal.    

Di sepanjang perjalanan menyusuri lokasi yang semakin mendekat ke pusat gempa, sejak Kecamatan Gumbasa, situasi mulai terlihat berubah pada beberapa bangunan. Sebuah rumah rusak berat hingga rata dengan tanah di Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa. Rumah itu dapat segera terlihat karena berada di jalan poros. Beberapa warga di sana mengatakan, rumah-rumah lain yang letaknya agak ke dalam, yang tidak berada di sisi-sisi jalan poros pun banyak yang rusak. Sehingga, pendataan harus cermat. Desa Tuva adalah desa terakhir, perbatasan antara kecamatan Gumbasa dan Kecamatan Kulawi.

Setelah Tuva, masuk ke Kecamatan Kulawi desa pertama yang akan ditemui adalah Desa Salua, desa terakhir yang dapat diakses saat itu. Titik-titik longsoran terlihat semakin sering ditemui. 3 dusun di di desa itu bangunan-bangunannya juga banyak yang rusak. Tenda-tenda darurat pengungsian didirikan. Tak sedikit warga mengungsi ke desa tetangga yang dirasakan lebih aman.

Pengungsian itu dipantik oleh kekhawatiran warga, Sungai Saluki yang bermuara di Desa Salua, ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Miu itu debit airnya berkurang drastis –dipercaya karena tertutup longsoran pasca gempa, yang itu mengindikasikan ancaman lain: banjir bandang. Kerusakan parah terjadi di sekitar Lindu yang pasca gempa baru dapat diakses dengan menggunakan helikopter.

Belum juga setahun lewat (3 Desember 2011) dan masih lekat diingatan bagaimana banjir bandang menyapu Desa Bolapapu di Kulawi yang menimbulakn korban jiwa dan bangunan.

Ada kebutuhan mendesak bagi Sigi sebagai kabupaten paling bungsu di Sulawesi Tengah ini untuk memikirkan sacara serius dan sungguh-sungguh upaya-upaya mitigasi bencana dalam siklus pra bencana lalu tanggap darurat ketika bencana terjadi, dan pasca bencana ketika pemulihan (recovery).

Upaya-upaya itu harus didukung oleh semua pihak, baik oleh masyarakat Sigi, saudara-saudara tetangga, dan khususnya Propinsi Sulawesi Tengah, bahkan dunia internasional. Kenapa dunia? Tak lain karena ada taman nasional sebagai satu dari tinggal sedikit paru-paru dunia yang tertinggal ada di sana. Apapula hubungannya dengan tetangga seperti Poso, Donggala, Parigi Moutong, dan Kota Palu sebagai ibukota? Itu karena ada keterkaitan dan keterikatan geografis (alam) dan sosial diantara wilayah-wilayah yang sering disingkat Palapas itu.

Bagi masyarakat Sigi bentuk dukungan bagi upaya mitigasi itu tentu saja menjadi sesuatu yang terberi. Sayangnya, masih dalam duka bencana, sekaligus khidmat lebaran, beberapa hari setelah tanah goyang, gempa yang lain datang menghadang. Bencana sosial karena tawuran antar warga di Kecamatan Marawola juga meminta korban jiwa dan harta benda. Tidak saja warga di sana, tapi juga wartawan yang sedang meliput kejadian. Sungguh menyesakkan.

namamu Sigi
sesuatu padamu terberi
danau di Kulawi
dan bentang alam yang serupa nyanyi sunyi

aku mengeja pelan sepi, mareso masagena
mari bekerja keras dan bersatu
dalam ruang
dalam waktu   

kau menatap aku sambil menyeka peluh di dahi  

BELANJA

aku belanja, maka aku ada ~ descartoon :)

SEORANG kawan mengatakan, ada dua musim selain panas dan hujan. Sebagai orang tua, dia harus mempersiapkan dana cadangan untuk menghadapi dua musim itu yang terdengar mirip di telinga, musim liburan, dan musim lebaran. Belanja, menjadi kata kunci di dua musim itu, katanya.

Waktu liburan panjang sekolah, dana cadangan keluarga yang disiapkan adalah ketika keluarga maksimal bisa jalan-jalan ke luar kota, atau minimal rekreasi mingguan di dalam kota. Tahun ajaran baru sekolah menjadi identik juga dengan serba kebaruan: pakaian, sepatu, topi, dasi, sampai kaos kaki. Belum buku tulis atau buku pelajaran. Apalagi jika masuk ke jenjang baru pendidikan, sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Bagaimana dengan lebaran? Sebagai hari perayaan umat Islam setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan, lebaran, sebagai puncak dari Ramadan menjadi identik dengan pengeluaran. Saya ingin mendudukkan fenomena itu sebagai penyambutan, gejala sosial yang menandai Ramadan.

Penyambutan itu bagi saya selalu berasal dari pulangnya ingatan ketika Ramadan datang. Ingatan-ingatan masa kecil saya dan Ramadan adalah dua hal yang menyatu dalam kedirian, dan ingin saya sebut sebagai kerinduan.

Malam semarak oleh orang-orang di jalan yang ke mesjid untuk shalat tarawih, pulang dari tarawih lebih semarak lagi di toko-toko pakaian dan warung makan. Dini hari yang sibuk dengan bebunyian alat masak di dapur dan meja makan, ketika sekeluarga kumpul dan saling berinteraksi dalam kehangatan. Lalu sebagian orang-orang menikmati udara subuh yang bersih dari polusi kendaraan ketika hari sudah terang dengan berjalan kaki sepulang shalat subuh berjamaah.

Sore hari menjadi asyik karena jalan-jalan sambil belanja kudapan. Untuk soal ini kita bahkan menjadi akrab dengan Ngabuburit, idiom kebudayaan Ramadan dari negeri Parahyangan. Saat berbuka puasa, meja makan terasa tak lengkap tanpa beragam camilan. Jelang Ramadan, rumah didandan, minimal di cat baru, gordyn diganti, maksimal ganti sofa. Saya tak tahu apakah belanja pakaian menjadi semacam konvensi sosial terkait lebaran, karena masa kecil saya mengajarkan, malam lebaran adalah malam paling khusyuk buat belanja baju dan celana panjang.          

Yang hidup merantau di negeri seberang karena menuntut ilmu atau pekerjaan, lebaran dimaknai sebagai katarsis tahunan dalam laku mudik, sebagai penegasan makna kata “pulang” dan kerinduan pada kampung halaman. Tak jarang, bahkan hadir dalam wujud lain yang bergerak di luar konteks Ramadan sebagai kesuksesan.

Lokalitas menjadikan lebaran dan Ramadan, juga hari perayaan agama lainnya memang tak sekadar laku spiritual. Keduanya bersimbiosis dengan kebudayaan. Contoh bagi itu adalah petasan, atau ketika jelang natal dan tahun baru, penjual bambu untuk kuliner nasi bulu terlihat ramai di beberapa ruas jalan khusus yang dari dulu begitu dan karenanya konvensi, tak disepakati secara tertulis.

Khusus Ramadan dan lebaran kali ini, kerinduan saya dari laku penyambutan itu masih terobati. Bedanya, kalau sekarang anak-anak lebih instan oleh petasan kemasan, dulu saya masih merasakan buatan tangan: bambu yang dibuat jadi meriam, karbit yang diledakkan, atau bunyi letusan busi bekas yang dilempar ke udara. Isinya serbuk inti korek api, yang agar jatuhnya lurus vertical karena gravitasi, pantat busi dikasih rumbai-rumbai dari tali rafia. Sungguh kenangan!  

Akhirnya, saya memikirkan makna kemenangan saat lebaran setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadan. Zakat sudah barang tentu kewajiban, sebagai bentuk kongkrit dari refleksi kemanusiaan, yang berpunya pada yang dhuafa. Kemenangan itu juga ditandai dengan sepanjang hari selama Ramadan orang-orang beribadah dan menaklukkan naluri dasar dirinya untuk tidak makan, minum, berhubungan badan, dan melakukan hal-hal yang tak perlu yang mengurangi nilai pahala puasa. Intinya menundukkan nafsu, termasuk nafsu belanja? Wallahu’alam!

GEOPOLITIK


SAYA pernah jadi dosen luar biasa selama satu semester untuk mata kuliah Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Tadulako. Dalam sebuah kesempatan berdiskusi di ruangan kuliah dengan mahasiswa semester akhir, saya menunjuk secara acak, meminta pada salah seorang mahasiswa, menjelaskan tentang siapa dia. Terserah akan mulai dari mana penjelasan soal kediriannya itu. Permintaan saya itu terkait dengan tema kuliah kami saat itu, geopolitik. Dan mahasiswa itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kemudian saya meminta kerelaan mahasiswa yang lain untuk memulai diskusi kami itu. Tak ada. Saat itu yang ada di pikiran saya kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan, apakah mahasiswa segan –untuktidak mengatakan takut menyampaikan pendapat, atau mahasiswa tak paham geopolitik itu apa. Saat itu saya hanya ingin tahu sejauhmana orang memahami keber-ada-annya: kesehariannya, lingkungannya, yang menurut saya penting sebagai upaya memahami hal yang ada di luar dirinya. Pendeknya, geopolitik secara sederhana –sekalipun tak sesederhana yang saya maksud, adalah kemampuan memahami keberadaan diri dan letak dan yang melingkupi diri dan letak itu sejak rukun tetangga sebagai lingkup sosial terkecil domisili, hingga dunia yang hari ini oleh teknologi menjadi sudah tak lagi berbatas.

Pendeknya lagi, diskusi itu hanya ingin mengarah pada hal-hal sederhana, orang tahu nama jalan/gang rumahnya, nomor rumahnya, siapa tetangganya, nomor rukun tetangganya, rukun warganya, bagus kalau orang tahu siapa ketua rt dan rw-nya, namanya, termasuk nama kelurahannya atau desa, di mana kantor lurah atau desanya itu, kecamatannya, kantor a, b, c, untuk urus a, b, c, dan seterusnya, kantor kepala daerahnya dan kantor dprd sebagai wakil-wakil mereka. Semua hal-hal yang sederhana, bukan?

Secara serius geopolitik seringkali diidentikkan menjadi apa yang dikenal sebagai wawasan nusantara. Tulisan saya tak hendak menjelaskan panjang lebar dan dalam perihal tema yang di masa orde baru berkuasa itu malah digunakan untuk menyeragamkan keberagaman, padahal secara konseptual, geopolitik Indonesia yang jadi wawasan nusantara itu mengakui keberagaman kebudayaan dan keyakinan warganya, juga keberagaman dimensi alamnya.

Itu karena pemahaman geopolitik itu belum lagi masuk ke hal-hal yang lebih khusus, misalnya tentang batas dan potensi kewilayahan sejak rumah, kantor, kelurahan atau desa, kota atau kabupaten, propinsi, negara, pulau, kawasan, benua, dunia, dan bla bla bla… 

Pertanyaannya kemudian, misalnya buat seorang ibu rumah tangga, atau tukang ojek, atau penjual ikan di pasar, apa gunanya geopolitik? Sepintas lalu rasanya memang tak penting. Orang suka meyakini peribahasa bijak itu, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Menurut saya peribahasa yang anonim itu tak sekadar praksis orang bisa hidup di mana saja. Kemampuan beradaptasi secara sosial adalah pemahaman geopolitik yang secara tak sadar ada di masing-masing orang. Agar bisa diterima dan mengaktualisasikan diri di sebuah lingkungan, hal pertama yang menjadi serupa syarat mutlak adalah kamu harus mengenal dengan baik lingkungan dan termasuk tetangga-tetangga di empat penjuru arah mata angin darimu, bukan? Soal kamu selanjutnya bisa akrab dan berinteraksi, saya pikir itu soal pilihan.

ada di mana kamu di peta ini, sayang? dan tahukah bahwa kamu adalah pusat? :)

Itulah mengapa situasi yang digambarkan di atas akan sedikit berbeda dengan biasanya kearifan lokal milik masyarakat adat, yang jauh dari pusat kekuasan ekonomi dan politik di kota. Pengetahuan geopolitik masyarakat adat yang juga hadir sebagai bawaan itu biasanya tercermin dari pemahaman mereka atas sejarah tempat mereka bermukim dan bagaimana mereka menyikapinya dengan perilaku sehari-hari.

Mereka tak paham geopolitik sebagai konsep akademik yang serius itu, tapi mereka paham dan serius soal bagaimana berinteraksi dengan saudara se ngata (kampung), tetangga, bagaimana memperlakukan tamu yang datang, memperlakukan tanah, sungai, hewan, tumbuhan, sebagai sebuah sistem yang saling berkait dan menjadi bagian dari keseharian. Sekalipun demikian, sayangnya nilai-nilai lokal di beberapa tempat itu juga banyak yang digerus oleh perubahan zaman, dan di tengah perubahan itu orang-orang terlihat gagap, termasuk pada orang-orang kota, pada urban.

Kesadaran atas pemahaman geopolitik adalah bagian dari literasi juga, kemampuan “membaca” kapasitas yang ada pada diri dan di sekitar keseharian diri itu, potensinya maupun kerentanannya.

Sebagai hewan politik (zoon politicon) membuat seorang tukang ojek yang cerdas secara geopolitik tentu saja paham, dimana dia harus mangkal dan membentuk konvensi bersama kolega sesama ojek untuk mendistribusikan rezeki pengguna jasa mereka, membentuk sebuah harmoni sosial baru yang seringkali tidak tertulis. Ibu rumah tangga paham, misalnya, secara letak, rumah tempat dia tinggal berada di kerentanan-kerentanan (bencana), jika terjadi sesuatu hal karena kerentanan-kerentanan itu, antisipasi sudah dipikirkan dan didiskusikannya dengan anggota keluarganya, sebagai upaya mengurangi risiko. Yang jual ikan paham jika urus apa-apa misalnya untuk urus pinjaman bank untuk usahanya karena harus ada legalisasi kependudukan, tahu harus kemana, misalnya ke kelurahan, syarat-syarat yang biasanya ditanyakan pegawai kelurahan dia punya dan siapkan: surat pengantar dari ketua rt, pajak bumi bangunan, dan seterusnya. Tiga dari mereka itu merasa punya hak ketika ada forum warga dilibatkan, memberikan pendapat, masukan, mengoreksi.       

Kalau sebuah kota kita posisikan sebagai diri, geopolitik akan membuat sebuah kota dituntut untuk memahami kapasitasnya, kemampuannya, kelemahannya, apa yang dia punya dan yang tidak dipunyai kota, agar dengan begitu kota menjadi bisa memahami kediriannya untuk tetap berkembang di tengah perubahan dan kenyataan bahwa ada diri-diri lain, kota-kota tetangga yang juga berbenah di tengah perubahan yang terjadi. Orang-orang  yang tinggal di kota itu adalah kesatuan geopolitik. Anggap saja ini duga-duga. Semakin tinggi tingkat kesadaran kritis geopolitik warga sebuah kota, akan berdampak pada semakin baik pula kota itu berkembang. Apa maksud kata “baik” itu? bagi saya, kota-kota akan menjadi lebih ramah dan humanis, dan bukan sebaliknya, sangar dan kasar, terlebih pada yang minoritas. 

Namun seiring itu, saya juga suka bertanya-tanya, ketika wilayah dengan batas-batas tegas, kota-kota memahami geopolitiknya dan  karenanya berkompetisi dalam biasanya rumusan visi sebagai yang terdepan, termaju dan ter ter lainnya, wilayah tertentu, kota-kota, kemudian menjadi tidak bersahabat dalam kompetisi. Ukuran-ukuran “paling” bla bla bla sebagai visi itu tak lagi berada dalam tujuan-tujuan bersama di luar dirinya, pada wilayah lain dalam konteks yang lebih besar (bangsa), dan dalam dirinya, pada warga Yang Lain (the others).

Kesadaran geopolitik bagi saya akan membuat orang menjadi lebih peduli pada tujuan-tujuan, kesepakatan bersama, kontrak sosial yang seringkali konvensional, tidak tertulis, kenapa harus berkomunitas, bermasyarakat, kenapa harus bernegara-bangsa, bahkan apa pentingnya sadar menjadi warga dunia, dengan misalnya, mengerti ada hubungan empati kemanusiaan antara seseorang yang tinggal di sebuah gang sempit di Kota Palu dengan seorang Rohingya yang sedang dalam kecemasan konflik sosial di Myanmar. Dan empati itu bisa berdampak. Geopolitik mempertanyakan semua soal-soal di atas dengan kritis.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengajukan soal perihal geopolitik dengan apa yang terjadi dan dekat dengan saya sekarang. Hari ini, Kota Palu sudah pecah menjadi 8 kecamatan, dari yang sebelumnya 4. Apa pesan geopolitik dari perubahan itu? ketika luas wilayah tak bertambah, membuat jumlah kelurahan di masing-masing kecamatan menjadi lebih sedikit?

Sedikit ilustrasi dari sana adalah, beberapa dari kita optimis bahwa pemekaran wilayah itu adalah kecakapan geopolitik, pemerintah menjadi lebih fokus mengorganisir urusan kependudukan dan sosial yang semakin dinamis. Namun bersamaan dengan optimisme itu kecemasan laten beriring. Hanya karena beda jembatan, batas kelurahan, sebuah harmoni sosial dengan mudah berubah jadi disharmoni. Saya tak ingin menjawab pertanyaan ini, karena kekahwatiran jawaban saya jadi penyeragaman. Saya mengembalikan pada khalayak pembaca yang budiman dimana posisi Saudara-Saudari sekalian dalam perubahan itu. Harapan saya hanya agar kita tidak menggeleng-gelengkan kepala saja. 

UNGKE DAN UMA


BERAS sudah, gula pernah. Sekarang ubi kayu. Indonesia mengimpor dalam jumlah ribuan ton singkong dari Cina dan Vietnam (kompas.com, 10/07/12). Kekagetan yang tak perlu sebenarnya, dan tak harus jadi bahan tulisan, apalagi dibicarakan. Impor yang artinya membeli komoditi dari luar negeri itu tentu tak sama artinya dengan ekspor yang sebaliknya, komoditi dalam negeri dibeli oleh luar negeri.

Saya ingin menyebut yang pertama itu Ungke atau uang keluar, dan yang kedua Uma atau uang masuk. Singkatan (akronim) Uma dan Ungke itu di sebagian lingkup pergaulan di Kota Palu sudah mulai digunakan sebagai ungkapan.

Sayangnya, dalam kasus Indonesia, Uma sebagai komoditi ekspor yang paling sering dibicarakan adalah manusia atau tenaga kerja, selain minyak dan gas (migas). Paling sering kita mendengar atau membaca di berita-berita media massa, ketika ada kasus terkait tenaga kerja di luar negeri, kalimat penegas berita selalau menyertai, sebagai penyumbang devisa terbesar negara.

Kekagetan-kekagetan itu  seolah mengajarkan kita secara perlahan-lahan pada perihal bahwa dunia hari ini sudah berubah. Kamu boleh tahu ada lagu legendaris Koes Plus yang judulnya Kolam Susu itu, yang orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Hari ini lagu itu tidak kontekstual. Kamu juga harus dengar lagu-lagu baru, genre-genre baru musik hari ini yang lirik-liriknya lebih penting merayu dan mendayu-dayu, atau yang musiknya bisa bikin kamu kerasukan (trance) dan dari situasi itu kamu beranggapan bahwa bangsa ini memang tak punya persoalan.

Apalagi filsafat macam gemah ripah loh jinawi itu. Masih relevankah hari ini spirit Jawa itu bagi petani-petani di tanah tempat spirit itu lahir? ketika petani-petani tembakau, garam, menghadapi kenyataan, khawatir suatu saat mereka tak lagi menanam tembakau karena undang-undang kesehatan, ladang-ladang garam berubah fungsi jadi pemukiman karena negara lebih memilih Ungke dari pada Uma. Masih lekat diingatan saya, sebuah kota, Toli-toli yang dikelilingi Cengkeh itu. Ketika jaya komoditi itu bikin petani-petaninya di sebagian Sulawesi Tengah dan Utara bisa menikmati liburan, jalan-jalan nikmati hasil panen. Dan nyatanya seakarang lebih mudah bertemu di pinggir jalan Apel, jeruk, dan buah-buahan lainnya yang impor, dari pada yang lokal.

Dalih lebih memilih Ungke dari pada Uma biasanya soal kebutuhan dan bukan karena untung rugi. Tapi benarkah hanya soal itu? ini dugaan saya, penjajahan hari ini tak harus dengan senjata, sekalipun pada saat-saat tertentu senjata dibutuhkan sebagai alat paksa. Ada yang salah dalam hal kebijakan. Dan kebijakan lebih sering diputuskan karena campur tangan yang tak kelihatan (invisible hand). Ambil contoh tentang kebijakan terhadap tembakau yang masuk lewat undang-undang kesehatan. Atau pada komoditi rotan. Kementerian perindustrian dan perdagangan melalui peraturannya nomor 35 tahun 2012 melarang ekspor rotan setengah jadi. Apa akibatnya bagi Sulawesi Tengah sebagai sala sentra yang melimpah produksi kayu rotannya itu? Propinsi itu hilang Uma dalam setahun Rp. 175 miliar! Karena kelebihan produksi itu tak bisa dikonversi jadi bernilai secara ekonomi (Mercusuar, 12/06/12). Di sisi yang lain mebel-mebel impor masuk dan merayu calon pembeli dalam negeri yang konsumtif karena tak kritis dan cenderung memilih barang karena status sosial.

Semoga ini tak terjadi pada Kakao, Kopra, Kopi, komoditi sexy Indonesia lainnya yang dibutuhkan lidah dan tubuh kita dan sebagian besar orang Eropa sebagai pasar pembeli, Ungke bagi Indonesia. Ini belum soal tambang yang merentang sejak Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote. Mulai dari tambang pasir dan batu untuk kebutuhan rumah tangga dan industri, hingga minyak, gas, dan batu-batu mulia yang harganya selangit. Jakarta mengatur Uma ke daerah-daerah dari tambang-tambang yang dibiayai pemodal asing itu dengan judul dana bagi hasil. Sudah rasa? Saya belum!

Selain karena kita sudah memproklamirkan diri sebagai bangsa berdaulat dan dunia mengakuinya, untungnya hari ini kita masih berdaulat karena punya kekayaan alam. Tapi benarkah kita benar-benar sudah berdaulat dan karenanya sejahtera atas semua soal di atas? Jawab saja sendiri!

AKSES


ANGGAP saja pengertian dari kata akses itu sebagai jalan masuk, atau makna lainnya sebagai kemampuan memasuki, mendapatkan, memiliki, suatu hal. Ada banyak hal yang menyamakan manusia. Juga ada banyak perbedaan dalam hal manusia. Satu dari sekian hal yang membedakan itu adalah akses, alat yang harusnya selalu dipakai sebagai ukuran adil (fair) tidaknya tindakan.  

Setiap orang mungkin bisa sama dalam banyak hal, memiliki bawaan kodrati sebagai manusia yang punya mata, kaki, pipi, dan seterusnya yang fisik itu. Perbedaan mulai nampak ketika yang tadinya sama sebagai manusia lalu tidak sama secara biologis. Ada lelaki, ada perempuan. Semakin ditarik pengertiannya ke ranah sosial, sebenarnya semakin beda manusia. Tapi penampakan perbedaan yang ditarik ke soal sosial itu tak semudah membedakan lelaki dan perempuan secara biologis. Di sinilah letak soalnya.

Misalnya sama dalam hal fisik manusia. Lalu bagaimana dengan yang cacat fisik atau kaum disable itu? Yang masih produktif bekerja dan memberikan kontribusi pada dirinya sendiri untuk aktualisasi dan tak jarang berguna bagi banyak orang. Ruang publik seringkali dibentuk untuk kebutuhan mayoritas. Beberapa ruang publik sekarang dituntut untuk membuat mereka yang disable tetap punya akses. Akses dipakai untuk soal ini. Tanpa itu, tentu tak adil.

Begitu pula pada gender, kelamin sosial itu. Stigma, cap, mitos, seringkali melekat dan dipakai untuk mendudukan soal-soal timpang yang sengaja atau tidak –karena hadir di alam bawah sadar dalam hubungan lelaki dan perempuan. Akses dapat dipakai untuk melihat dengan nyata soal-soal yang tak nampak dalam hal itu.

Setiap orang harus sehat, bersekolah, bekerja, liburan. Kata “harus” itu mengidealisasi realitas bahwa semua itu adalah hal-hal yang terberi (given) sebagai kebutuhan primer manusia. Seolah-olah tak ada soal dari pernyataan itu, dan bahwa setiap orang memang sama dalam konteks itu. Pertanyaanya kemudian,apa yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain dalam hal bahwa setiap orang harus sehat, sekolah, punya gaji, berakhir pekan? Lagi-lagi akses!

Bisakah seseorang bersaing di dunia kerja ketika dunia kerja secara kongkrit membedakan orang yang satu dengan orang yang lain dari titel pendidikan? Itu standar malah. Ketika titel sama, kompetisi mengerucut pada kebutuhan dunia kerja atas pengalaman, kemampuan teknologi informasi, bahasa, dan bla bla bla. Saya membayangkan banyak orang yang jangankan terpenuhi bla bla blanya, yang standar, yang dasar, bisa duduk di bangku sekolah saja sudah lumayan, banyak yang bahkan putus sekolah atau terancam karena soal akses yang tak punya.

Di ranah seni budaya ceritanya bisa demikian, kamu boleh sama secara musikal bisa berkreasi, menyanyi atau memainkan alat musik dengan baik, tapi apakah kamu sama dalam soal akses untuk jadi sebenar-benarnya penyanyi, artis musik? Musisi yang satu kadang lebih baik dalam banyak hal, utamanya penghasilan, karena punya akses pada pergaulan sosialita dan media massa, sedang musisi yang lain tidak. Perihal berkesenian yang lain pun sama ceritanya. Sekalipun antara percaya dan absurd, khusus seni, saya meyakini kumbang selalu datang pada kembang, dan bukan sebaliknya.
  
Saya tak ingin berwacana panjang soal persamaan dan perbedaan juga akses yang seolah menjadi jembatan di antara keduanya. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan pada diri saya sendiri yang kadang luput pada situasi-situasi yang membuat rasanya tak ada soal dalam relasi sosial itu, padahal problem tersebut laten. Satu hal yang pasti dan masih saya yakini adalah Indonesia tentu bukan Amerika atau Eropa yang usia praktik liberalismenya sudah sangat tua, ketika semua hal diserahkan pada mekanisme pasar. Founding fathers kita menegasi (baca mengingkari) praktik itu, yang sayangnya tak begitu sexy lagi hari ini untuk dibicarakan. 

Akhirnya, siapa pemegang garansi akses ini? Tak lain dan tak bukan adalah negara. Di daerah negara ini mewujud dalam apa yang dikenal sebagai pemerintah daerah. Contoh-contoh nyata yang dapat kita lihat, jika kita memang benar ingin melihat, adalah akses kaum papa, the others, yang lain tapi banyak ini, pada banyak soal: orangtua-orangtua yang resah karena pungutan sekolah, pelayanan setengah hati jaminan kesehatan, lapangan kerja yang kompetitif, akses mendapatkan layanan hukum ketika bermasalah, hingga ruang publik untuk berwisata dan berusaha. Tentu saja negara abai jika dengan kewenangannya sebagai agen yang dibentuk dari kontrak publik yang digaji dari uang pajak yang dibayarkan publik itu, kemudian tak mengintervensi soal-soal itu dan malah menghadapkan yang satu yang tak punya akses dengan yang lainnya yang punya.  

Kaya miskin pun seperti hukum alam. Tapi negara tak boleh absen, kan?  

Tahukah anda, anjing atau kucing saja punya kelas sosial. Yang kudisan hidup di jalan, yang impor atau peranakan hidup di kandang.

GRATIS TIS TIS TIS…


SEBAGIAN dari kita hidup dalam kecemasan-kecemasan yang entah ketika membicarakan perihal kesehatan dan pendidikan. Saya adalah bagian dari kita itu.

Sebagai orangtua, saya mungkin tak begitu mempersoalkan sejumlah angka rupiah yang disampaikan oleh sekolah untuk membayar ini-itu ketika anak saya akan masuk sekolah dasar atau ketika sudah jadi murid di sekolah itu. Apalagi ketika misalnya, saya memilih sekolah yang bukan negeri alias swasta. Saya membayangkan yang papa, sekalipun saya juga tak kaya.

Apa yang terjadi di masa yang akan datang pada pendidikan dan kesehatan? pada biaya untuk mengakses dua soal itu? ketika nilai uang pemaknaannya pada barang dan jasa berubah dari waktu ke waktu.

Di hadapan dokter praktik atau meja kasir apotik, kadang saya merasa berada di situasi antara ikhlas dan kritis ketika sejumlah angka rupiah disebutkan untuk menebus jasa dokter atau obat. Ikhlas, ada kepercayaan konvensional bahwa segala sesuatu harus selalu baik sejak niat. Dan ikhlas adalah pengejawentahan niat baik itu, selain tentu saja kekhawatiran pada penyakit yang niscaya terberi (given) pada manusia, dan pengetahuan bahwa tak mudah dan tak murah jadi seorang dokter.

Kritis, karena harusnya layanan yang terjangkau saya dapatkan dari layanan milik negara sejak posyandu, puskesmas, rumah sakit.

Setiap orang ingin mendapatkan layanan yang baik, layak, tepercaya, pada dua soal diatas, pendidikan dan kesehatan. Masih terngiang-ngiang di telinga pesan heroik orangtua yang siap banting tulang untuk sekolah anak-anaknya, dan ketika anak-anak mereka sakit. Di media massa tak sedikit cerita inspiratif bagaimana orangtua, dan anak-anak, yang penuh militansi untuk memenuhi kebutuhan sebagai hak dasarnya pada pengetahuan dan kesehatan. Juga dokter, bidan, guru, yang penuh dedikasi pada kemanusiaan melayani dengan tulus ikhlas bekerja di tengah sibuk kota, di pedalaman-pedalaman, dan wilayah-wilayah pesisir. Indonesia yang berpengharapan, yang masih punya masa depan, sekecil apapun bentuk militansi dan dedikasi orang-orang itu.

Negara memang punya bantuan operasional sekolah untuk murid, punya jaminan dan asuransi kesehatan sebagai kebijakan sejak tingkat daerah hingga nasional. Harapannya, uang dari pajak yang dibayarkan rakyat yang kebanyakan menengah dan papa itu berdampak nyata pada pendidikan dan kesehatan yang gratis atau tidak dipungut bayaran, cuma-cuma, seperti definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Bangunan sekolah dan kampus dirancang bagus, begitu juga tempat-tempat praktik kesehatan. Alat kesehatan dan alat peraga pendidikan tak dikorupsi. Tenaga-tenaga pengajar dan kesehatan diberikan penghargaan yang harapannya sebanding dengan beban kerja dan dibayarkannya tidak lambat. Guru-guru dan dosen di sertifikasi dan dinaikkan gaji, tunjangan bagi dokter dan tenaga operasional kesehatan layak.

Kenyataanya sekolah memang tetap bayar, dengan tidak jarang menggunakan metode kekerasan, layanan kesehatan kurang bahkan seringkali tidak memuaskan. Dua perihal itu seperti sedang menuju orientasi yang beda-beda tipis: bisnis. Dalam sebuah kesempatan, saya mengalami berhadapan dengan dokter yang sama di dua ruang berbeda, ruang praktik pribadi dan ruang praktik rumah sakit. Dua kesan pelayanan yang yang juga berbeda. Yang satu baik, yang satunya lagi buruk, oleh dokter yang sama.

Di sebuah kesempatan yang lain saya kadang malah heran dan bertanya-tanya sendiri, mungkin karena apa-apa selalu bayar, kenapa tak ada bayaran bulanan (spp) untuk anak saya yang sekolah dasar itu, seperti saya dulu. Kali yang lain di puskesmas, pelayanan pendaftaran (registrasi) kesehatan lumayan cepat, dengan bayaran relatif murah berdasarkan peraturan daerah berapa rupiah untuk setiap tindakan pengobatan dari dokter. Keluar ruang praktik tak ada lagi bayaran yang sudah dilakukan saat registrasi. Biaya sudah sudah termasuk konsultasi dan tindakan dokter, juga obat.

Tapi ternyata tak semua penyakit dan obatnya digaransi layanannya oleh negara. Juga tak semua proses kegiatan belajar dan alat penunjang pendidikan disubsidi negara. Tanya kenapa?! Sebuah tagline terkenal sebuah iklan rokok seolah pas untuk menyikapi keadaan itu.

Jaminan kesehatan Sulawesi Tengah yang di tahun 2012 ini dianggarkan sebanyak 1,6 miliar sudah habis padahal ini baru pertengahan tahun (Juni), dan malah  minus 138 juta (Mercusuar, 27/6). Itu bagi warga umum. Yang pegawai negeri juga ada asuransi kesehatan. Setiap bulan gaji mengalami pemotongan, berobat atau tidak berobat.

Beberapa penyakit tak biasa dan seringkali mematikan malah tak bisa ditangani di Kota Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Atas cerita ini, saya teringat anak kawan saya yang mengidap Leukemia dan harus dirujuk ke rumah sakit di daerah tetangga Makassar, Sulawesi Selatan. Tiga bulan di rawat disana, anak kawan saya yang masih kecil itu akhirnya dipanggil Sang Maha Kuasa. Kemudian saya membayangkan pada apa yang terjadi di kabupaten-kabupaten, di desa-desa terpencil, layanan kesehatan dan pendidikannya.

Bayangan itu juga ada pada apa yang seringkali dikeluhkan banyak kelas menegah, termasuk pegawai negeri dengan askesnya itu. Banyak cerita soal tak sebandingnya take and give, antara hak dan kewajiban dalam soal yang melayani dan yang dilayani.

Sebagai hak dasar yang senantiasa dibutuhkan, dua hal ini kemudian menjadi begitu sexy sebagai komoditi sejak politik, digadang-gadang sebagai janji, hingga bisnis farmasi. Saya mafhum. Apa yang tak jadi komoditi hari ini? Juga bahwa dua isu itu jadi kebutuhan primer manusia, selain kebutuhan makan, minum, dan seksual.

Tapi harapan harusnya tak berhenti sebatas mafhum, bukan? Harapan ini dibangun oleh negara lewat pemerintah daerah. Kepala-kepala daerah harus berkomitmen penuh bahwa alokasi anggaran daerahnya memprioritaskan soal-soal itu. Daerah-daerah memang sudah melakukannya dengan indikasi nyata, anggaran dua sektor vital pembangunan manusia itu sudah lebih besar dari sektor lainnya, terkecuali gaji pegawai negeri yang dimana-mana menyerap anggaran daerah diatas 50 persen.

Dan kita tak berhenti juga pada keyakinan setelah secara kuantitas dua sektor itu anggarannya meningkat, apakah itu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas, mutu layanan keduanya, dan yang jauh lebih penting, garansi bahwa tak ada orangtua yang cemas anaknya tak bisa bersekolah atau ketika ada anggota keluarganya yang sakit akhirnya hanya berpasrah pada keadaan karena tak bisa mengakses dokter ahli dan obat yang harganya mahal.

Terhadap strategi lain di bidang pendidikan dengan misalnya pemberian beasiswa pada anak didik tentu saja baik. Tapi strategi itu harus sangat dicermati peruntukannya benar-benar jatuh pada anak-anak yang tidak saja berprestasi secara akademik, tapi juga karena seorang anak didik miskin.

Kebutuhan sekunder manusia yang terpenuhi adalah cerminan bahwa kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang primer digaransi. Iwan Fals pernah menulis lagu berjudul Libur Kecil Kaum Kusam yang gambarkan realitas itu, bahwa liburan tak hanya milik yang berpunya. Ketika dua kebutuhan layanan dasar itu –pendidikan dan kesehatan terpenuhi, itu akan menjadi upaya agar dampak dari deret permasalahan berbangsa semoga jadi tak semakin panjang. Apa misalnya? Kebutuhan lain yang sekarang ini sudah mengarah ke prioritas setiap orang di republik ini: rasa aman dan rasa keadilan dari para penegak hukum.

Ya, kencing saja bayar kok!

Monday, October 1, 2012

GOT

Got depan kantor BRI, jalan WR. Monginsidi

SATU hal yang paling tidak menarik dari kota ini (Palu) selain sampah adalah got, selokan di sisi-sisi jalan.

Saat ini tak perlu menunggu hujan datang. Air-air buangan dari rumah, toko, kantor, yang harusnya mengalir di got dan akan bermuara ke sungai dan akhirnya laut, sekarang lebih banyak mengalir ke bahu jalan, membuat genangan, dan akhirnya sudah bisa dipastikan akan merusak jalan.

Got-got mampet dengan bau tak sedap. Penyakit mengancam. Jalan-jalan rusak. Dan kita merasa tak ada yang aneh dari sana.

Mengutip filsuf Heraklitos, Phanta Rhei, tentang mengalir seperti air dan tak ada yang statis, pun got seperti itulah adanya, air senantiasa mencari permukaan yang lebih rendah dan senantiasa bergerak sesuai massa air. Apa yang terjadi dengan got-got di banyak jalan-jalan di Kota Palu? Yang khas dan yang langsung terlihat dari sana adalah got-got yang tertutup permanen oleh cor semen. Got-got dibuatkan atapnya, tak dibuat buka tutup untuk kebutuhan membersihkan got itu suatu saat.

Di kawasan-kawasan sibuk kendaraan, got-got tertutup rapat tak kelihatan. Soalnya kemudian, tak hanya air yang menghuni got. Sampah-sampah padat juga ada di sana dan berakumulasi, hingga pada saat-saat tertentu menutup jalur got. Dan Phanta Rei, air luber ke sisi lain yang bisa dia lewati, jalan.

Sebagai contoh, lihat saja sepanjang jalan Haji Hayyun lalu Ki Maja. Yang lain yang lagi dikeluhkan banyak orang, di sepanjang jalan SIS Aljufri. Ada jalan yang malah sepertinya sudah dimaklumi saja punya fungsi ganda, tak hanya sebagai jalan, tapi juga sekalian got. Untuk ini, mari kita tengok satu bagian di jalan Mangunsarkoro.

Got depan kantor Kelurahan Ujuna

Kalau kota adalah sebuah sistem, saya meyakini satu sub sistem penting untuk mendukung kota sebagai sistem itu adalah got, selain tentu saja warga yang tinggal atau berusaha dan di tempat tinggal atau usahanya itu ada got, dan negara (pemerintah daerah). Melalui tulisan ini, saya ingin bertanya, dimana dinas-dinas terkait yang mengurusi teknis got ini. Di mana tata ruang, di mana pekerjaan umum, di mana lurah, di mana camat. Di mana pula warga.

Ini belum soal koordinasi mengurusi got. Ada kawan yang pernah bercerita pada saya. Di satu bilangan jalan, got bisa dikerjakan oleh lebih dari satu instansi lintas kepentingan sejak administrasi hingga bisnis. Apa yang terjadi? Perencanaannya sepotong-sepotong, tak seiring sejalan. Arus air got pun mengikuti perencanaan birokrasi dan kontraktor.  

Sudahlah, sudah banyak got yang ditutup permanen. Buat  saya sekarang yang terpenting adalah kewibawaan birokrasi untuk tegas membongkar atap permanen got, dan kesadaran tingkat tinggi warga untuk tak menutup gotnya secara permanen. Tutup bisa untuk kebutuhan akses, misalnya. Tapi tidak ditutup permanen. Titik.

Sudah ditutup, tak dibersihkan pula. Saya sering lihat ada orang-orang terpidana dari lembaga pemasyarakatan yang turun ke jalan-jalan bekerja sambil diawasi sipirnya untuk membersihkan trotoar (pedestrian) termasuk got. Situasi yang benar-benar aneh menurut saya. Dimana orang-orang yang tinggal dan berusaha yang trotoar dan gotnya dibersihkan itu? Pegawai negeri juga pernah saya lihat melakukan seperti itu dalam apa yang disebut sebagai kerja bakti. Aneh!    

Sampah dari got yang luber ke jalan Pue Bongo - Sis Aldjufri, beberapa waktu yang lalu

Tapi satu hal yang paling menarik dari kota ini (Palu) adalah tantangan bagi kita semua untuk memperlakukan got di tempat kita tinggal, bekerja, berusaha, dengan baik. Semoga!

BAKAR BUKU


SAYA belum baca buku terjemahan Douglas Wilson yang berjudul 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia yang dibakar (13/6) oleh penerbitnya sendiri itu, Gramedia.

Awalnya bermula dari surat pembaca yang dikirimkan ke salah satu harian nasional (Republika). Syahruddin, warga Depok yang mengirimkan surat pembaca itu menyebut salah satu halaman pada bab di buku itu yang bercerita tentang Nabi Muhammad, informasinya menyesatkan. FPI (Front Pembela Islam) dan lalu MUI (Majelis Ulama Indonesia) selanjutnya meminta penerbit untuk memusnahkan buku tersebut.

criticsatlarge.ca

Pemusnahan buku dipilih dengan cara dibakar. Di hadapan insan pers di halaman gedung milik grup Gramedia, Bentara Budaya Jakarta, buku yang dicetak 3000 eksemplar itu ditaruh dalam tong-tong kosong kemudian dibakar. Selanjutnya permasalahan jadi kompleks dan polemik terjadi di media-media sosial.

Saya belum baca buku yang dibakar itu, termasuk membaca utuh keberatan yang dilayangkan melalui surat pembaca itu. Tapi sedikitnya saya tahu substansi kenapa buku itu kontroversi. Saya ragu dan untuk itu keberatan dengan kebenaran (premis) yang dibangun dan kemudian ditulis Douglas Wilson tentang sosok Nabi Muhammad. Syahruddin lebih dulu membaca tulisan itu dari saya. Artinya, kalau saja saya membacanya duluan, saya akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Syahruddin, melakukan kritik pembacaan dan melayangkan surat pembaca untuk dipublikasikan.

Di sisi yang lain, saya menyayangkan sikap penerbit Gramedia perihal seleksi pada naskah-naskah terbitan. Sebagai penerbit dengan kiprah panjang, Gramedia tentu punya mekanisme soal itu, apalagi ketika sebuah naskah menjadi sangat sensitif pada isu SARA, dan juga terlebih lagi pada soal yang akhirnya kemudian paling saya sesalkan, membakarnya.

Membakar buku buat saya harusnya dibaca tak sekadar sebagai kegiatan, sebuah kata kerja. Membakar buku adalah simbol. Sama seperti motor atau rumah yang dibakar massa sebagai penanda bagi sebuah situasi yang rusuh, chaos sosial.

Buku sebagai jendela dunia adalah juga simbol bagi peradaban dan kemanusiaan. Pada buku pikiran-pikiran manusia didedahkan. Tak jarang, buku-buku lain hadir untuk memperkaya pikiran-pikiran yang sudah ada atau malah bahkan menantang dan menentangnya. Kehidupan dinamis di ranah literasi yang sehat dan mencerahkan harus terus ditumbuhkan. Ketika sebuah tulisan tak sesuai dengan apa yang kita harapkan, tuliskan hal baru untuk mendekonstruksi secara kritis tulisan sebelumnya. Juga tentu saja menulis realitas yang menurut kita timpang.  

Realitas sosial yang timpang dan keberaksaraan yang tak dipandang memang lebih cenderung memilih lisan dan menegaskan keberlisanan itu dengan tindakan, yang tidak jarang dengan cara-cara kekerasan.

Peradaban hari ini dibentuk oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh temuan-temuan yang dipublikasikan. Catatan-catatan lama yang dibukukan itu sangat mempengaruhi atas apa-apa yang terjadi hari ini. Saya meyakini satu hal, tingkat keberadaban manusia akan ditentukan oleh situasi ketika literasi sebuah masyarakat baik dan bahwa literasi kemudian dianggap memanusiakan manusia.   

Akhirnya memang ada banyak buku yang diterbitkan. Tapi tentu tak semua buku bagus dan mencerahkan. Ketidaksukaan kita pada buku yang isinya buruk tidak lantas membuat kita mengambil kesimpulan tindakan, memusnahkannya dengan cara membakar.

Dan saya ingin menutup tulisan ini sambil mendengarkan sebuah lagu dari band Efek Rumah Kaca yang berjudul Jangan Bakar Buku.


PALU DI KALIMANTAN?


SAYA yakin sebagian dari kita pernah mengalami peristiwa mengkonsumsi berita di media massa, baik cetak maupun elektronik, yang salah menulis atau menyebut Palu –paling sering di Sulawesi Tenggara, mungkin karena penyebutan tengah dan tenggara secara auditif terasa dekat, atau seperti judul di atas, di Kalimantan (Suara Pembaruan,10/5/2012, Festival Film Solo, Munculnya Sineas Muda dari Daerah).

Media-media massa yang seringkali salah itu adalah media-media massa yang terbit atau siaran di Jakarta. Dan tanggapan kita bisa beraneka. Saya suka bertanya pada diri saya sendiri, apakah waktu sekolah sebagian orang lain dapat pelajaran geografi, dan sebagian yang lain tidak? Atau apakah jurnalisme kita memang suka luput pada soal-soal akurasi dan ricek data? Atau apakah Palu, kota tempat saya tinggal memang tak dikenal di luar?

Zaman saya kuliah di Bandung, sebagian besar kawan saya mengenal Sulawesi itu isinya Makassar, Toraja, Manado. Setelah paham, pertanyaan lanjutannya biasanya begini, “dari Poso jauh ndak?”

Saya menduga, kota-kota tetangga yang terakhir saya sebut dikenal karena wisata, sejarah, laku budaya. Beberapa produk kesenian populer yang ditandai oleh bahasa untuk kepentingan menampilkan sisi lain Indonesia pun menegaskan itu. Untuk menyebut salah satunya adalah anda tentu masih ingat iklan layanan masyarakat untuk pemilihan umum 2004 karya Garin Nugroho yang “inga-inga” khas Manado itu.

Percakapan-percakapan di sinetron atau reality show juga menghadirkan sosok dengan logat-logat kental Makassar, atau Sunda, atau Madura,, atau Medan, Padang, atau Ambon, atau Papua. Sekalipun sayangnya seringkali hanya jadi objek jenaka yang seringkali pula tak mencerahkan.

Pada cerita zaman saya kuliah mengenal Palu dengan penanda Poso, asumsi saya menguat pada soal bahwa persepsi konflik jauh lebih tampil di permukaan dibanding isu positif lainnya yang harus dikabarkan.

Buat saya ini soal persepsi. Dalam konteks personal, serupa rasa ingin tahu pandangan orang lain atas kita, saya. Tentu saja kita ingin persepsi orang lain atas kita positif. Pun ketika kita menarik konteks ini pada skala ruang yang lebih besar, kota. Sebagai warga Palu, tentu saya ingin tahu persepsi atas kota tempat saya tinggal ini dari media massa, dari kawan-kawan di luar kota di Indonesia bahkan kawan-kawan pribumi dan non pribumi yang bisa dihitung . Kita ingin tahu persepsi atas kota ini oleh Jakarta, oleh elit politik dan elit bisnis ibukota.

Soal persepsi itu penting rasanya benar. Tapi seberapa penting persepsi itu buat saya, itulah yang tidak saya ketahui dengan pasti. Malah saya pikir tak penting-penting amat. Jauh lebih penting menyiapkan diri sebagai orang baik, warga kota yang baik, dan tetap membangun harapan, pemerintah yang mengurusi kota ini juga berusaha untuk menyiapkan diri menjadi lebih baik. Beberapa kawan lain di luar Palu, di kota dan desa lain di luar sana saya yakin juga tak merasa persepsi atas mereka penting-penting amat.    

Saya yakin tak ada niat sengaja ingin salah dalam menyaji berita. Tapi ada yang bisa didiskusikan dari sana, tentang alam bawah sadar kita berbangsa.

Postingan Sebelumnya..