Sunday, December 7, 2014

Aku, Dua Anak Perempuanku, dan Penjelasan-penjelasan yang Tidak Selesai

AKU mau, kelak, anak-anak perempuanku tumbuh sebagai anak-anak perempuan yang cantik dan cerdik.

Kata cerdik kupilih sebagai sesuatu yang menurutku unik. Kata cerdik seolah menegaskan sisi cantik dalam diri perempuan sebagai kemampuan membaca, memahami situasi tentang kedirian mereka, tubuh mereka, dan yang berada di luar itu semua. Wajah peradaban hari ini begitu maskulin, lelaki, patriarki. Pelakunya tak hanya lelaki. Perempuan yang menjadi korban dari situasi yang patriarki ini tak jarang menjadi yang melanggengkan, melegitimasi.

Aku membayangkan itu semua. Semacam kecemasan dari bayanganku sendiri sebagai mahluk lelaki melihat apa yang terjadi sehari-hari.

Dua anak perempuanku yang masih kecil-kecil itu bertanya tentang penamaan-penamaan itu, terlebih pada kata-kata yang di telinga mereka terdengar asing, baru. Dan ini adalah yang paling sulit. Anak-anak kecil tidak butuh definisi. Yang dibutuhkan anak-anak kecil adalah penjelasan yang bisa mereka rasa dari melihat dan mendengar tanpa perlu berimajinasi. Apa yang mesti aku jelaskan pada mereka untuk menerangkan arti patriarki.

Aku ingin, kelak, anak-anak perempuanku bisa berkeliling dunia, melihat apa yang terjadi di luar sana, merasakannya, menemukan hal-hal baru yang beragam itu dan memahaminya sebagai kenyataan.

Serupa burung di lagu Nelly Furtado itu (I'm Like a Bird, 2000), terbang jauh, kadang sendiri, kadang beramai-ramai, hinggap kemana saja tempat nyaman yang dia suka, bermigrasi, menjadikan tubuh adalah rumah, tempat pulang dan mesti dilindungi. Mereka pernah bercerita soal ini kepadaku dan bercita-cita atas cerita mereka itu. Keliling dunia. Naik pesawat, kereta, bus, kapal, dan semua moda transportasi yang mereka pelajari dari buku ajar di sekolah. Pindah dari satu kota di satu negara ke kota berikutnya di negara yang lain.

Aku bilang kepada mereka harus pandai agar bisa mewujudkannya. Tentang pandai seperti apa yang harus mereka capai, adalah yang dihargai dalam banyak bentuk. Tak puas, mereka bertanya lagi, bisakah tanpa mesti pandai? Lama aku diam menghadapi pertanyaan yang terasa sederhana itu dan akhirnya memang tidak bisa aku jawab. Aku malah menambahkan, pandai dibutuhkan perempuan agar tak dibodohi lelaki. Dua anak perempuanku itu hanya bersitatap dan lalu tertawa.

Untungnya aku tidak ditanya oleh mereka berdua, apakah lelaki memang suka membodohi. Aku malah ingin menambahkan, menguasai. Pada kata yang terakhir itu, biarlah nanti ketika mereka beranjak dewasa dan membaca tulisan di blog ayah mereka ini. Mereka memanggilku “ce” dari pace yang artinya ayah. Soal panggilan itu, aku juga ingin agar mereka tahu kelak, dalam bahasa latin, kata itu –ditulis che, adalah bermakna kawan.

Entah dibutuhkan atau tidak, dalam keadaan dikuasai, siapa pun bisa licik, makna lain cerdik.


Monday, August 25, 2014

Bioskop Palu: Dulu dan Sekarang

Catatan pengantar German Cinema 2014 di Palu

BIOSKOP di Palu mati ketika abad berganti. Milenium. Itu jika penanda akhirnya adalah Palu Studio, bangunan dengan tiga studio berkapasitas masing-masing 222 tempat duduk itu. Bioskop yang sebenarnya berjejaring dengan grup 21 dalam soal distribusi film itu hanya bertahan 9 tahun, sejak beroperasi bulan Agustus 1991.


Jauh sebelum Palu Studio, Kota Palu telah punya sejarah panjang bioskop. Sebuah foto milik Tropenmuseum  Belanda menyebut sebuah bioskop di Paloe bernama Elite, bertitimangsa 1920. Elite menjadi cikal-bakal bioskop di Palu yang timbul tenggelam dengan beragam nama: Fujiyama, Istana, Karya, Surya.  Gedung Manggala milik TNI/AD dulu ABRI yang hari ini telah berubah fungsi menjadi gedung serbaguna untuk acara pernikahan dan konser musik, di era 80an adalah gedung bioskop yang ditata amphiteater. Di era ketika Soeharto masih berkuasa, gedung itu telah jadi saksi pemutaran rutin tahunan setiap akhir bulan September film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Sutradara Arifin C. Noer, dan saksi bagi baik buruknya nilai murid untuk pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di sekolah dasar.

Gedung Manggala Cakti, 1971
Itu belum Kota Donggala dan di sepanjang Pantai Barat di kabupaten itu yang dahulunya juga punya sejarah yang tak kalah panjangnya perihal bioskop. Terlebih Banawa, ibukota Donggala yang dahulunya ramai oleh sibuk pelabuhan. Donggala tentu lebih panjang kisah dinamika sosialnya dari Palu yang menjadi salah satu kecamatannya, sebelum pada akhirnya mekar menjadi kota administratif di rentang antara tahun 1974 hingga 1978.

Di Tanjung Padang, Sirenja, kampung Sineas Yusuf Radjamuda melewati masa kecilnya, sebuah bioskop telah ikut memberi pengaruh besar pada sejarah sosial kampung. Film-film produksi Bollywood yang diputar di sana telah menjadikan beberapa nama kawan sebayanya diberi nama orang tua mereka, nama-nama yang identik India. Kumar, untuk menyebut salah satunya.

Dalam sebuah wawancara dengan pengelola bioskop Palu Studio yang tidak ingin disebutkan namanya, sebuah gambaran bisnis bioskop diterangkan. Agar bisa bertahan, menurutnya, investasi saham mesti fifty-fifty agar sama-sama merasa memiliki bisnis yang dijalani. Nama Palu Studio itu lahir karena besar saham lebih dimiliki investor lokal. Saham sisanya hanya jaringan distribusi film dan promosi. Masa itu pita film-film box office dijadwalkan. Terminator 1 yang booming, sold out selama 1 minggu pemutaran di dua studio. Tapi jadwal hanya seminggu, padahal animo penonton masih besar. Film Indonesia mati suri. Produksi film nasional masa itu hanya hantu-hantu sexy. Sayangnya kebangkitan film nasional pasca Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000) dan Ada Apa Dengan Cinta (Rudi Soedjarwo, 2002) tak bisa bikin Palu Studio kembali buka layar. Film-film sebelum Palu Studio gulung layar adalah film-film mandarin. Di waktu yang bersamaan, peminjaman film dan film-film bajakan marak di pinggir jalan dalam bentuk cakram.

Hari ini Kota Palu memang tak lagi punya gedung bioskop. Jika pun ada pemutaran-pemutaran film, yang lebih sering ilegal karena tak dapat restu rumah produksi, didorong oleh beragam motif: bisnis, semangat mengapresiasi, atau kombinasi dari dua hal itu. Pilihan tempatnya hanya di gedung pertunjukan Taman Budaya atau di Madamba Pura punya RRI.

Untungnya kota ini punya bioskop dalam arti yang lain, yang menjelma menjadi apa saja yang berbau bioskop: memutar film, mendiskusikannya, berjejaring dengan komunitas seminat di luar kota, mencatat gejala yang timbul olehnya, mengajak warga kota untuk tak sekadar mengapresiasi film sebagai hiburan belaka, tetapi juga refleksi bersama bagi interaksi di antara sesama mereka yang menonton film, bahkan menjadi tempat memberi stimulus dan tantangan buat beberapa yang sering terlibat untuk melahirkan karya serupa: film. Mereka menamakan keisengan itu sebagai Bioskop Jumat yang awalnya bersepakat untuk punya ritus bersama di setiap jumat malam untuk menonton. Lalu tak lagi hari jumat dan menjadikan setiap malam bisa menjadi bioskop.

Tidak seperti ibukota propinsi lainnya di pulau Sulawesi macam Makassar, Manado, Kendari, atau Gorontalo yang baru saja buka bioskop pada Mei 2014 lalu, hari ini Palu tak lagi punya bioskop. Pertimbangan bisnis rasanya menjadi yang utama dalam soal itu. Mungkin berkaitan dengan jumlah penduduk atau daya beli dari jumlah itu terhadap hiburan khususnya menonton film di bioskop. Hal yang sama berlaku juga dengan bisnis lain macam toko buku berjejaring, waralaba, franchise.


Tetapi untungnya ada Bioskop Jumat yang mulai besok (26/8) kembali bekerjasama dengan lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institut, untuk kali kedua setelah tahun 2013 lalu, akan memutar film-film terbaik Jerman selama 3 hari di gedung auditorium Madamba Pura RRI setiap jam 14.00, 16.00, dan 19.30. Kerinduan pada suasana bioskop yang gelap dan dingin akan coba kembali disuguhkan untuk menyegarkan kenangan mereka yang pernah merasakan. Mari datang menonton dan mengapresiasi film. Gratis!

Tantangan terbesar Bioskop Jumat adalah nyamuk, yang seringkali jadi penonton lain di manapun pemutaran film yang mereka lakukan.


Sumber:
- Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Anhar Gonggong dkk, 2005, Palu.
- Tropenmuseum
- Slide foto Aziz Larekeng (alm)
- http://shw.affando.fotopages.com/6164858/Palu-Studio21.html 

Sunday, May 11, 2014

Risma, Taman Kota, Kita

PANTAS saja kalau Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berang. Taman Bungkul, salah satu taman di kotanya itu rusak parah pasca acara bagi-bagi es krim. Risma sadar betul fungsi taman kota yang membanggakan itu harus dijaga sebagai ruang publik dan penyeimbang ekologis kota. Saya pernah merasakan taman itu (10/10/2013), mengabadikan beberapa sisinya.










Peristiwa Risma marah itu, tentu menjadi refleksi bagi saya –harapannya kita, yang tinggal di Palu, kota gersang, berdebu, dengan banyak ruang terbuka yang sayangnya belum semuanya hijau. Beberapa titik di ruang terbuka itu telah menjadi taman, dan sayangnya tak begitu menjadi perhatian banyak kalangan. Ini tentang perawatan taman yang berkelanjutan. Terlebih jika di ruang-ruang terbuka itu dilaksanakan semacam perhelatan. Yang tersisa kemudian adalah sampah berserakan.

Berikut adalah ruang terbuka hijau (taman) di Kota Palu.
1. Taman dan lapangan Vatulemo
2. Taman Bundaran Nasional
3. Taman Datokarama
4. Anjungan Talise/Besbar
5. Taman di sisi timur dan selatan Jembatan Palu 4
6. Taman di simpang jalan Palola, Bantilan, dan Pasoso
7. Taman Gor


Pemandangan di Anjungan Talise (Besusu Barat)

Friday, May 9, 2014

24 Jam Bersama Pallo

“SAYA mau main bass lagi,” katanya. Itu menjadi hal pertama yang saya syukuri hari itu (28/04). Laptop dia buka, headphone dia pasangkan ke telinga saya, dan delapan lagu yang baru direkamnya mengalun perlahan. Lagu-lagu dengan tempo yang tidak begitu cepat, tetapi juga tidak lambat. Jam 11 malam. Gerimis di Pejaten yang juga perlahan.   

Mei 2014 mungkin akan menjadi lembaran baru bagi karir bermusik Mohamad Rival Himran. Himran nama marga bapaknya, Man, yang begitu cepat meninggalkannya saat dia masih kecil. Seketika dia memikirkan suatu saat figur yang selalu dia rindukan itu hadir dalam proses kreatifnya. Entah kapan.

Tidak banyak yang tahu namanya Rival. Banyak yang tahu namanya Palo (ditulis Pallo), memanggilnya begitu. Tidak banyak juga yang tahu Palo dalam bahasa suku Kaili di Sulawesi Tengah artinya pantat.

Baru bukan hanya karena ada lagu-lagu baru, tetapi juga formasi baru. Album baru ini berjudul Wortel dan Brokoli. Terinspirasi dari dua anaknya yang sepasang, Rayyan dan Shesya, yang masing-masing dari mereka suka dua sayuran itu.

Dikonsep dari awal sebagai duo reggae dengan Rival sebagai former, rasa baru Pallo karena duet baru Rival, Agy Sheila. Dua album sebelumnya, Rival berduet dengan Lesa. Agy, kata Rival bukan orang baru dalam proses Pallo berkarya.

Setahun yang lalu, 26 Mei 2013, Pallo meluncurkan album Pasti Indah Santai Saja (PISS) di kampung halamannya, Palu. Tak tanggung-tanggung, acara bertajuk Reggaeducation itu dihadiri kolega-koleganya, Tony Q’ Rastafara, Ariyo Wahab (FOS Nation), dan wartawan majalah Rolling Stone, Wendy Putranto. Tanpa persiapan yang matang, pelaksanaan acara saat itu tak meninggalkan banyak cerita mengesankan kecuali catatan: kemampuan manajemen internal band dan faktor eksternal mengelola komunitas, khususnya reggae, termasuk strategi pencitraan media.

“Saya belajar dari proses-proses yang sudah lewat.” Itu menjadi hal kedua yang saya syukuri.       

Sudah jam 2 dini hari. Delapan lagu itu saya putar berulang-ulang. Rival ingin dapat komentar. Saya tahu dan sengaja bikin dia penasaran. Tak sabar, akhirnya dia minta satu kata saja. Saya jawab, datar!

Dan naik motor vespa tua membelah jalanan ibukota negara yang lengang menjadi begitu membahagiakan. Jakarta seperti milik kami berdua. Kami berpindah dari Pejaten ke rumah Rival di Mampang. Ingatan saya berpulang 12 tahun silam di Yogyakarta saat kami berproses sebagai band kere tapi aktif dan tanpa orientasi. Kami bernostalgia. Pleaseat, band yang meneguhkan komitmen Rival bermusik saat itu, vakum. Adi Tangkilisan memilih berhenti dan kuliah, saya memilih menikah, sedang Rival hijrah bermusik ke Jakarta. Semua genre musik telah dia lewati dalam proses itu sebelum pada akhirnya memilih reggae menjadi jalan hidupnya, yang menurut Rival karena dicekoki Tony Q.

Reggae telah menjadi akar (roots) bagi proses kreatifnya. Sebelum membentuk Pallo, Rival dikenal sebagai bassis band reggae Steven N’ Coconut Treez yang saat ini vakum. Spirit reggae telah dia pilih untuk lagu-lagu yang dia lahirkan. Tantangan menurutnya adalah mencari yang tak sekadar Jamaika, tetapi yang khas Indonesia, terlebih jika lahir dari kampung halaman. Tentang yang terakhir ini bisa ditemukan kental pada intro lagu As a Reggaeman. Tetapi saya pun berharap, lokalitas menjadi tak sekadar tempelan belaka. Delapan lagu baru Pallo mengantar tidur saya. Lagu terakhirnya memang buat tidur. Judulnya Ruang Abadi.  “Terlihat di langit awan gelap. Hujan rintik-rintik menyejukkan. Ruang abadi seakan berkata, hari ini, kita kan terlelap.”

Suara Shesya lamat terdengar. Melihat ada orang asing di ruang tamu yang tidur di sofa rumahnya, Shesya mengamati, curi-curi pandang. Masih pagi, masih mengantuk. Tetapi saya tak ingin melewatkan momen anak itu bermain dengan ayahnya yang bermain gitar. Suara Shesya direkam untuk lagu Ruang Abadi. Pagi itu mereka nyanyikan.



Saya mengulang pembicaraan semalam. Akhirnya saya bilang, paling suka lagu I’m Fallin Love. Ada suara Fairus A. Rafiq dan Tony Q di lagu itu. Bukan soal nama-nama itu. Saya suka liriknya. “I’m fallin love, beranilah karena cinta. I’m fallin love, kita kan bahagia.”

Eksperimen Rival kali ini pada materi di lagu-lagu baru Pallo menurut saya adalah menjadikan lagu-lagu itu tetap berakar pada reggae dan mengemasnya menjadi lebih lembut dari dua album Pallo sebelumnya. Mungkin untuk menjawab kebutuhan karakter suara Agy yang memang lembut. Nyaris tak ada dari delapan lagu itu yang bikin terkejut secara musikal, termasuk lagu Life Goes On yang dikemas ulang. Ini musik kamar, menurutku, yang akan diresapi dengan keintiman tertentu. Itulah makanya Rival mempersiapkan peluncurannya di taman. Beberapa kawannya yang ingin membantu mewujudkan gagasan itu berencana bertemu siang itu. Jam 12 siang. Dari Mampang kami bergerak ke Tebet. Jakarta jam begitu tentu sudah tidak selengang dan selapang malam. Gerah, macet.

Di sebuah kafe di tebet, diskusi lintas komunitas yang digagas Rival untuk menyepakati rencana peluncuran berjalan alot. Direncanakan akhir bulan Mei dan akan dilaksanakan di taman. Saya berbisik padanya. Tahun lalu peluncuran di kampung halaman itu biasa. Yang luar biasa kalau dilakukan di kampung orang. Sudah sore dan kami menyusun rencana baru menyambut malam. Hari itu Coki Sitompul, gitaris teman band Rival di FOS Nation berulang tahun dan akan di rayakan di sebuah bar di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.





Bermusik dengan beragam genre menjadikan Rival kaya pengalaman dan pertemanan. Proyek bermusik dengan banyak musisi itu tak saja melahirkan pujian tetapi juga kritikan. Ini soal siasat bertahan di tengah industri kreatif. Bagi saya tentu tak soal, karena sisi positif dari situasi itu adalah referensi dan penjiwaan. Apalagi Rival yang awalnya lebih duluan mengenal rock dibanding reggae yang membentuk karakternya bermusik. Di panggung mini di bar itu, Rival jam session dengan Coki, Ariyo Wahab dan kawan sebandnya di FOS Nation. Hard to Handle milik Black Crowes memecah suasana bar. Gelas-gelas bir berdenting.   



Jam 11 malam. Acara bubar. Sebelum kami berpisah, Rival memberitahu single Reggae Music (merindukanmu) sudah diputar di beberapa radio di beberapa kota di Indonesia. Informasi itu dia dapatkan dari pemberitahuan-pemberitahuan di media sosial.



Akhirnya, saya bersyukur pada apa yang Rival alami sampai pada saat kami bertemu saat itu, karena saya membayangkan mengalami hal serupa yang dialami siapapun: proses. 

Friday, April 11, 2014

UVENTUMBU

JIKA kita membayangkan kota adalah lampu-lampu merkuri yang terang di waktu malam, jalanan beraspal, gedung-gedung bertingkat, kendaraan lalu-lalang, macet, beragam polutan, dan penanda identik lainnya, tentu tak salah, tapi juga tak selamanya benar. Definisi kota menjadi relatif pada beberapa kota dan nama tempat sebagai lokus yang membentuknya. Beberapa di antaranya bisa dengan mudah Anda temukan di Palu.

Terberi sebagai kota dengan beragam landskap, Palu tempo-doeloe memang adalah kampung-kampung dengan dimensi tradisional yang kuat. Ngata dalam bahasa Kaili. Dimensi ngata itu hari ini bersimbiosis dengan pengertian-pengertian kota yang administratif sekaligus psikologis –kebaruan layaknya kota seperti yang dikonsumsi melalui beragam media massa atau yang dibawa oleh tradisi kolonialisasi Hindia Belanda, dan lalu pada akhirnya oleh metamorfosa birokrasi yang membawanya sebagai kebijakan atas nama pembangunan, termasuk pada perilaku warganya yang separuh urban, separuh suburban, atau gabungan keduanya, menjadi urban dan suburban di waktu yang bersamaan.

Jika Anda sedang berada di ketinggian, ketika semua landskap Palu itu bisa Anda nikmati dengan mata telanjang, di waktu yang bersamaan, Anda dapat melihat teluk yang membentang, bukit-bukit memanjang, sungai-sungai yang membelah menuju ke teluk, dan beberapa ruas jalan utama dan bangunan. Beberapa bangunan yang menjulang, tower, jembatan, bahkan telah menjadi penanda orientasi akan arah mata angin.

Tapi Anda tak akan menemukan yang lebih subtil, yang lebih Dalam dari itu jika hanya berdiam diri di ketinggian atau kalau pun menyusurinya lebih dalam, jalan-jalan yang Anda pilih hanyalahjalan-jalan utama yang saling menghubungkan jalan utama satu dengan jalan utama yang lain.

Beragam dimensi landskap itu membuat kita akan menemui beragam eksisting. Ada yang tinggal di pesisir pantai sepanjang teluk, ada yang tinggal di tengah kota dengan banyak blok, sekarang bahkan trennya menjadi perumahan-perumahan cluster, dan ada yang tinggal di bagian belakang, di wilayah sabuk hijau (green belt). Kebijakan tata ruang sebenarnya telah mengadaptasi pola beragam ini. Diilhami dari rumah adat Souraja (Banua Mbaso) yang punya teras, ruang tengah, dan bagian belakang.

Keunikan selalu menyertai beragam landskap Palu sebagai kota. Akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang unik juga, “ini masih masuk (wilayah) Palu?” atau kekaguman pada bentangan landskap, “indahnya…”

Pengalaman merasakan keunikan berkota itu muncul pada diri saatjalan-jalan ke sebuah tempat –disebut sebagai dusun, masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Kavatuna, Kecamatan Mantikulore di timur kota (01/03). Nama dusun itu Uventumbu. Sebagian besar orang Palu ketika menyebut Kavatuna mungkin hanya identik tempat pembuangan akhir (tpa) sampah.

Jarak rumah-rumah warga Uventumbu dari jalan utama yang dekat dari kantor kelurahan hanyalah kurang lebih 6 sampai 7 km, menyusuri jalan-jalan sempit yang sebagian masih beraspal kasar dan sebagian yang lain batu-batu sungai. Ada satu sungai dengan air jernih dan debit air yang lumayan yang akan dilalui sepanjang perjalanan menuju kesana. Di beberapa titik yang landai warga menanam jagung atau coklat (kakao). Tebing-tebing tinggi yang indah. Anda, saya yakin, jika tiba-tiba saja berada di sana tanpa referensi apa-apa, tentu saja akan mengalami disorientasi ruang. Benarkah inikota? Itu jika Anda akhirnya menemukan plang puskesmas pembantu atau bangunan fisik pembangkit listrik skala kecil dari tenaga air yang sedang dibangun di tempatitu.

Uventumbu tentu bukanlah satu-satunya tempat di Palu yang unik bagi pengalaman berkota kita. Mungkin serupa tulisan mendalam yang pernah saya baca dari sebuah harian, di tengah sibuknya Jakarta, masih ada juga warga di ibukota itu yang beternak sapi dan menggembalakannya di ruang-ruang terbuka yang semakin sempit dan mewah. Dan Jakarta adalah kampung dalam pengertian yang sesungguhnya, jika dialami bukan dari jalan-jalan utamanya.

Selain Uventumbu, pernahkah kita jalan-jalan ke Limran di batas utara sana, di Mangu, Liku, atau di 3 kampung bertetangga di barat, di Lekatu, Salena, dan yang berada jauh di atas bukit yang indah di Wana. Mungkin jalan-jalan utama kota telah kita lalui semuanya, dan apakah kita pernah masuk di beberapa ruas jalan sempit yang membentuknya? Sebut saja di Ujuna, Kalikoa, di sepanjang bantaran sungai di Maesa hingga Tatura dan sebagian Besusu yang mengarah ke muara yang berdimensi urban? Bahkan mungkin yang tak jauh dari rumah tempat wali kota dan gubernur kita tidur.


Saya ingin mengutip sebuah buku karya Aya Hirata Kimura berjudul Hidden Hunger (2013) yang bercerita tentang kelaparan tersembunyi, kisah kasus-kasus malnutrisi. Ini identik kota. Kebijakan tata ruang Palu yang telah saya singgung di atas telah mengadaptasi landskap (ruang). Berharap kebijakan publik lainnya yang diinspirasi dari dimensi ruang itu dapat melihatnya dari sudut pandang yang lebih subtil, lebih dalam.Serupa cara kita melihat landskap dari kejauhan dan mencoba untuk mendekat dan memahaminya. Serupa memahami bahwa Kavatuna tak hanya TPA saja, tapi juga ada Uventumbu, ternyata. Mungkin memang warga Palu sudah sekolah, sudah makan, jika sakit bisa ke puskesmas dan rumah sakit, dan berekreasi. Tapi kita tetap harus melihatnya lebih subtil, lebih dalam. Agar kota tak tampak hanya di permukaan.












Tulisan ini telah diterbitkan -dengan judul yang sama pada 8 Maret 2014, di kolom mingguan saya, Percik, yang terbit setiap hari sabtu di harian Palu Ekspres.

Postingan Sebelumnya..