Saturday, April 18, 2015

MENCOBA UTUH DI PENGGAL LAGU

Catatan buat Record Store Day, Nebula Outdoor Venue, Palu, 18 April 2015



Masih adakah dari kita yang hari ini mendengar lagu dari kaset, yang itu juga berarti menggunakan tape?

LAGU-lagu di dalam hard disk di laptop saya tak banyak. Lagu-lagu yang isinya kurang lebih sama dengan teman-teman saya sebaya. Nama-nama folder yang juga biasanya sama: barat, Indonesia, asing, lokal, bule, dst. Nama-nama folder yang seragam buat, biasanya film, termasuk film esek-esek. XXX. Lagu-lagu itu tersimpan di sana untuk menemani saya menulis, melamun, atau memang menikmatinya sebagai album dalam pengertiannya yang utuh. Pada soal yang terakhir itu –menikmati, saya ingin mengantar tulisan ini.   

Hari ini rasanya, musik tak lagi dinikmati sebagai keutuhan, seperti halnya buku. Sekalipun tak sedikit juga buku dengan isi buruk karena tak bisa dinikmati sebagai sebuah proses kreatif yang utuh. Musik hari ini bagi saya dinikmati sebagai proses kreatif terpenggal musisi baik solo ataupun band. Lagu-lagu dinikmati dalam apa yang didefinisikan media massa sebagai hits. Seringkali kita menemukan ada nama folder untuk menyimpan yang hits-hits belaka. Biasanya campur, laguku, favorite, dst.

Pola konsumsi pada produk kebudayaan berubah. Teknologi informasi memudahkan kita untuk mengenal dan mendekati sebuah produk, sekaligus mereduksi empati kita untuk mengalami bersama proses bagaimana sebuah produk lahir. Pada musik, saya merasa menjadi tidak lagi memiliki empati untuk mengapresiasi musisi yang saya sukai. Detourn, album terakhir The Sigit yang mereka lepas di website mereka itu, toh akhirnya tinggal copy lalu paste. Kita tak perlu merasa harus antri ke toko untuk menunggu sebuah album musik dijual, seperti ketika misalnya produk sebuah gadget terkenal dirilis atau serupa serial Harry Potter.

Tidak sedikit toko-toko kaset gulung tikar atau bermetamorfosa menjadi toko cd, dvd, dan music merchandise. Musisi pun sama. Dalam situasi ketika karya-karya mereka tak dibeli massif dalam konteks produk, tur dan merchandise menjadi jalan keluar.

“Coba cari saja di youtube atau soundcloud. Atau kalau tidak dapat di situ, ya tanya google.”

Tidak seperti delapan tahun yang lalu, yang rasanya menjadi tahun terakhir saya menikmati musik sebagai keutuhan, pada band yang sama, The Sigit. Tahun ketika record store day juga baru diperkenalkan, mungkin untuk merayakan semacam kematian sebuah babak dalam skena musik dunia. Tahun 2008, saya menikmati album Visible Idea of Perfection (2006, ffcuts records) dalam bentuk kaset. 13 lagu dalam album itu seperti menjadi satu dalam kepala. Utuh. Di tahun yang sama, band itu saya nikmati di depan mata kepala saya sendiri. Di Palu!

“I hate the disco, give me some rock n’ roll…”

Saya membaca pengalaman yang dilakukan teman-teman saya di Makassar, di Kampung Buku. Sebuah inisiatif pernah digelar di sana dan diberi nama Rewind! Ketika orang-orang datang untuk mengaktualisasikan dirinya dengan cara berkisah: pengalaman pribadi dengan lagu dari kaset yang sudah barang tentu dia suka, dia menjadi utuh di dalamnya. Menarik sekali!

Di tengah apresiasi yang tidak utuh itu, televisi-televisi kita menyumbang sebuah tradisi baru menikmati musik, dengan meracuni pagi kita yang suci dengan lagu-lagu –meminjam syair Efek Rumah Kaca, benar-benar melayu / suka mendayu-dayu… manusia dikumpul dalam apresiasi yang kaku dan menjadi serupa babu. Jadi hapal lagunya karena didengar terus.

Ah, dengar saja lagu. Tak perlu sedu-sedan itu.

Postingan Sebelumnya..