Wednesday, October 21, 2009

Membaca Plastisitas Palu dalam Kemas Kecemasan yang Membatu

500 kata untuk Ritus Plastik Kota Batu



Bisakah batu membungkus plastik? Pertanyaan sebagai peristiwa objektivasi antara batu dan plastik ini mengantar kita pada realitas yang direfleksikan Zulkifly Pagessa, pembuat naskah sekaligus sutradara dari lakon teater Ritus Plastik Kota Batu (RPKB) yang dipentaskan di Taman Budaya Palu (20/10/09), sebelum pentas di event teater Solo pada akhir Oktober ini.


Dalam permainan anak-anak yang menggunakan tangan (substitusi permainan Suten yang menggunakan jari: telunjuk, kelingking, dan ibu jari), simbol-simbol gunting, kertas, dan batu, adalah metafora lain dari objektivasi itu. Batu dapat dikalahkan oleh kertas yang membungkusnya, tapi tidak oleh gunting yang hanya bisa menang ketika vis a vis kertas.


Melacak teks dan konteks yang berupaya keras memaksimalkan pesan kegelisahan dengan tubuh sebagai teks, adalah bagian inti pesan dari objektivasi itu. Para aktor RPKB menerjemahkan adegan demi adegan dengan mekanis sembari melakukan horor psikologis pada penonton. Konteks bergerak bersama tubuh dan dimuntahkan dalam banyak statement sarkas, swing jazz, blues, dan properti penunjang kebutuhan artistik: batu-batu, plastik kemasan berukuran besar, pisau, dan kostum.


Sebagai konteks, Palu dalam RPKB didekati sebagai identitas pembentuk gagasan. Kasus Salena, bom-bom teror, kerusakan lingkungan oleh pertambangan, isu trafficking, damai semu, adalah beberapa kegelisahan itu. Dalam skala yang lebih luas, RPKB mendedahkan soal-soal ruang publik yang dikotori tidak saja oleh ritus janji pemilu, tapi juga hingga ruang privat, dan banalnya ritus sosial dan politik, tidak saja di tingkat lokal tapi juga nasional.


Absurditas (baca: batu) itu dibungkus dalam kemas kecemasan (baca: plastik) yang tentu saja plastis, artifisial. RPKB seperti sedang ingin mendekonstruksi kemasan plastis yang kita yakini sebagai kebenaran-kebenaran baru yang membungkus batu-batu. Batu disana bisa juga dipahami dalam dua perspektif, sebagai yang mendekonstruksi (dalam idiom lokal disebut Kabaga atau keras kepala) dan yang didekonstruksi (public minded, mainstream, Palu).


Saya mengamini Uun ketika muncul pertanyaan, RPKB ini, kritik ataukah otokritik. RPKB baiknya dibaca dalam dua hal itu, kritik, dan otokritik. Kritik bagi para pembuat kebijakan, termasuk para pemangku kepentingan (swasta, pers, akademisi, media, lsm, dll), juga otokritik (proses berkesenian dan seniman itu sendiri).



Realitas yang kita jalani dan konsumsi lewat media massa hari-hari ini adalah realitas yang lebih sastra dari sastra itu sendiri, lebih dramatik dari teater paling absurd dan sakit sekalipun, lebih kasat bahkan kasar dan telanjang dari pencapaian seni visual apapun. Dibutuhkan intensnya kreasi reflektif yang benar-benar mampu mengatasi absurditas keseharian itu, sekadar untuk mencerahkan kemanusiaan kita yang hari ini bergerak seperti pendulum ke arah mekanisasi yang sistemik.


Dan RPKB sukses menjadi oase ditengah banalnya seni pertunjukan di Palu yang hanya memberi kita oleh-oleh senyuman plastis hingga ketika akan berangkat tidur dan keesokannya kita bergelut dalam kecemasan-kecemasan baru, menjadi mesin-mesin.


Saya tidak begitu paham teknis dalam penggarapan sebuah karya teater. Tapi rasanya koor panggung RPKB membuat saya, seperti sedang mengalami disaat yang bersamaan Quentin Tarantino, Diana Krall, Norah Jones, BB King, Radiohead, Afrizal Malna secara serentak. Beberapa hal yang saya suka dan seringkali saya pakai untuk menertawakan diri saya sendiri yang juga plastis dan semesta yang seolah-olah ajeg, tapi sesungguhnya juga plastis.

Foto-foto: nemu

Monday, October 19, 2009

Tiga Masa Masomba

Seberapa penting Masomba bagi saya? Penting! hampir setiap hari saya datang ke Pasar yang ada karena Instruksi Presiden itu untuk belanja kebutuhan dapur dan kedai. Jaraknya yang dekat (kurang lebih 300an meter dari rumah) membuat pasar tradisional itu menjadi pilihan utama tempat saya belanja juga sebagian besar warga di Selatan dan Timur Palu.

Pada Jumat siang hingga malam (16/10/09) bagian tengah, inti bangunan pasar itu terbakar hebat. Hampir seluruh petak-petak bangunan terbakar. Padahal belum cukup setahun ketika pasar itu dilahap api (28/12/2009).

Semrawut, Becek, Bau. Khas pasar-pasar tradisional yang seringkali saya temui. Saya membayangkan sebuah pasar tradisional yang nyaman, Masomba yang tidak semrawut, tidak becek, tidak bau pasca kebakaran.

Saya tidak sedang membayangkan sebuah relokasi Masomba.

Saya mengamini istilah dalam ilmu ekonomi: mekanisme pasar. Interaksi-interaksi manusia dan barang yang berlaku disana berjalan dengan sendirinya. Membentuk habit. Itupula yang kayaknya juga terjadi pada pengelolaan pasar tradisional. Meminjam analisa Marco Kusumawijaya, pakar yang concern pada tema-tema urban, pasar mendorong terbentuknya kota.

Saya membayangkan sebuah hilir dari kerjasama yang baik antara pengelola pasar dan utamanya para penjual. Kerjasama yang bermuara pada pembeli adalah raja.



Kebakaran di Pasar Masomba (28/12/2008) yang menghabiskan sebagian bangunan dan los penjual di sisi utara pasar.



Dua bagian kontras Pasar Masomba. Pada saat normal (gambar diabadikan oleh Eddie Muchiddin pada 24/05/2009), dan pasca kebakaran dahsyat (16/10/2009) yang melahap bagian inti pasar berisi los penjual ikan, daging, sayur-mayur, grosir, dan alat-alat dapur (gambar diambil sehari setelahnya, 17/10/2009).

Postingan Sebelumnya..