Sunday, June 10, 2007

Prostitusi

Malam dingin (19/02). Hujan baru saja selesai. Ganti angin bertiup kencang. Kering. Seperti wajah Sri. Seperti kulitnya. Dia murung. Sepertinya belum dapat teman kencan. Percik ombak yang naik sesekali menitik. Tak juga menyapa, saya coba mendekat. Basa-basi salam, langsung tanya berapa tarif sekali kencan. 35 ribu. Tawar jadi 25. Deal. Dimana? Sri bilang diseberang. Telunjuknya mengarah ke kegelapan. Kira-kira harus jalan 50an meter ke ranjang. Dekat dari arah telunjuk lampu-lampu meremang. warna-warni. Dangdut mix berdentam silang sengkarut dari speaker-speaker murah. Juga didekat saya dan Sri. Hampir semua warung menawarkan jasa berkaraoke didepan tv 14 inch.

Kami bergegas. Masuk ke lorong gelap dibawah pohon ketapang yang lebat. Sedikit terang datang dari arah belakang rumah sakit Nndata. Lalu ke kamar papan dari rumah kayu petak. Tinggi kamar tidak sampai 2 meter, panjang lebarnya seukuran ranjang nomor 1. Ranjang Sri single. Tanpa seprei. Berdaki pula. Ada tong aspal yang dipotong setengah berisi air dan gayung yang mengapung diatasnya. Bohlam 5 watt.

Sri mengaku dari Surabaya. Rambut ikal sebahu. Tingginya mungkin 1 meter setengah. Tak mau kalah dengan yang high class, sekalipun terkesan aneh, fesyen sri malam itu baju tank top motif loreng tentara dengan rok renda selutut warna broken white. Sri tak mau bekerja di dilokalisasi Tondo karena disana kompetitif. Di Talise jauh lebih mudah cari pelanggan. Tapi itu kata koleganya menganjurkan. Sri memang belum pernah kesana, katanya. Masuk akal juga. Dibanding Tondo, akses ke Talise lebih dekat dari keramaian. Punya keluarga di Surabaya yang harus dikirimi uang setiap bulan. Anak-anaknya dipelihara orangtuanya. Kurang lebih 35an tahun umurnya. Saya hanya tak percaya Sri mengaku 25 sambil cekikikan.

Saya menunggu afirmasi Sri. Bahwa pelanggan harus pakai 'kaos kaki'. Mau tidak mau, suka atau tidak. Tidak datang juga. Sri bilang disini terserah laki-lakinya mau pakai kondom apa ndak. Tapi tak tersedia. Kios-kios didepan juga tak menjual. Hmmm... data update per Desember 2006 ada 5.230 kasus HIV dan 8.194 AIDS di Indonesia (yaids.com). Sulteng? 38 orang. 4 mati! (tempointeraktif 09/11/06). Lalu penggunaan kondom didunia esek-esek Indonesia berada dibawah 10 persen (citacinta 01/12/04, riset Family Health International yang diforward Baby Jim Aditya).

Selang beberapa hari kemudian, siang-siang (24/02), saya ke jalan Dayo Dara. Sebuah perkampungan prostitusi yang lebih populer dikenal sebagai Tondo Kiri. Ada tiga baris jalan yang melingkari perkampungan itu. Belum terlihat kesibukan. Sesekali kendaraan melintas pelan. Jalan diperkampungan itu belum diaspal. Bedak dingin. Khas betul mengakrabi siang itu.

Beruntung. Tak butuh waktu lama buat dapat teman ngobrol. Informatif pula. Seseorang mengamati. Saya mendekat. Namanya Nurdin. Mungkin hampir 40an tahun. Dengan kumis rapi bak kaisar Ming diserial Flash Gordon, Nurdin terkesan sangar. Tapi ternyata tidak. Laki-laki ini santun, dan terbuka. Saya memarkir motor dan masuk ke warungnya didepan rumahnya, beli air mineral cup dingin dan memulai basa-basi. Bugis Gorontalo akunya. punya 2 rumah disitu yang dikontrakan kamar-kamarnya. "Dari tahun 96," akunya lagi, menjelaskan awal kiprahnya ditempat itu. Tapi dia sudah sering jalan-jalan kesitu kira-kira sejak 80an akhir. Tak tahu dia pastinya.

Saya bertanya soal sejarah. Sebelum menjawab Nurdin balik tanya. Apa saya wartawan. Bukan. Bertanya dan jalan-jalan. Dua hal yang saya suka. Dia kurang puas. Mungkin memang jawaban saya menurutnya tetap seperti wartawan. Biar tidak deadlock, saya bilang bedanya saya tidak punya koran. Tapi saya suka menulis. Termasuk tentang jalan-jalan. Kami berdua tertawa bersama.

Setahunya mulanya hanya ada 5 kepala keluarga. Semua Jawa, yang sebelumnya tinggal liar di Talise, sekitar Palu Beach Hotel (sekarang Palu Golden). Lalu berkembang pesat. Informasi membikin banyak kerabat yang hidup minus berdatangan dari Jawa. Dia sudah tak lagi tahu diantara kepala keluarga yang dia maksud itu masih tinggal dilokasi itu atau tidak. Tapi dia menunjuk rumah-rumah semi permanen yang dibangun`pertama. Rata-rata menurutnya sudah direnovasi menjadi permanen. Termasuk rumah Nurdin.

Ditengah-tengah obrolan sesekali dia baku sedu, "mau masuk?" dia punya 3 anggota. Dia menyebutnya begitu untuk perempuan penjaja seks yang ada dirumahnya. Waktu itu yang bekerja cuma dua. Yang satu, kata Nurdin, "lagi dapat". semua anggotanya dari Jember. Dirumah yang satunya hanya ada dua. banyak kamar kosong yang belum terisi. Bersama isterinya, Nurdin menolak disebut mucikari. "Kita cuma bakase kontrak kamar." Ada yang 200, ada yang 300 ribu sebulan. Nurdin selalu menggunakan kita untuk mengganti aku atau saya.

Ada juga dukanya. Kata Nurdin. Itu kalau razia aparat. Biasanya provost, polisi, atau pol pp. Tapi pasti tidak terlalu susah mengatasi. Karena hanya soal saweran. Kalau lagi tidak ada (baca uang), bisa negosiasi. "Lihat saja tampanya, rame ndak?" razia suka datang kalau ada peristiwa. Baru saja disini ada pembunuhan. Tamu menikam. Setelahnya, hari-hari berikutnya rumah-rumah disatroni petugas. Duka lain soal arogansi. Pintu-pintu kamar ditendang, dibentak. Soal bahwa lokasi itu ilegal sejak dulu kala, Nurdin tak menampik. nurdin tahu soal polemik itu. Dia menyebut Alchaiirat. yang sejak dulu tak setuju.

Situasi politik berubah. Berdampak ke semua ranah. Termasuk harga kencan. Sejak reformasi, harga sekali kencan ada dua. 25 dan 50 ribu. Sebelumnya tiga. 5, 10 dan yang paling mahal 15 ribu.

Soal pakai kondom, juga ternyata sama kondisinya seperti di Talise. Nurdin menambahkan pernah ada LSM katanya, masuk kesini sosialisasi soal itu, sekaligus bagi-bagi. Juga penelitian dari Untad soal parkir. "Dari sini katanya besar juga dari parkir."

Matahari masih menatap. tapi tak lagi terlalu terik. Bau asin laut menyergap. Saya tanya rumah Nurdin yang satunya dimana. Dia berharap saya "tagate" disana. Hmmm...

Sampai ketika tulisan ini saya bayangkan selesai, saya diganggu sejarah lain: pohon asam di Tatura dekat pabrik olah kelapa dijalan Towua. Juga yang ada dijalan Gunung Bosa. Terakhir, tentang seks "abu-abu" di beberapa panti-panti pijat tradisional yang menyebar, juga lewat advetorial di koran-koran lokal dan yang eksis via panggilan, lewat tempat-tempat hiburan malam.

Foto: Brassai (Gyula Halasz)
Prostitute at angle of
Rue de la Reynie and Rue Quincampoix
From "Paris by Night"
1933
www.masters-of-photography.com

Warkop

Apa yang menarik dari sebuah kota? salah satu yang cukup penting buat saya adalah warung kopi (warkop). Bukan cuma karena saya memang penikmat minuman itu, tapi juga soal bahwa ada sesuatu yang memang menarik dari sana, membaca kota.

Meulaboh sebulan pasca tsunami. Pasar tradisional dan warkop, dua penanda kota itu, memberi kesan optimisme baru bahwa sebuah kota siap bergegas bersama bantuan kemanusiaan, dan para bule-bule dan pribumi pegiat ngo, aparat, dan warga lokal yang asyik bercengkerama dalam teguk kopi pekat Aceh yang khas. Sekalipun saya sempat juga membaca sinisme soal itu didinding sebuah gedung kantor yang kotor: kebiasaan nongkrong diwarkop adalah tidak baik, sebuah kemalasan, dan kemurkaan datang memperingati dengan wajahnya yang seram.

Belum terlalu lama sebuah stasiun tv menayangkan featurenya yang menarik tentang warkop enak di Pematang Siantar. Ada pelanggan setianya yang sudah mengunjungi warkop itu kurang lebih 20an tahun. Hmmm... saya juga ingat kopi cete di Tulungagung -air kopi yang dibatik ke batangan rokok kretek. Minumnya dengan piring cangkir dan bukan dengan cangkirnya. di Jogja kopi yang tradisional itu bisa dinikmati di warung-warung sego kucing. Ada yang sambil baca-baca dengan lampu minyak, yang diskusi, yang bicara dari tentang negara, kuliah sampai indekost. Yang sedikit berkantong tebal bisa ke kafe waralaba yang buka dikota-kota besar. Di Jakarta atau Bandung situasi-situasi diawal tulisan ini masih bisa didapatkan kebanyakan hanya dipasar-pasar tradisional. Di periphery. Kalaupun ada aktivitas bisnis yang melibatkan kopi dipusat, besar kemungkinan sajiannya instan -bukan kopi olahan, yang dinikmati oleh kebanyakannya para sopir angkutan umum, satpam, tukang parkir.

Lalu soal warkop di Palu. Saya menuju Maesa (10/01/07). Nama warkop itu Kurnia. Kata pramusajinya belum lama berdiri. Baru setahun lebih katanya. Saya memesan Black Coffee. Cuma ada dua model saji kopi disini. Dan hampir seluruhnya warkop begitu. Kopi atau kopi susu. Keduanya panas. Keduanya disaring. Tanpa ampas. Kedua-duanya dituang kedalam cangkir bening ceper yang klasik, Duralex. Menu lain nasi kuning, roti bakar atau telur rebus setengah matang. "Adam Air di Wentira" seorang bapak dengan kemeja biru khas instansi perhubungan dengan nada datar. Tak ditanya, tak ada yang sapa, informasi itu membuat si bapak jadi perhatian sejak masuk. Langsung menuju toilet dan setelah itu duduk. Kopi susu dan sepotong roti bakar diantar pramusaji. Sempat juga heran, padahal sebelumnya tak ada pemesanan. Belakangan saya sadar lalu yakin orang ini pelanggan setia. Saat itu jam 10 siang. Hmmm...

Diseberang meja sekelompok yang lain mengobrol hangat. Saya nguping. Soal proyek bangunan. Mungkin developer. Tapi sesekali perbincangan loncat ke kasus judi anggota DPRD Kota, belok ke selingkuh si ini dengan si itu.


Yang menarik disana soal diskusi imajiner. Ada banyak lontaran "kalo saya" yang dipakai berganti-ganti. Dari soal politik nasional hingga lokal dan aktornya, cerita-cerita selebritis, sampai yang macam kepala dinas, staf kantoran, atau orang-perorang yang sama sekali tidak saya kenal dilakoni. Sesekali dibuat monolog seolah-olah memang sedang terjadi dialog. Bahan obrolan juga bisa datang dari koran lokal yang disediakan pemilik warkop.


Kawan saya pernah menjelaskan soal pemetaan pengunjung warkop. Yang di Setiabudi itu sedikit elit. Pagi disana dikunjungi oleh beberapa orang penting di lembaga eksekutif, pengusaha media, atau beberapa kontraktor dengan nilai borongan yang juga elit. Di Maesa tempat yang saya kunjungi itu banyak oleh pegawai kantoran dan unidentified macam saya. Diseberang, tempat warkop-warkop tua kebanyakan biasanya dikunjungi pedagang-pedagang yang usahanya dekat dengan warkop-warkop itu. Mereka kebanyakan berdarah Tionghoa, India, Bugis. yang di Besusu, biasanya oleh para legislator. Konon banyak politisi-politisi formal sebelumnya informal dulu diwarkop. Semacam pra kawah candradimuka.


Kopinya? enak! diolah sendiri, kata seorang pemilik kopi diseberang. Dari mana asal biji kopinya? dia tak menjawab. Saya masuk ke dua pasar induk. yang punya stok banyak di Manonda. Pasok kopi kesini banyaknya dari dataran Gimpu dan Kulawi, kata penjualnya. Saya tanya jenisnya. Tak tahu. Tapi sepertinya Arabika. Bijinya pipih kecil. Tapi kualitasnya sepertinya kurang. Dipetik waktu cangkang bijinya belum berwarna merah (red crimson). Mungkin karena petani ingin cepat-cepat panen. Biji kopi dari Napu juga bagus kata banyak orang yang saya tanya. Tapi itu jaman perusahaan perkebunan Hasfarm. Sekilo? 14 ribu. Harga naik cepat dari sekilo 11 ribu. "Pembeli dari Banjarmasin beli banyak dari sini (baca: Palu)"


Saya beli seliter. dicuci, jemur, disongara, digrinder. Diseduh dengan air panas dan gula pasir, jadilah kopi tubruk. Uenak. Buka warkop juga nih...


Foto: radified.com

Postingan Sebelumnya..