Sunday, December 7, 2014

Aku, Dua Anak Perempuanku, dan Penjelasan-penjelasan yang Tidak Selesai

AKU mau, kelak, anak-anak perempuanku tumbuh sebagai anak-anak perempuan yang cantik dan cerdik.

Kata cerdik kupilih sebagai sesuatu yang menurutku unik. Kata cerdik seolah menegaskan sisi cantik dalam diri perempuan sebagai kemampuan membaca, memahami situasi tentang kedirian mereka, tubuh mereka, dan yang berada di luar itu semua. Wajah peradaban hari ini begitu maskulin, lelaki, patriarki. Pelakunya tak hanya lelaki. Perempuan yang menjadi korban dari situasi yang patriarki ini tak jarang menjadi yang melanggengkan, melegitimasi.

Aku membayangkan itu semua. Semacam kecemasan dari bayanganku sendiri sebagai mahluk lelaki melihat apa yang terjadi sehari-hari.

Dua anak perempuanku yang masih kecil-kecil itu bertanya tentang penamaan-penamaan itu, terlebih pada kata-kata yang di telinga mereka terdengar asing, baru. Dan ini adalah yang paling sulit. Anak-anak kecil tidak butuh definisi. Yang dibutuhkan anak-anak kecil adalah penjelasan yang bisa mereka rasa dari melihat dan mendengar tanpa perlu berimajinasi. Apa yang mesti aku jelaskan pada mereka untuk menerangkan arti patriarki.

Aku ingin, kelak, anak-anak perempuanku bisa berkeliling dunia, melihat apa yang terjadi di luar sana, merasakannya, menemukan hal-hal baru yang beragam itu dan memahaminya sebagai kenyataan.

Serupa burung di lagu Nelly Furtado itu (I'm Like a Bird, 2000), terbang jauh, kadang sendiri, kadang beramai-ramai, hinggap kemana saja tempat nyaman yang dia suka, bermigrasi, menjadikan tubuh adalah rumah, tempat pulang dan mesti dilindungi. Mereka pernah bercerita soal ini kepadaku dan bercita-cita atas cerita mereka itu. Keliling dunia. Naik pesawat, kereta, bus, kapal, dan semua moda transportasi yang mereka pelajari dari buku ajar di sekolah. Pindah dari satu kota di satu negara ke kota berikutnya di negara yang lain.

Aku bilang kepada mereka harus pandai agar bisa mewujudkannya. Tentang pandai seperti apa yang harus mereka capai, adalah yang dihargai dalam banyak bentuk. Tak puas, mereka bertanya lagi, bisakah tanpa mesti pandai? Lama aku diam menghadapi pertanyaan yang terasa sederhana itu dan akhirnya memang tidak bisa aku jawab. Aku malah menambahkan, pandai dibutuhkan perempuan agar tak dibodohi lelaki. Dua anak perempuanku itu hanya bersitatap dan lalu tertawa.

Untungnya aku tidak ditanya oleh mereka berdua, apakah lelaki memang suka membodohi. Aku malah ingin menambahkan, menguasai. Pada kata yang terakhir itu, biarlah nanti ketika mereka beranjak dewasa dan membaca tulisan di blog ayah mereka ini. Mereka memanggilku “ce” dari pace yang artinya ayah. Soal panggilan itu, aku juga ingin agar mereka tahu kelak, dalam bahasa latin, kata itu –ditulis che, adalah bermakna kawan.

Entah dibutuhkan atau tidak, dalam keadaan dikuasai, siapa pun bisa licik, makna lain cerdik.


Postingan Sebelumnya..