Saturday, July 28, 2012

Gondrong, Tempe, Rolling Stone


PENDAPATAN kotor warung sari laut Moro Seneng punya Paijan (42 tahun) yang buka setiap hari sejak petang hingga tengah malam berkisar rata-rata antara Rp. 1,4 sampai 1,5 juta.

Tak mudah membangun bisnis makanan, kata Paijan, di suatu malam (25/7). Bisnis makanan bermerek waralaba (franchise) punya prinsip dasar bisnis, kepastian. Bisnis kepastian itu dibangun dengan standar tertentu sejak rasa hingga pelayanan. Paijan yang malang melintang di bisnis ini menerapkan soal-soal demikian. Bedanya, Paijan bukan pemilik sebuah merek bisnis waralaba, juga bukan pemegang lisensi cabang dari model bisnis jejaring yang seperti itu.

Dia berkisah panjang suka duka bisnis makanan. Pertama buka untung bersih warung berukuran 4 x 4 meter dengan 3 meja makan itu selama setahun hanya mencapai 900 ribu. Dalam sebulan berarti hanya sekitar 75 ribu, rata-ratanya setiap malam sepanjang 2005 itu berarti hanya Rp. 2500.

Di Kota Palu orang-orang mengasosiasikan nama jualan sari laut khas Lamongan itu dengan sebutan Mas Joko. Itu akan segera mengarah ke ayam, tempe, tahu yang semuanya digoreng, dan disaji bersama sambal terasi dan lalapan daun kemangi, daun kol, timun. Tak ada yang bisa memastikan sejak kapan bisnis Mas Joko ini semarak di Kota Palu. Tapi dugaan saya sama seperti Paijan, bisnis ini berkembang sejak akhir dekade 90an ketika Indonesia di landa krisis mata uang dan sebuah nama menjadi begitu terkenal dan dilupakan, Joko. Tak ada catatan, juga ingatan, tapi konon dialah pelopor pertama yang jualan di bilangan jalan Wolter Monginsidi dekat SMPN 2. Paijan juga tahu itu dari omongan. Masa itu, Paijan masih di Kalimantan, antara Samarinda dan Balikpapan, dan juga bisnis makanan.

Kepastian pada rasa dan pelayanan menjadi resep keberhasilan Paijan yang asli Lamongan itu. Modal untuk minyak goreng saja untuk satu malam bisa capai Rp. 70 ribu. “Itu baru minyak. Saya tidak pakai minyak curah dan tidak jual tahu.” Tahu menurutnya merusak kualitas minyak. Terlebih Tahu di Palu menurutnya beda rasanya dengan Tahu di Jawa karena kandungan air Tahu di Palu yang banyak dan tinggi kapur. Semua diperhatikannya dengan detil. Pun beras yang sekilo harganya Rp. 9500. Nasi yang putihnya menawan dan tak berhamburan itu ditakar tak banyak. Ini strategi jualan juga menurutnya. Hampir setiap pembeli yang makan di situ pasti tambah nasi, katanya.

Saya menanyakan harga tempe padanya ketika Indonesia sedang krisis kedelei. Harga dan rasanya tak berubah. yang berubah menurutnya adalah ukurannya jadi lebih kecil. Harga tempe masih berkisar antara Rp. 1000 – 1250 per batang. Ada sekitar 12 usaha pembuatan tahu dan tempe di Kota Palu dari skala kecil yang rumahan, hingga yang pabrikan, menurut Heri (32 tahun), yang keluarganya punya bisnis pabrik pembuatan tahu dan tempe di jalan Manggis. Kenaikan harga kedelei yang dipasok dengan kapal dari Surabaya itu, hampir sebulan terakhir memang naik dua kali lipat, dari Rp. 4000 per kg menjadi 8000, tambahnya.


Tempe menjadi yang paling khas dari jualan Paijan. Rasanya yang kriuk seperti kerupuk karena diiris sangat tipis, dengan warna tak hitam seperti yang biasanya karena minyak. Lalu sambalnya yang manis pedas. Ilmu itu didapatkannya dari pengembaraan. Paijan mendaku, hampir semua kota-kota besar di Indonesia sudah didatanginya, dan hampir semuanya karena insting bisnis makanan. Aceh pernah. Medan. Lampung. Jangan Tanya Surabaya yang hanya sejam dari kampungnya itu. Di Jakarta sempat bekerja di sebuah warung sea food laris di depan Stasiun Cikini. Di Denpasar, Lombok, hingga Kupang. Ambon dan Papua pernah pula ditinggalinya, dan ke Samarinda dan Balikpapan sebelum akhirnya ke Palu pada Oktober 2004. “Yang belum pernah saya datangi tinggal Madura,” sambil tertawa lepas. Moro Seneng yang artinya menurut Paijan tambah senang itu sekarang buka pertama kali beberapa hari setelah gempa besar melanda Kota Palu pada Januari 2005.

Bersama istrinya, Paijan berencana ingin mengembangkan bisnis makanannya menjadi lebih besar dari yang sekarang. Tapi tak ingin buka cabang. Bahan boleh sama katanya. Tapi pada akhirnya yang membedakan adalah sentuhan pada masakan, Paijan berfilsafat. “Akhirnya yang kita butuhkan adalah ketenangan,” katanya. Mungkin Palu menjadi akhir dari perjalanan Paijan, karena menurutnya kota ini bikin dia tenang. Dalam setahun, ketika dia merindukan anak perempuan satu-satunya yang sekarang sudah SMA, sejak usahanya mulai mapan 3-4 tahun terakhir, Paijan bisa pulang Lamongan 3 sampai 4 kali dengan pesawat. Apalagi ketika jelang lebaran. “10 hari sebelum lebaran nanti saya mudik.”

Saya bercanda sesumbar. Dia mulai kenal wajah saya sebagai pelanggan. Berharap dia bangga, saya sengaja datang jauh-jauh dari selatan ke tempat dia jualan di barat untuk makan. Dia membalas sesumbar saya. Ada yang lebih jauh ternyata yang jadi pelanggan. Dari Taipa. Kalau berencana makan di tempatnya sudah pesan duluan lewat sms.

Jann S. Wenner, pendiri majalah musik terkenal Rolling Stone mengakui, nama majalah yang lahir pada 1967 itu awalnya dari peribahasa tua yang kemudian diadaptasi jadi lagu oleh legenda musik blues, Muddy Waters. Rolling stone gather no moss (pengembara tak akan pernah kaya). Tak hanya majalah, lagu Waters itu juga menginspirasi nama band The Rolling Stones dan nama album hits Bob Dylan, Like a Rolling Stone. Saya pikir perjalanan hidup Paijan itu seperti lagu Waters juga. Dan karenanya saya masih saja penasaran dan menanyakan padanya apakah pengembaraannya masih akan dia lanjutkan. Pria kurus berkumis yang doyan bir dan rokok putih itu hanya tersenyum kecil. “Saya sudah bersyukur bisa seperti ini sekarang.” Sesekali rambutnya yang panjangnya sebahu itu dikibas-kibaskan. 

“Orang-orang tidak kenal saya kalau Paijan. Orang tahunya gondrong.”




Lokasi warung makan Sari Laut Moro Seneng Paijan, jalan Sis Aljufri (depan mesjid raya Boyaoge), Palu Barat

Postingan Sebelumnya..