Friday, January 20, 2012

Saya, Musik, Palu: Sebuah Testimoni



1993
Saya masih SMP kelas tiga. Baru 14 tahun. Celana pendek warna biru. Tapi kemana-mana dengan seragam itu, rokok sudah di tangan, Filtra 100s. Entah di hari, tanggal, dan bulan apa di tahun itu, saya memutuskan akan jadi vokalis sebuah band.

Di gitar ada Leo dan Angki, di drum ada Kiki, di Bass ada Fandi. Band ini dipengaruhi formasi dan lagu-lagu Guns N’ Roses. Di sebuah waktu ketika kami bolos sekolah ramai-ramai, kamar saya berubah jadi panggung lip sync lagu band itu, Paradise City. Momen yang memantik terbentuknya band yang kami namai OFF (kepanjangan dari One for Feel). Personilnya satu sekolah dari SMP Negeri 2.

Saat itu, formasi OFF dibentuk untuk sebuah rencana mengikuti festival rock. Tidak terlalu jauh dari saat itu, sebuah band yang para personilnya saya kenal, menjadi juara favorit, juga di sebuah festival rock. Nocturno. Band yang menginspirasi OFF lahir. Personilnya satu sekolah di SMA Negeri 2. OFF ingin juga punya kebanggan sama seperti band itu, Nocturno.

Saat itu ada banyak lagu yang ditentukan panitia dan harus dipilih dua sebagai lagu wajib dan pilihan. Jika terpilih ke final, kami bebas untuk membawakan satu lagu tambahan yang dipilih sendiri. Kami memilih lagu band Indonesia, Jet Liar (Bukan Sandiwara) dan lagu barat punya White Lion (Farewell to You). Yang Jet Liar tingkat kesulitan lagunya ada di bagian yang nyanyi, sedang tak ada kesulitan berarti secara teknis di lagu White Lion yang tanpa gitar melodi.

Hanya ada dua referensi studio latihan OFF saat itu. Studio milik keluarga Panintjo di Boyaoge, dan studio Uzi, yang saat itu lebih komplit, milik Pungki Lenak di jalan Yojokodi.

Beda dengan dua gitaris OFF yang sudah agak lebih baik mengenal kord, tidak demikian halnya dengan bass. Ada mentor khusus untuk basiss OFF mempelajari dua lagu kolom demi kolom fret, khusus untuk dua lagu itu saja. Dua lagu yang dimainkan dalam hanya dua senar gitar bass paling atas. Sempat berdebat, bagaimana jika OFF masuk final. Itu berarti harus ada satu lagu yang harus disiapkan. Karena tak punya motivasi berprestasi, bisa ikut meramaikan saja sudah cukup buat OFF.

Begitu pula pada drum. Fill in drum di hitung ketat persis seperti pada dua lagu yang kami pilih itu, untuk memastikan agar tempo lagu ada di jalurnya. Belum ada internet saat itu. Saya menonton sekaligus menyontek dari video bagaimana Axl Rose meliuk-liuk bagai ular, sesekali menaruh sebelah kakinya menginjak pengeras suara yang berfungsi jadi monitor, yang biasanya di taruh di bagian depan panggung. Gagah sekali rasanya jika bisa mempraktekkan gaya itu. OFF tak masuk final, tapi sejak saat itu, saya mulai merasa salah satu pilihan saya kedepan adalah bermain musik, mengubur impian saya yang lain yang ingin jadi pembalap motocross.

Dua hal dari sana yang ingin saya sampaikan adalah soal motivasi dan aktualisasi. Antara kebangaan dikenal banyak orang dan dengan begitu menjadi lebih mudah di terima di lingkungan pertemanan, dan juga pelepasan ekspresi kedirian, yang saat itu lebih terasa hadir di alam bawah sadar saya yang baru memasuki masa remaja.

Setelah event itu, sebagai band, OFF benar-benar off (mati).

Momen itu mengantar saya pada sebuah tantangan lain. Talenta saya dilirik sebuah band rock dari sebuah kampung kecil di kota tua Donggala, Labuan Bajo. Nama band itu Valentuma Rock Band. Sebuah festival rock akbar akan digelar Uzi bertitel Festival Rock Se Sulawesi. Mandor, gitaris band itu dan Muhlis drummernya, menemui saya. Menghadapi rencana itu, saya sempat pindah tempat bermain jauh ke Donggala.

Saya lupa judul lagu yang liriknya diciptakan Muhlis dan musiknya diaransemen oleh Chris Kamudi itu. Selain itu, kami membawa lagu band Kidnap berjudul Katrina. Saya gugup minta ampun lihat band rock dari Makassar, S-70 (konon singkatan dari nama jalan dan nomor rumah di Makassar, jalan WR Supratman nomor 70 sebagai markas band) yang kala itu, sedang check sound dan memainkan lagu Helloween, Future World.

Era festival band di Palu, yang berkecenderungan sebagai festival musik rock, menurut beberapa sumber, baru mulai ada sejak dekade 80an. Di dasawarsa itu besar kemungkinan kecenderungan itu dipicu oleh fenomena tren musik dunia, ketika rock bergeliat. Sekalipun cikal-bakalnya sudah ada sejak era 60-70an ketika generasi hippies dan bunga berkembang tidak saja sebagai sebuah era penanda dalam musik tapi juga sebagai gerakan kultural.

Adalah Ong Oen Log atau lebih dikenal Log Zhelebour, promotor asal Surabaya yang terkenal dengan seri tahunan festival rocknya itu. Kecenderungan yang juga mempengaruhi kiblat musik rock yang Surabaya sentris. Sebut saja Power Metal, Andromeda, atau dimasa pertengahan ada Boomerang. Masih ada banyak band dan solois rock di kota-kota selain Surabaya yang diorbitkan Log sampai hari ini. Contoh lain Jamrud yang asal Bandung.

Era festival itu memuncak di awal era 90an. Lagu-lagu rock dari Surabaya cenderung jadi anutan.

1994
Saya sudah SMA. Tak lagi menyanyi, kali itu saya banting setir jadi drummer. Sebuah komunitas yang lebih dikenal sebagai komunitas otomotif mencoba meluaskan eksistensi mereka ke ranah seni musik. Padahal nama komunitas itu adalah nama band rock n’ roll legendaris asal Amrik, Grand Funk (GF). Pun sama, saaat itu saya di tarik untuk kebutuhan menutupi ketiadaan personil yang bermain drum untuk sebuah festival rock.

Bolos sekolah saya semakin menjadi-jadi. Ditambah miras dan mulai mengenal narkoba. Saat tampil, saya yang bermain drum saat itu menghentikan lagu kedua yang masih di tengah jalan. Dua lagu yang sudah kami persiapkan itu, lagu terakhir tak sampai selesai. Pil koplo merusak konsentrasi saya untuk melanjutkan permainan.

Kiki, mantan drummer saya di OFF yang bersekolah (SMA) di Bandung setiap kali pulang liburan ke Palu mengenalkan saya pada Green Day. Yang sudah lama macam The Cure menjadi baru buat saya saat itu. Radio-radio hanya memutar lagu-lagu permintaan yang diakses dari media mainstream (televisi dan media cetak) dan kebanyakan top fourty, istilah lain bagi tren kompetisi, lagu hits mingguan yang disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan radio yang menyelenggarakan.
 
Dan drum menjadi harapan baru saya bermusik. Saat itu saya merasa tetap bisa menyanyi dibalik set drum. Rasanya lebih menantang, lebih gagah. Ketika teman sebaya meneruskan sekolahnya ke kelas 2 SMA, saya putus sekolah dan melanjutkan kursus drum selama enam bulan di Studio 5, di jalan Supratman, Bandung. Tempat kursus yang dilabeli music school of rock itu milik musisi-musisi tua kota kembang macam Deddy Stanzah (alm), bassis band rock terkenal asal Bandung, The Rollies.

Era Festival
Gamal, pentolan Madness, sebuah komunitas di Palu di era itu menyebut, menyelenggarakan untuk kali pertama festival rock pada 1986 dengan bendera Madness sebagai organizernya. Saat itu Gamal menjadi ketua panitia. Event itu diselenggarakan di Gedung Olahraga dibilangan jalan Prof. Mohamad Yamin yang lebih dikenal orang sebagai jalur dua. Aset milik pemerintah propinsi yang menjadi salah satu saksi bisu perkembangan musik itu, tak saya dapatkan data pembangunannya.

Di kesempatan yang lain, Ges Hasan, seorang promotor musik yang terakhir pada 2009 lalu mengadakan pagelaran musik jazz yang menghadirkan bintang tamu Zarro, menyebut pernah menginisiasi sebuah event musik pertama di Palu yang diselenggarakan di lapangan terbuka di halaman gedung kampus Stisipol Panca Bhakti. Event itu diberi titel Musik Parkir. Itu tahun 1989. Mungkin serupa warna baru yang inovatif di masa itu ketika pagelaran-pagelaran musik lebih sering diselenggarakan diruangan tertutup.

Festival rock Madness 1986 mengantarkan nama-nama yang baru saya tahu sekarang. Interview, Tholaress, menurut Jojon (47), adalah beberapa diantaranya yang dia ingat. Jojon adalah bassis rock lintas generasi yang sampai hari ini konsisten bermain dan berkarya di jalur seni musik. Kala itu, Jojon berkisah, band mereka, TR (singkatan dari Teroris) meraih juara dua. Nama Ote Abadi, Neni Larekeng, Theo Kamudi, dan Umar Cibo, selanjutnya Hengky Supit dan Abdee Negara sudah dikenal Jojon sebagai pentolan-pentolan Interview saat itu.

Jojon serupa jembatan bagi saya yang menghubungkan serpih kenangan ketika tren-tren dalam musik berganti. Contoh itu serupa tren celana jins seorang rocker yang baggy di era 80 dan 90an awal, lalu masuk ketika glam rock yang ketat (skinny) dan fashionable –tidak saja celana tapi juga rambut panjang terurai rapi. Dan akhirnya sampai pada hari ini ketika dua tren itu campur aduk bersama banyaknya pilihan genre musik yang tidak lagi saling mendominasi.

Resmi bermain band pada 1982, Jojon menjadi saksi bagi generasi ketika era lama dan baru bertemu dan berinteraksi. Beberapa nama ia sebut di awal pilihannya menjadi musisi itu. Ia menyebut Ilham Lawido (alm), Dahlan Intje Makka, dan yang sangat berkesan baginya, Man Himran (alm). Jojon pernah merasakan tampil membawa nama Risela di sebuah acara resmi pemerintah daerah diawal pengalamannya bermusik. Mereka membawakan lagu-lagu pop Kaili gubahan HM Bahasyuan.

Saat saya temui (18/01), terlihat Jojon haru ketika berkisah mengenang masa lalunya bersama drummernya, Hakim yang hari itu dimakamkan.

Tentu saya ingat Harimau Power, juga pernah nonton langsung band bentukan RRI, Audiorama yang biasanya tampil malam minggu di halaman kantor itu, juga Palbar (singkatan dari Palu Barat)yang dibentuk Camat Palu Barat saat itu, Rully Lamadjido, dan Hammer Rock Band. Saya masih SD dan melihat penampilan-penampilan Jojon cum suis di semua bandnya itu –sering tampil di panggung lapangan Walikota atau di tempat lain yang meninggalkan banyak kesan.

---

Sekarang, selain festival yang sudah tak lagi menentukan lagu orang yang wajib dibawakan, sejak dulu, event-event musik dengan bintang tamu dari luar juga tak kalah ramainya. Saya pernah menonton Nike Ardila (alm) dan Inka Christie di Gedung Olahraga. Juga pernah menonton Anggun C. Sasmi. Hari ini para selebitis musik yang rasanya jauh itu datang silih berganti main di Palu. Mungkin sejak dulu, selain berorientasi bisnis, event model itu menjadi semacam stimulan lain bagi musisi Palu untuk menggantungkan eskpektasinya: meninggalkan kampung halaman dan bergelut dengan nasib, dengan karya dan dengan kesempatan masuk dapur rekaman.

Beberapa nama tercatat di blantika musik Indonesia. Abdee Negara (Slank), Rival Himran (Pallo), Sigit aka Pasha (Ungu), Nizar (Zarro),  Reza (Peterpan), Adi Lawido (Tony Q Rastafara), Indha (Cozy Republic), Harry Mantong (Indonesian Idol) untuk menyebut beberapa nama itu.  Tentu saja masih ada nama-nama lain yang terlewatkan oleh saya. Jauh sebelum itu, Hengky Supit (Whizzkid) seperti tak asing di telinga orang Indonesia.

1996
Saya meninggalkan Palu dan memilih Bandung dengan dua cita-cita sekaligus: bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan jadi musisi.  Atmosfir kota yang dingin itu memicu sesuatu, kreasi. Saat itu, tren musik sedang bergerak kearah alternatif. Saya tertarik di satu sisi dari gejala itu, Seattle sound, dan mulai mengakrabkan telinga dengan band-band asal Seattle itu: Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, Nine Inch Nails.

Gejala yang kemudian terbaca oleh saya dimaknai oleh komunitas-komunitas subkultur di Bandung sebagai Do it Yourself. Tidak hanya musik, sastra, rupa, hobi, literasi, bergerak kearah sana. Mereka sering menuliskannya DIY. Ini menjadi semacam gerakan kultural baru yang di ranah musik, band-band mulai melepaskan diri dari pengaruh band idola, berkreasi menciptakan karya sendiri dan menyusun strategi pemasaran. PAS band mungkin jadi sampel abadi untuk menjelaskan fenomena itu, tidak saja di Bandung, tapi juga Indonesia.

Saya mengamati gejala itu dari dekat. Gejala yang berjalan seiring dengan periode ketika politik Indonesia jenuh di tahun 1998 dan reformasi menjadi anak kejenuhannya. Sempat setelah selesai kuliah pada 2001, orientasi bermusik saya ditantang oleh kawan yang saya idolakan sikap dan selera bermusiknya, Adi Tangkilisan. Adi, gitaris yang di Palu terkenal dengan band Pleaseat, sebelumnya sudah mencoba mendokumentasikan karya mereka. Bersama Rival (bass), hijrah ke Jogjakarta untuk menyusun segala sesuatunya tentang band itu dari sana. Kevakuman dua personil Pleaseat itu saya isi (drum), sembari menunggu kepastian Abdi (vokal) yang masih di Palu.

Hampir setahun kolaborasi itu berproses tanpa orientasi, tiba juga di titik nadir. Saya memilih balik ke Bandung, Rival pindah ke Jakarta, dan hari ini setelah sekian tahun berkolaborasi dengan banyak solois dan band, Rival memutuskan untuk membangun sebuah duo Reggae solid yang dia beri nama Pallo. Sebuah album sudah dihasilkan. Doa saya panjang buat Rival untuk terus eksis berkarya.    

Timur dan Barat
Periode ketika festival musik booming di awal 90an –mungkin hampir setiap minggu festival dihelat di Palu, muncul kecenderungan soal dikotomi antara timur dan barat. Jojon menegasi anggapan saya soal dikotomi itu. Baginya anggapan itu salah, sekalipun tak benar-benar salah. Dikotomi itu menurut Jojon terjadi karena fans, para pendukung tempat band itu didirikan. Bukan oleh band itu sendiri. Groupies, mungkin istilah kekinian yang tepat bagi para pendukung sebuah grup band.

Di masa itu, yang saya ingat hanya beberapa. Wild Cats, Makachecho, Grandness, Azymuth, yang barat, dan Kantata, Ex Collection, Pluto yang timur. Tapi seringkali sulit mengidentifikasi band, karena sebagian besar band lahir menjadi tak sekadar kumpulan orang yang memainkan alat musik, tapi juga semangat berkumpul. Sebagai contoh tentang ini saya ingin mengajukan Kantata Pleaseat, yang awalnya diidentikkan sebagai mimikri Iwan Fals.  

Penanda polarisasi timur-barat kemudian oleh Jojon mungkin dapat terlacak ketika pada akhir 80an, sebuah event kontes lagu-lagu The Beatles digelar. Aura soliditas masing-masing pendukung band terasa ketika yel-yel diteriakkan, sekalipun sebenarnya tidak jarang ada anak timur yang main di band dari barat, dan begitu pula sebaliknya. Jembatan, seringkali berkecenderungan memisahkan.

Tentang kecenderungan kiblat bermusik pun sama. Era mengidentikkan Madness dengan Genesis, The Police, dan band-band beraliran new wave, punk, dan progresif rock masa itu. Ermas Cintawan, basiss Madness saat itu mengamini identifikasi macam itu. Selain itu, kecenderungan lain yang bisa di baca pada pelaku lainnya misalnya pada Revi Passau cs yang memainkan The Beatles atau The Rolling Stones.

Menurut Jojon, God Bless menjadi salah satu kiblat mereka di barat (Boyaoge, Kamonji, Kampung Baru), karena di masa itu yang soulnya sama seperti God Bless macam Deep Purple, Led Zeppelin, juga mereka mainkan, tapi soalnya ada pada susahnya mencari vokalis yang aksentuasi Inggrisnya baik.

Kecenderungan lain ada pada soal nama band. Di barat ada banyak nama band yang pemain-pemainnya berpindah dari satu band ke band yang lain, yang bisa jadi dibentuk dengan nama baru, atau saling berganti. Beda dengan misalnya di timur yang secara kasuistik, bisa dilihat pada band Ex Collection yang bermarkas di bilangan jalan Sultan Hasanuddin, Jojon menambahkan.

Sisi positif lain dari musik, khusus di wilayah Boyaoge adalah anak-anak muda disana seperti mendapatkan wadah untuk mengaktualisasikan diri. Sejak lama, ada dua band, Gembira Ria dan Soneta yang punya alat band yang biasanya mereka akses untuk latihan atau mereka lihat penampilan dua band itu saat ada acara syukuran atau kawinan. Musik yang dimainkan all round, dari dangdut sampai rock.

Saya baru tahu ketika akan memulai tulisan ini, Jojon adalah basiss terbaik saat festival rock se Sulawesi yang diadakan Uzi itu.

Era Awal
Di ranah musik, modernitas Indonesia bisa diraba ketika pelaut-pelaut Potugis masuk membawa Fado, musik Portugis yang kemudian dikenal dalam bentuk awalnya sebagai Moresco dan akhirnya sebagai Keroncong. Modernisme yang mungkin tak lebih dulu meraba Palu, tapi Parigi, ketika Hasan Muhamad Bahasyuan (1930 – 1987) mulai mengeksistensikan dirinya sebagai seniman besar yang mulai memperkenalkan musik Hawaiian band dan kemudian membentuk sebuah orkes keroncong yang diberi nama Irama Seni pada 1947. Saat itu beliau menjadi pemain biolanya.

HM Bahasyuan seolah jadi pintu masuk untuk menjelaskan perkembangan awal modernisme musik di Palu, ketika pada 1965 dari Parigi, Bahasyuan muda pindah ke Palu dan membentuk band yang diberi nama Nada Anda, cikal bakal Risela, band populer masa itu singkatan dari Riri Sekeluarga. Riri adalah perempuan, anak tertua Aziz Lamadjido (alm), tokoh yang kemudian pernah menjabat sebagai Bupati Donggala dan Gubernur Sulawesi Tengah. 

HM Bahasyuan telah meletakkan pondasi dalam perkembangan musik modern dan spirit lokal di Palu. Sebagai contoh, lagu Posisani gubahan HM Bahasyuan yang menurut Jojon punya akar (roots) rock n’ roll. Atau pada lagu Kaili Kana Ku Tora yang pop a la Rinto Harahap yang saat itu tren.

HM Bahasyuan memang telah pergi mendahului, tapi keroncong belum mati. Saya menemukan nafas musik itu hidup di keluarga Yusuf Dadang yang sampai hari ini masih tetap memainkan irama keroncong bersama keluarga dan kerabatnya di ruang tamu rumahnya di jalan Sungai Balantak, Kalikoa. Cuk, Kontra Bass, Biola, Seruling, masih bunyi dari rumah itu. Sebagai seniman musik,  Yusuf (74 tahun) berpesan bahwa musik baginya adalah hidup, dan untuk itu sampai hari ini pula Yusuf masih bermusik.

Akhirnya…
Saya masih bermusik. Mungkin dengan orientasi yang tidak lagi menjadikan musik sebagai pilihan dan sandaran hidup. Maret 2008 saya bersama Kiki, drummer band OFF itu, menginisiasi terbentuknya sebuah komunitas musik yang kami beri nama Palu Jam of Claro (classic rock). Momen yang kami rangkaikan dengan undangan kami pada sebuah band rock n’ roll dari Bandung The SIGIT.

Setelah pulang kampung pada 2007, saya tak punya peta. Kalaupun ada, peta yang saya gunakan adalah peta buta yang tak punya penanda. Tapi saya tahu, media, khususnya radio-radio di Palu juga memberi ruang khusus buat musisi Palu yang ingin memperdengarkan karya-karya mereka pada pendengar. Organizer-organizer tumbuh dan tak jarang bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan rokok atau produk jasa lainnya menggelar event-event yang melibatkan band-band dengan karya sendiri yang seringkali dilabeli dengan lema indie (dari kata independent).   

Di sebuah waktu yang bersamaan, event-event itu menyebar dan pilihan atasnya beragam, termasuk pada pilihan genre musik yang ingin didengarkan.
  

Terakhir, pada Desember 2011, impian saya yang lain, mengundang band pop Efek Rumah Kaca main di Palu terwujud. Dua band yang saya suka. Suka yang tidak biasa. Suka musikalitasnya, suka langgamnya, suka sikapnya bermusik: memadukan kebutuhan hiburan dan refleksi yang menginspirasi.  

Epilog
Saya senantiasa membangun kepercayaan bahwa karya seni yang baik akan menjadi serupa bunga yang didatangi kumbang. Cepat atau lambat ada pada soal waktu, bukan? dan bukan ruang! Teknologi, menciptakan ruang terbuka yang akan menjawab kebutuhan teknis pendokumentasian karya seni juga sekaligus sebagai alat mempublikasikan karya seni itu sendiri. Tapi tentu saja dengan tetap menggunakan strategi untuk menemukenali orientasi berkarya. Dan akhirnya, sebagai sebuah gerakan kultural, lokalitas dalam karya seni harusnya dimaknai sebagai spirit yang memberikan kekhasan.

Postingan Sebelumnya..