Wednesday, February 10, 2010

Video Art, Gampang-gampang Susah



Paperbag Scene (American Beauty, Sam Mendes, 1999)


Saya ingin memulai tulisan ini dari sebuah film Hollywood”berisi” yang box office berjudul American Beauty (Sam Mendes, 1999). Bukan topik dari film yang bercerita tentang potret keluarga ”sakit” karena mimpi-mimpi Amerika itu yang ingin saya ambil sebagai bahan tulisan, tapi soal beberapa scene (adegan) dalam film itu yang menyajikan betapa enteng sesungguhnya menerjemahkan ide-ide disekitar kita menjadi gambar yang bergerak dan bersuara.


Seorang remaja pria tanggung (Wes Bentley) yang hari-harinya diisi dengan menenteng-nenteng camcorder dan mengabadikan apa saja mulai dari kegiatan tetangganya, yang ditemui dijalan, sekolahnya, hingga kesehariannya di rumah. Pada sebuah adegan, remaja pria tanggung itu mempresentasikan karyanya pada seorang perempuan sebaya tetangganya.


God is small things, tulis Arundhati Roy, pada judul buku fiksinya. Remaja itu merekam sebuah peristiwa kecil yang mungkin untuk ukuran banyak orang tak memberi kesan apa-apa kecuali yang tampak pada mata kasat: sebuah kantong plastik bekas yang terbang kesana kemari dipermainkan angin namun seolah sedang bermain, berangsur-angsur bergerak jauh, lensa tetap berfokus padanya. Desis angin yang meniup plastik itu seperti perumpamaan (metafora) percakapan manusia yang memperkuat adegan-adegan ganjil itu, yang ditambah instrumentalia organ klasik mendayu-dayu getir dibelakang. Remaja itu seperti sedang ingin menjelaskan siapa dia dan bagaimana dia dan hidup saling bercengekrama. Kantong plastik bekas dan angin menjadi metafornya.


Saya menyebutnya video art. Serupa puisi yang tidak dimaknai konvensional, ditulis dan dibacakan oleh penyairnya. Juga tidak seperti pakem film konvensional yang ada alur (plot) ceritanya, ada konfliknya, ada orang-orang bercakap atau narasi yang dibacakan oleh orang pertama. Film yang seperti ini (video art) menurut hemat saya adalah medium baru bagi siapa saja yang ingin mengabadikan semua hal yang bergerak dan bersuara. Tantangannya kemudian adalah melanjutkan hal-hal kecil ini menjadi metafora, menjadi semacam sebuah pesan ke struktur terdalam kesadaran kita yang ingin meresepsinya sebagai tontonan. Agak repot karena tafsir menonton kita kadang suka berhenti dilapisan kulit ari yang superfisial oleh cerita-cerita yang terlalu realis, kadang tidak logis.


Disatu sisi gampang. Apa susahnya merekam aliran air di selokan atau yang sedang mengucur jatuh dari keran. Atau sekadar merekam percakapan orang dengan tanpa tendensi apa-apa. Lagipula teknologi menjadikan semua proses itu dimungkinkan. Tak harus kamera profesional. Fitur perekam pada telepon genggam juga sudah bukan barang langka. Soalnya kemudian adalah, apakah kita punya kepekaan (empati) pada hal-hal yang terjadi di sekeliling kita, yang kemudian bisa kita tangkap menjadi ide, syukur-syukur pesan, dan kita pindahkan ke medium menjadi gambar-gambar yang bergerak dan bersuara. Disitulah letak susahnya.


Tak ada yang salah dari sebuah rencana membuat mahakarya (masterpiece) dalam sejarah hidup setiap kita. Bagi pemula termasuk saya, jebakan-jebakan itu, membuat sesuatu yang besar, dahsyat, monumental adalah naluri lain yang bekerja pada setiap manusia. Saya memakluminya, sekadar mencurigainya dengan positif, karena energi yang berlebih diusia muda. Ketika hal-hal kecil bisa kita selesaikan, hal-hal besar biasanya mengikuti. Saya mengimani ini. Small is Beautiful kata E. F. Schumacher, penulis buku ekonomi klasik yang juga ingin saya kutip dalam tulisan ini.


Saya jadi ingat petuah bijak. Bukan soal susahnya sesuatu, tapi memulainya. Mulainya mungkin tanpa pesan. Rekam apa saja. Abadikan!



(tulisan didedikasikan untuk event Bioskop Filem Pelajar Palu, 14-15 Februari 2010)

Tadulako Bulili, Tradisi Lisan, Kelisanan Kita

Saya cuma dapat 4 cerita rakyat yang asalnya dari Sulawesi Tengah. 3 dari rak buku di perpustakaan kecil saya, satunya dari berselancar di dunia maya.


Yang pertama judulnya Cerita Rakyat Sulawesi, ditulis Tuti A. Windri dan Wahyu Untara, diterbitkan oleh Penerbit Sinar Cemerlang Abadi pada tahun 2007 di Jakarta. Lima dari cerita dalam buku itu yang khas mendekati Sulawesi Tengah adalah cerita dengan judul Tadulako Bulili. Lalu yang agak lebih khusus, buku terbitan Grasindo, Jakarta (1996) yang berjudul Cerita Rakyat dari Sulawesi Tengah, ditulis oleh Muhamad Jaruki dan Atisah. Cerita dengan judul sama, Tadulako Bulili, saya jumpai lagi di buku ini bersama 8 cerita lainnya: Pue Njidi, Legenda Batu Bagga, Tobata, Tau Niulaya Nu Bau, dan cerita-cerita lainnya.


Ketiga, buku kompilasi terbitan Indonesia Tera (Yogyakarta, 2007) dengan judul Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua. Dari Sulawesi Tengah oleh Dea Rosa yang menjadi editor buku itu, di pilih cerita dengan judul Tadulako Bulili (halaman 141).


Ketika berburu cerita rakyat Sulawesi Tengah dari internet pun rekomendasi Google mengarah pada cerita dengan judul yang masih sama, Tadulako Bulili (Website Cerita Rakyat Nusantara).


Apa pesan dari situasi yang tanpa sengaja (serendipity) ini? Beberapa bisa saya jawab. Salah satunya adalah buku-buku itu dikemas enteng untuk konsumsi anak-anak karena di buat dengan pendekatan komikal khas bacaan anak-anak. Dapatlah kita berpikir positif upaya itu sebagai bagian membangun kepekaan literasi di usia dini. Yang agak mencolok adalah tampilnya topik utama dari buku-buku dan web itu, cerita Tadulako (Panglima perang) Bulili, serupa knights dalam terminologi barat, 3 pria gagah, Makeku, Molove, Bantaili, dan konflik 2 lokus cerita dari lembah Palu, wilayah Bulili dan Sigi.


Selanjutnya apakah kemudian cerita Tadulako Bulili ini bisa disebut sebagai brand folklore khas Sulawesi Tengah, lembah Palu, Suku Kaili? Artinya punya posisi yang sama representatifnya dengan misalnya ketika kita menyebut Jawa Barat lalu sontak kemudian ada Sangkuriang atau ketika Betawi ada Pitung. Saya ragu. Saya tidak mengalami ini sebagai sebuah memori masa kecil. Pun buat anak-anak sekarang, yang saya juga tidak begitu yakin mereka tahu dan suka. Mudah-mudahan kita sama paham tentang petuah logis nan bijak tak kenal maka tak sayang.


Tentang Tadulako Bulili diajukan dan disepakati sebagai brand cerita rakyat Sulawesi Tengah tentu saja bisa dilakukan. 3 buku diatas itu rasanya tidak secara langsung bertemu dan menyepakati. Masalahnya, apakah di khalayaknya sebuah cerita diterima sebagai konsensus bersama?


Cerita rakyat (folklore) sejauh yang saya tahu adalah semacam konsensus, wacana tidak tertulis yang hadir dalam memori penuturnya, disepakati turun temurun sebagai spirit komunitas dan seringkali diyakini sebagai tradisi. Wikipedia mendefinisikannya sebagai pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasehat, balada, atau lagu


Beda dengan tetangganya di Selatan yang punya aksara Lontara, tradisi di Sulawesi Tengah diekspresikan dengan cara yang sama dengan sebagian besar kebudayaan di nusantara, lisan. Termasuk pada kreasi-kreasi seninya seperti sastra. Dan pada sastra dapatlah kita ajukan sebuah jenis sastra di lembah Palu yang diekspresikan secara lisan. Dikenal sebagai Dadendate (Amin Abdullah, 1999), nyanyian bercerita Kaili Kori yang dibawakan dengan cara bernyanyi, diiringi Kecapi dan Mbasi-mbasi.


Seorang kawan yang sastrawan pernah memberi saya sinyalemen tentang kenapa sastra belum begitu mengakar pada kita di Palu. Beberapa diantaranya adalah karena komitmen media lokal kita untuk memberi ruang baginya –sastra, yang kemudian berlanjut pada masalah turunannya: tidak adanya kritik(us) sastra, jarangnya penerbitan buku-buku sastra. Saya ingin menambahkan, senjakalanya kita pada budaya menerima sastra tidak saja sebagai bacaan, tapi juga spirit lokal dan jaman.


Saya membayangkan sebuah masa entah kapan ketika generasi selanjutnya benar-benar putus hubungan dengan tradisi. Para maestro kesenian yang seringkali hidup jauh dari hibuk polemik urban sudah tua dan bisa dihitung jari. Beberapa malah telah pergi meninggalkan dunia dan kekhawatiran tanpa warisan penerus.


Dokumentasi intens bagi tradisi lisan harus kita dukung habis-habisan. Ini agar tak dibawa terbang oleh angin. Saya pernah dikritik oleh Ibu Pudentia, seorang peneliti dari Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) soal ini dalam sebuah forum (Februari 2009). Beliau mengatakan ekspresi tradisi lisan oleh pemakainya/penuturnya tidak semuanya bisa dilakukan dengan tulisan, misalnya. Saya datang padanya secara personal dan meluruskan bahwa maksud saya soal dibawa angin itu adalah otokritik bagi saya, kita yang sudah hidup dalam adab menulis. Tulisan, foto, rekaman audio, visual, script, dan sumber sejarah (heuristik) lainnya harus selalu dikumpulkan.


Harapan saya adalah angka yang terlalu kecil diparagraf awal tulisan itu bukan realitas yang sesungguhnya. Mungkin masih ada buku dan literatur lain yang masih tersimpan di rak-rak buku perpustakaan milik daerah atau lembaga pendidikan macam kampus yang dibiayai negara. Harapan yang juga muncul bagi para insan pemerhati buku dan literatur.


Akhirnya, agar saya tidak terlalu tenggelam dalam kelisanan (scripta manen verba volent, tulisan abadi, lisan dibawa angin) saya akhiri saja tulisan refleksi ini dengan ucapan selamat tahun baru 2010!



(tulisan dimuat harian Radar Sulteng pada 4 Januari 2010)

Postingan Sebelumnya..