Sunday, September 27, 2015

TUT WURI AWAS KENTUT

SAYA tidak sedang ikut-ikutan mencibir. Tapi untungnya Della anak Jakarta, bukan anak Palu. Ya, maksud saya Della JKT48. Tapi saya juga yakin kalau ada remaja di Palu yang jika ditanya apa arti Tut Wuri Handayani juga pasti kelabakan, atau paling tidak tetap percaya diri untuk mengatakan hal yang sama: semboyan itu artinya walaupun beda tetap satu. Apa pentingnya sejarah.

Della JKT48


Buat saya, Della tentu tidak salah. Saya mengamini banyak tanggapan atas kicaunya di twitter itu sebagai upaya tanpa sadar, mengingatkan bangsa yang pelupa akut ini, arti semboyan yang saya juga tidak tahu-tahu benar apa maknanya Tut Wuri Handayani itu. Saya cuma tahu itu semboyan pendidikan yang diperkenalkan Ki Hadjar Dewantara. Della menegaskan pernyataan tokoh pendidikan yang baru-baru ini ditulis Muhidin M. Dahlan itu: nakal harus, goblok jangan.

Della memang harus nakal. Remaja-remaja Indonesia yang tidak kalah paternalistiknya dari orang-orang tua, membutuhkan sosok pemecah kebuntuan. Dan kicauan Della itu memecah kebuntuan. Ini strategi yang harus dipikirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Keteladanan remaja Indonesia hadir dari kotak kaca bernama televisi atau dari semua akun aktif mereka di media sosial internet. Dan bukan dari bacaan, apalagi dari buku-buku, misalnya Pramoedya Ananta Toer, untuk menyebut nama (baca: idola).

Kenakalan remaja yang populer macam Della, tentu dibutuhkan remaja-remaja di seantero Indonesia raya. Pernyataan mereka di semua kanal media sosial memiliki resonansi yang kuat, setara fatwa ulama, atau bahkan bisa mempengaruhi keputusan remaja dalam bersikap: konsumsi, dandanan, gaya bicara, tema obrolan, atau orientasi masa depan. Saya pernah merasakan pengalaman imitasi a la remaja ini dari sosok Onky Alexander. Jadi, apa yang terjadi hari ini adalah pengulangan saja, yang lebih kompleks dalam aspek kemajuan teknologi.    

Teknologi menjadikan batas administrasi wilayah kabur. Ruang jadi tidak penting di sana. JKT48, grup vokal Della yang nakal adalah pernyataan ruang (Jakarta) sebagai penjelasan lain tentang ibukota negara yang pelupa akut ini. Nomor 48 di sana dileburkan oleh teknologi dari proses imitasi yang lebih global. Angka itu diadopsi dari apa ingin saya sebut sebagai gerakan kultural kontemporer Jepang, yang sebelumnya lahir di era penjajahan: Jepang pemimpin, pelindung, dan cahaya Asia. Tidak bisa dibendung. Ini rivalitas Jepang atas wabah K-Pop asal Korea Selatan (yang mustahil terjadi di Korea Utara) yang hadir dalam beragam produk kebudayaan: grup vokal, film seri, dan rambut lurus-jatuh-melayang ditiup angin.

Gubernur Ahok tentu tidak merasa harus risau oleh akronim itu. Karena tidak penting. Jauh lebih penting buat Ahok, remaja-remaja di kota yang dia pimpin itu melek politik, seperti yang disampaikannya dalam bentuk surat yang pernah dia tulis. Gerai kecil berjudul Teman Ahok juga telah hadir di beberapa atrium mall di Jakarta, yang ditunggui oleh remaja, untuk kumpul Kartu Tanda Penduduk Jakarta yang akan mendukung pencalonannya sekaligus memilihnya nanti dalam pilkada Jakarta 2017 dari calon perseorangan. Ya, yang risau dalam soal Della ini saya. Kenapa?

Di Palu, tempat saya tinggal, teknologi belum mampu mengaburkan definisi ruang. Makanya saya berpengharapan, harusnya grup vokal itu namanya bukan JKT48. Pemerintah daerah harusnya bisa bernegosiasi dengan manajemen untuk menggunakan akronim PLW48 atau ST48. Orang-orang lalu akan bertanya, apa itu PLW, ST, akronim dari Palu dan Sulawesi Tengah.

Selain menteri pendidikan dan kebudayaan, perlu kiranya kepala daerah juga memikirkan strategi menjadikan popularitas a la televisi dan media sosial sebagai teknik mengenalkan daerah. “Kita akan dikenal,” kata seorang kawan menyebut nama seorang sosialita yang ditambahi label: anak-Palu, dari-Palu, orang-Palu. Ini menjadi semacam fakir keteladanan lokal yang kurang keren (karena kurang membaca), khas remaja daerah sebagai upaya mengidentifikasi bahwa ada remaja pusat. Della adalah salah satunya.  

Namun, satu dari sekian hal yang saya syukuri di hari minggu ini adalah remaja Palu sedang merayakan ulang tahun kotanya. Happy birthday, Sulawesi Tengah.


Tulisan ini saya dedikasikan untuk TerkamFest, 27/09, Citraland Palu 

Saturday, April 18, 2015

MENCOBA UTUH DI PENGGAL LAGU

Catatan buat Record Store Day, Nebula Outdoor Venue, Palu, 18 April 2015



Masih adakah dari kita yang hari ini mendengar lagu dari kaset, yang itu juga berarti menggunakan tape?

LAGU-lagu di dalam hard disk di laptop saya tak banyak. Lagu-lagu yang isinya kurang lebih sama dengan teman-teman saya sebaya. Nama-nama folder yang juga biasanya sama: barat, Indonesia, asing, lokal, bule, dst. Nama-nama folder yang seragam buat, biasanya film, termasuk film esek-esek. XXX. Lagu-lagu itu tersimpan di sana untuk menemani saya menulis, melamun, atau memang menikmatinya sebagai album dalam pengertiannya yang utuh. Pada soal yang terakhir itu –menikmati, saya ingin mengantar tulisan ini.   

Hari ini rasanya, musik tak lagi dinikmati sebagai keutuhan, seperti halnya buku. Sekalipun tak sedikit juga buku dengan isi buruk karena tak bisa dinikmati sebagai sebuah proses kreatif yang utuh. Musik hari ini bagi saya dinikmati sebagai proses kreatif terpenggal musisi baik solo ataupun band. Lagu-lagu dinikmati dalam apa yang didefinisikan media massa sebagai hits. Seringkali kita menemukan ada nama folder untuk menyimpan yang hits-hits belaka. Biasanya campur, laguku, favorite, dst.

Pola konsumsi pada produk kebudayaan berubah. Teknologi informasi memudahkan kita untuk mengenal dan mendekati sebuah produk, sekaligus mereduksi empati kita untuk mengalami bersama proses bagaimana sebuah produk lahir. Pada musik, saya merasa menjadi tidak lagi memiliki empati untuk mengapresiasi musisi yang saya sukai. Detourn, album terakhir The Sigit yang mereka lepas di website mereka itu, toh akhirnya tinggal copy lalu paste. Kita tak perlu merasa harus antri ke toko untuk menunggu sebuah album musik dijual, seperti ketika misalnya produk sebuah gadget terkenal dirilis atau serupa serial Harry Potter.

Tidak sedikit toko-toko kaset gulung tikar atau bermetamorfosa menjadi toko cd, dvd, dan music merchandise. Musisi pun sama. Dalam situasi ketika karya-karya mereka tak dibeli massif dalam konteks produk, tur dan merchandise menjadi jalan keluar.

“Coba cari saja di youtube atau soundcloud. Atau kalau tidak dapat di situ, ya tanya google.”

Tidak seperti delapan tahun yang lalu, yang rasanya menjadi tahun terakhir saya menikmati musik sebagai keutuhan, pada band yang sama, The Sigit. Tahun ketika record store day juga baru diperkenalkan, mungkin untuk merayakan semacam kematian sebuah babak dalam skena musik dunia. Tahun 2008, saya menikmati album Visible Idea of Perfection (2006, ffcuts records) dalam bentuk kaset. 13 lagu dalam album itu seperti menjadi satu dalam kepala. Utuh. Di tahun yang sama, band itu saya nikmati di depan mata kepala saya sendiri. Di Palu!

“I hate the disco, give me some rock n’ roll…”

Saya membaca pengalaman yang dilakukan teman-teman saya di Makassar, di Kampung Buku. Sebuah inisiatif pernah digelar di sana dan diberi nama Rewind! Ketika orang-orang datang untuk mengaktualisasikan dirinya dengan cara berkisah: pengalaman pribadi dengan lagu dari kaset yang sudah barang tentu dia suka, dia menjadi utuh di dalamnya. Menarik sekali!

Di tengah apresiasi yang tidak utuh itu, televisi-televisi kita menyumbang sebuah tradisi baru menikmati musik, dengan meracuni pagi kita yang suci dengan lagu-lagu –meminjam syair Efek Rumah Kaca, benar-benar melayu / suka mendayu-dayu… manusia dikumpul dalam apresiasi yang kaku dan menjadi serupa babu. Jadi hapal lagunya karena didengar terus.

Ah, dengar saja lagu. Tak perlu sedu-sedan itu.

Sunday, December 7, 2014

Aku, Dua Anak Perempuanku, dan Penjelasan-penjelasan yang Tidak Selesai

AKU mau, kelak, anak-anak perempuanku tumbuh sebagai anak-anak perempuan yang cantik dan cerdik.

Kata cerdik kupilih sebagai sesuatu yang menurutku unik. Kata cerdik seolah menegaskan sisi cantik dalam diri perempuan sebagai kemampuan membaca, memahami situasi tentang kedirian mereka, tubuh mereka, dan yang berada di luar itu semua. Wajah peradaban hari ini begitu maskulin, lelaki, patriarki. Pelakunya tak hanya lelaki. Perempuan yang menjadi korban dari situasi yang patriarki ini tak jarang menjadi yang melanggengkan, melegitimasi.

Aku membayangkan itu semua. Semacam kecemasan dari bayanganku sendiri sebagai mahluk lelaki melihat apa yang terjadi sehari-hari.

Dua anak perempuanku yang masih kecil-kecil itu bertanya tentang penamaan-penamaan itu, terlebih pada kata-kata yang di telinga mereka terdengar asing, baru. Dan ini adalah yang paling sulit. Anak-anak kecil tidak butuh definisi. Yang dibutuhkan anak-anak kecil adalah penjelasan yang bisa mereka rasa dari melihat dan mendengar tanpa perlu berimajinasi. Apa yang mesti aku jelaskan pada mereka untuk menerangkan arti patriarki.

Aku ingin, kelak, anak-anak perempuanku bisa berkeliling dunia, melihat apa yang terjadi di luar sana, merasakannya, menemukan hal-hal baru yang beragam itu dan memahaminya sebagai kenyataan.

Serupa burung di lagu Nelly Furtado itu (I'm Like a Bird, 2000), terbang jauh, kadang sendiri, kadang beramai-ramai, hinggap kemana saja tempat nyaman yang dia suka, bermigrasi, menjadikan tubuh adalah rumah, tempat pulang dan mesti dilindungi. Mereka pernah bercerita soal ini kepadaku dan bercita-cita atas cerita mereka itu. Keliling dunia. Naik pesawat, kereta, bus, kapal, dan semua moda transportasi yang mereka pelajari dari buku ajar di sekolah. Pindah dari satu kota di satu negara ke kota berikutnya di negara yang lain.

Aku bilang kepada mereka harus pandai agar bisa mewujudkannya. Tentang pandai seperti apa yang harus mereka capai, adalah yang dihargai dalam banyak bentuk. Tak puas, mereka bertanya lagi, bisakah tanpa mesti pandai? Lama aku diam menghadapi pertanyaan yang terasa sederhana itu dan akhirnya memang tidak bisa aku jawab. Aku malah menambahkan, pandai dibutuhkan perempuan agar tak dibodohi lelaki. Dua anak perempuanku itu hanya bersitatap dan lalu tertawa.

Untungnya aku tidak ditanya oleh mereka berdua, apakah lelaki memang suka membodohi. Aku malah ingin menambahkan, menguasai. Pada kata yang terakhir itu, biarlah nanti ketika mereka beranjak dewasa dan membaca tulisan di blog ayah mereka ini. Mereka memanggilku “ce” dari pace yang artinya ayah. Soal panggilan itu, aku juga ingin agar mereka tahu kelak, dalam bahasa latin, kata itu –ditulis che, adalah bermakna kawan.

Entah dibutuhkan atau tidak, dalam keadaan dikuasai, siapa pun bisa licik, makna lain cerdik.


Monday, August 25, 2014

Bioskop Palu: Dulu dan Sekarang

Catatan pengantar German Cinema 2014 di Palu

BIOSKOP di Palu mati ketika abad berganti. Milenium. Itu jika penanda akhirnya adalah Palu Studio, bangunan dengan tiga studio berkapasitas masing-masing 222 tempat duduk itu. Bioskop yang sebenarnya berjejaring dengan grup 21 dalam soal distribusi film itu hanya bertahan 9 tahun, sejak beroperasi bulan Agustus 1991.


Jauh sebelum Palu Studio, Kota Palu telah punya sejarah panjang bioskop. Sebuah foto milik Tropenmuseum  Belanda menyebut sebuah bioskop di Paloe bernama Elite, bertitimangsa 1920. Elite menjadi cikal-bakal bioskop di Palu yang timbul tenggelam dengan beragam nama: Fujiyama, Istana, Karya, Surya.  Gedung Manggala milik TNI/AD dulu ABRI yang hari ini telah berubah fungsi menjadi gedung serbaguna untuk acara pernikahan dan konser musik, di era 80an adalah gedung bioskop yang ditata amphiteater. Di era ketika Soeharto masih berkuasa, gedung itu telah jadi saksi pemutaran rutin tahunan setiap akhir bulan September film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Sutradara Arifin C. Noer, dan saksi bagi baik buruknya nilai murid untuk pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di sekolah dasar.

Gedung Manggala Cakti, 1971
Itu belum Kota Donggala dan di sepanjang Pantai Barat di kabupaten itu yang dahulunya juga punya sejarah yang tak kalah panjangnya perihal bioskop. Terlebih Banawa, ibukota Donggala yang dahulunya ramai oleh sibuk pelabuhan. Donggala tentu lebih panjang kisah dinamika sosialnya dari Palu yang menjadi salah satu kecamatannya, sebelum pada akhirnya mekar menjadi kota administratif di rentang antara tahun 1974 hingga 1978.

Di Tanjung Padang, Sirenja, kampung Sineas Yusuf Radjamuda melewati masa kecilnya, sebuah bioskop telah ikut memberi pengaruh besar pada sejarah sosial kampung. Film-film produksi Bollywood yang diputar di sana telah menjadikan beberapa nama kawan sebayanya diberi nama orang tua mereka, nama-nama yang identik India. Kumar, untuk menyebut salah satunya.

Dalam sebuah wawancara dengan pengelola bioskop Palu Studio yang tidak ingin disebutkan namanya, sebuah gambaran bisnis bioskop diterangkan. Agar bisa bertahan, menurutnya, investasi saham mesti fifty-fifty agar sama-sama merasa memiliki bisnis yang dijalani. Nama Palu Studio itu lahir karena besar saham lebih dimiliki investor lokal. Saham sisanya hanya jaringan distribusi film dan promosi. Masa itu pita film-film box office dijadwalkan. Terminator 1 yang booming, sold out selama 1 minggu pemutaran di dua studio. Tapi jadwal hanya seminggu, padahal animo penonton masih besar. Film Indonesia mati suri. Produksi film nasional masa itu hanya hantu-hantu sexy. Sayangnya kebangkitan film nasional pasca Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000) dan Ada Apa Dengan Cinta (Rudi Soedjarwo, 2002) tak bisa bikin Palu Studio kembali buka layar. Film-film sebelum Palu Studio gulung layar adalah film-film mandarin. Di waktu yang bersamaan, peminjaman film dan film-film bajakan marak di pinggir jalan dalam bentuk cakram.

Hari ini Kota Palu memang tak lagi punya gedung bioskop. Jika pun ada pemutaran-pemutaran film, yang lebih sering ilegal karena tak dapat restu rumah produksi, didorong oleh beragam motif: bisnis, semangat mengapresiasi, atau kombinasi dari dua hal itu. Pilihan tempatnya hanya di gedung pertunjukan Taman Budaya atau di Madamba Pura punya RRI.

Untungnya kota ini punya bioskop dalam arti yang lain, yang menjelma menjadi apa saja yang berbau bioskop: memutar film, mendiskusikannya, berjejaring dengan komunitas seminat di luar kota, mencatat gejala yang timbul olehnya, mengajak warga kota untuk tak sekadar mengapresiasi film sebagai hiburan belaka, tetapi juga refleksi bersama bagi interaksi di antara sesama mereka yang menonton film, bahkan menjadi tempat memberi stimulus dan tantangan buat beberapa yang sering terlibat untuk melahirkan karya serupa: film. Mereka menamakan keisengan itu sebagai Bioskop Jumat yang awalnya bersepakat untuk punya ritus bersama di setiap jumat malam untuk menonton. Lalu tak lagi hari jumat dan menjadikan setiap malam bisa menjadi bioskop.

Tidak seperti ibukota propinsi lainnya di pulau Sulawesi macam Makassar, Manado, Kendari, atau Gorontalo yang baru saja buka bioskop pada Mei 2014 lalu, hari ini Palu tak lagi punya bioskop. Pertimbangan bisnis rasanya menjadi yang utama dalam soal itu. Mungkin berkaitan dengan jumlah penduduk atau daya beli dari jumlah itu terhadap hiburan khususnya menonton film di bioskop. Hal yang sama berlaku juga dengan bisnis lain macam toko buku berjejaring, waralaba, franchise.


Tetapi untungnya ada Bioskop Jumat yang mulai besok (26/8) kembali bekerjasama dengan lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institut, untuk kali kedua setelah tahun 2013 lalu, akan memutar film-film terbaik Jerman selama 3 hari di gedung auditorium Madamba Pura RRI setiap jam 14.00, 16.00, dan 19.30. Kerinduan pada suasana bioskop yang gelap dan dingin akan coba kembali disuguhkan untuk menyegarkan kenangan mereka yang pernah merasakan. Mari datang menonton dan mengapresiasi film. Gratis!

Tantangan terbesar Bioskop Jumat adalah nyamuk, yang seringkali jadi penonton lain di manapun pemutaran film yang mereka lakukan.


Sumber:
- Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Anhar Gonggong dkk, 2005, Palu.
- Tropenmuseum
- Slide foto Aziz Larekeng (alm)
- http://shw.affando.fotopages.com/6164858/Palu-Studio21.html 

Postingan Sebelumnya..