Wednesday, April 3, 2013

JENUH

CATATAN FORUM SKPD dan MUSRENBANG KOTA PALU 2013


SAYA mengikuti proses selama dua hari (26-27 Maret) kegiatan Forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) –kata lain dari kantor, dinas, badan, yang dirangkaikan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang diselenggarakan Bappeda Kota Palu. Ada banyak catatan dari kegiatan yang baru pertama kalinya saya ikuti itu.

Kegiatan dua hari itu dibagi dalam dua sesi besar, hari pertama adalah presentasi dari SKPD, hari kedua para peserta yang juga termasuk unsur masyarakat dan akademisi, digabung dalam pembagian kelompok berdasarkan 3 isu utama dalam hal usulan: sosial budaya, ekonomi produktif, dan fisik prasarana.

Sebagai sebuah forum besar di level kota, kegiatan itu saya anggap sebagai proses formal terakhir setelah proses-proses yang sama sebelumnya dilaksanakan secara bertahap dari tingkat kelurahan dan lalu kecamatan. Itulah forum di mana kantor, melalui kepala dinasnya, atau yang mewakili, menjelaskan apa yang belum dicapai, apa yang sudah dicapai, dan apa yang akan dicapai setahun ke depan.

Itu pula forum di mana semua hal harusnya diperdebatkan dengan elegan, terkait anggaran dan kegiatan-kegiatan penting yang jadi prioritas karena sumber daya anggaran terbatas, sebagai upaya merasionalisasi kebutuhan, juga untuk mendekati visi dan misi kota yang disepakati itu, yang dikuatkan pula oleh peraturan.

Forum yang seyogyanya dirayakan sebagai alat ukur capaian berkota itu, juga adalah alat menyaring banyaknya kepentingan, kenapa yang x didahulukan, sebaliknya yang y tidak, dan seterusnya.

Apa yang saya rasakan dari proses dua hari itu? Kejenuhan yang teramat sangat. Yang lainnya? Saya membayangkan sebuah kota, yang di dalam kota itu orang-orang bekerja sendiri-sendiri untuk satu hal yang tidak begitu pula dimengerti: visi.


Pada tema kemiskinan misalnya. Kantor-kantor bekerja dengan pendekatan sendiri-sendiri, dengan dampingan masyarakat sendiri-sendiri, pendekatan program dan kegiatan di masing-masing yang sendiri-sendiri, yang itu berarti sajian datanya pun sendiri-sendiri.

Seperti yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pariwisata, Sudaryano Lamangkona, yang merasa berjalan sendiri perihal kawasan religi di jalan Sis Aljufri itu. Sebagai leading sector di topik itu, ada sektor-sektor lain yang harusnya mendukung: penataan ruang, penyiapan infrastruktur, dukungan bagi ukm, dan pendukung lainnya untuk mewujudkan kawasan tersebut. Dinas yang harusnya jadi perhatian karena menjadi salah satu kata kunci terkait visi kota itu, juga merasa sendiri pada soal-soal lain terkait tata kawasan Gandaria, yang diakui dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang kawasan, sebagai teras depan di sepanjang pesisir teluk, sebagai fokus prioritas kawasan wisata.

Kolaborasi, integritas, dua kata kunci yang menjadi judul tema kegiatan itu, bersama kata lainnnya, koordinasi, dan kata-kata teknis dari bahasa serapan asing itu menjadi yang paling sering diucapkan, diumbar, dipilih sebagai diksi yang orientasinya retorika belaka tanpa jiwa, yang enak di lidah tapi tanpa pelaksanaan.

Saya jadi ingat penggalan syair WS Rendra, “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”

Itu belum soal lain terkait pemberdayaan masyarakat atau akses pelayanan publik pada dua hal dasar, pendidikan dan kesehatan, yang secara nasional diakui sebagai prioritas.

Saya kemudian merepresentasikan kejenuhan saya itu pada situasi yang sama: jenuhnya birokrasi. Mungkin karena saya pikir itu adalah kegiatan rutin yang sifatnya wajib. Seperti orang yang beribadah karena tendensi menggugurkan kewajiban, dan bukan refleksi, dari apa-apa yang terjadi di keseharian kota: penataan ruang dan kawasan, sampah, konflik komunal, reformasi birokrasi, akses layanan pendidikan dan kesehatan, yang semuanya terasa masih jauh panggang dari api, dan setumpuk soal lain.

Bappeda sebagai yang punya hajatan, sebagai event organizer kegiatan tahunan itu, tentu tak bisa disalahkan sepenuhnya. Pun juga para peserta, termasuk saya, yang ketika presentasi berlangsung tak merasa betah berlama-lama. Sayangnya, sekalipun dalam banyak hal kegiatan itu punya banyak keterbatasan, saya kecewa tak ada satu pun wakil rakyat yang hadir dalam kegiatan itu. Entah kenapa.

Saya tidak dapat undangan resmi yang berupa kertas fisik. Keterlibatan dalam banyak hal dengan kota, membuat saya merasa wajib hadir, sekali pun hanya tahu dari bincang-bincang di warung kopi. Saya merasa ada yang harus diubah pelan-pelan dari kota ini soal partisipasi, inisiasi, dalam beragam bentuk: hadir dan atau sekadar menulis kegalauan berkota.

Kegalauan yang sama seperti ketika pembagian kelompok pembahasan di hari yang kedua. Saya berpikir, untuk urusan sederhana menata ruang kelompok saja kita punya masalah, bagaimana pula kita melihat yang lebih besar dari sana: menata kota. Dua kelompok yang di tata di satu ruang pembahasan tentu akan saling bertabrakan suaranya karena pengeras suara, chaos, memecah konsentrasi.



Hal-hal sederhana yang terasa biasa, yang liyan dan  karenanya sepele, mungkin serupa contoh lain ketika kita berupaya menuju kota yang bersih. Mari kita tengok kantor-kantor kita, bersihkah? Jika belum, di situasi masyarakat yang begitu kental paternalistiknya, jangan berharap ada perubahan jika anutan tak berubah, bukan?

Saya juga tidak menemukan penjelasan sedikit pun dari yang mengelola pendidikan, sektor penting yang bagi saya wacananya lebih banyak ke soal fisik infrastruktur daripada hal-hal yang substantif terkait pemutuan dan layanan.

Menarik tidaknya kemasan sebuah acara, akan tergantung metode kreatif yang digunakan. Kejenuhan birokrasi terjadi di mana-mana, saya pikir karena soal birokrasi itu sendiri, yang lebih suka merebahkan dirinya pada soal-soal ajeg perihal protokoler dan kesantunan yang kulit ari, dan bukan pada substansi, di mana kreatifitas dan seni mengelola keajegan –atau kebekuan dimungkinkan dan bahkan dipraktikkan menjadi sebuah pendekatan.

Sebagai insitusi perencana daerah, di kegiatan itu saya membayangkan Bappeda sebagai sutradara teater yang pemain-pemainnya adalah SKPD, atau sebagai konduktor bagi sekumpulan orang yang memainkan musik orkestra. Sebagai sutradara, Bappeda harusnya punya kewenangan menentukan skenario yang diperankan SKPD dalam semua proses pembangunan, mengawal akting teater atau bunyi orkestra agar tidak keluar dari tema, menegur bila perlu jika salah, dan sampai pada akhirnya merayakannya dalam forum rutin yang hanya dua hari itu. Selain DPRD dan Dinas Pendidikan, olehnya saya juga kecewa kegiatan itu tak dihadiri wali kota, yang berkuasa penuh pada sutradara teater dan konduktor orkestra.   

Kita patut mengapresiasi pencapaian-pencapaian yang telah diupayakan dari apa-apa yang disampaikan oleh para kepala dinas, dengan tentu saja banyak catatan.

Nyaris tak ada masalah di kota ini dari semua paparan itu. Capaian-capaian angka disebutkan, target-target diraih, dan proyeksi-proyeksi ke depannya disampaikan. Kesan yang coba saya tangkap, kalau pun ada masalah, ya mungkin begitulah dinamikanya, begitulah adanya. Terima saja. Sembari berjanji akan memperbaikinya di hari depan.

Di hari setelah semua peserta bubar dari acara sore itu, tersisa setahun lebih bagi birokrasi Kota Palu bekerja untuk mencapai visi sebagai kota teluk berbasis jasa pariwisata, industri, dan perdagangan yang berwawasan ekologis. Pertanyaannya kemudian adalah, bisakah? Semoga!


Catatan: tulisan ini dipublikasikan di rubrik mingguan Indie, Media Alkhairaat, terbit sabtu, 30 Maret 2013

Postingan Sebelumnya..