Friday, June 8, 2007

Perpusda


Ada mantan presiden Soeharto di gedung perpustakaan daerah. Menyampaikan sesuatu. Kurang lebih bahwa kegiatan membaca buku sama dengan makan dan minum. Primer. Saya berusaha berpikir positif. Mata saya tertumbuk di quote dengan cetakan tebal yang dipampang dipintu bagian depan gedung. Tidak tahu kapan dan dieven nasional apa penggalan itu diucapkan. Ah, tidak penting tahu soal itu.

Ada dua sayap ruang besar yang membagi gedung. Saya beranjak ke salah satunya. Siang yang sangat terik (21/12/06). Bikin sebenarnya kegiatan literasi jadi kurang bergairah. Tidak saja digedung itu, tapi juga kota ini. Berharap ada pendingin udara. Ada. Tapi tak dingin. mungkin rusak, atau tak dihidupkan. Untung angin sepoi dari arah depan, tepatnya dari arah gereja yang katanya tempat seorang pendeta ditembak, masuk pelan melalui jendela.

Saya tidak membaca. Hanya melihat-lihat keadaan sekitar ruang. Beberapa orang asyik membaca. Menulis. Ada anak-anak sekolah yang mendata-data buku. Mungkin magang. Tidak banyak. Dari sana saya bernapas panjang, hmmm, ada gairah, sekalipun tak massal.

Koleksi buku-buku juga lumayan, walaupun memang tak sebanyak dan tak secanggih digitalisasi perpustakaan CSIS di Tanah Abang, atau perpustakaan di depdiknas Sudirman -keduanya di Jakarta, yang katanya sudah bagus karena dikelola oleh individu-individu yang mencintai buku (pernah diulas dalam suplemen bulanan 'ruang baca' koran Tempo sebulan yang lalu). Tentang mutu buku, tentu saja relatif, dan itu artinya debatable.

Saya bisa saja bilang Da Vinci Code itu bagus, tapi buat orang lain itu bisa saja ditepis sebagai bidah atau tak bermutu. Tapi perasaan ingin tahu kebijakan perpustakaan milik negara menghadirkan buku-buku sangat ingin saya tanyakan. Sewot. Tapi urung. Saya tak jadi bertanya soal itu ke seorang staf yang menjaga.

Koleksi-koleksi lama saya pikir penting juga. Saya ketemu buku bagus, Small is Beautiful karya E. F. Schumacher cetakan pertama atau sejarah pemerintahan daerah sejak kemerdekaan. Berpindah ke sayap ruang yang lain saya menuju ke rak sastra. Hanya ada satu rak, beberapa dari genre buku yang tak sama campur disana.

Saya ketemu buku lama yang juga bagus. Judulnya mempertimbangkan tradisi. Penulisnya WS. Rendra. Saya membaca pengantarnya. Penting, karena ide-ide lama yang bernas itu masih kontekstual hingga sekarang. Melipat ruang waktu, melampaui jaman dan umur penulisnya. Disudut ruang yang lain ada koran, majalah, buletin, dan terbitan berkala lain dari segala macam penerbit.

Tapi sayang, beberapa tak update, dan tak ada ada koran Tempo. Beberapa hari sebelumnya saya sempat mengunjungi sebuah agensi yang buat banyak orang representatif. "Koran tempo te ada di Palu", katanya, "ooo...". disini yang saya tahu hanya ada Kompas, Media Indonesia, Republika, Surya, Fajar, dari kota lain, dan koran-koran lokal. Sebagian itu bisa dibaca diperpusda.

Sebelum saya beranjak keluar untuk pulang, saya bertemu lagi dengannya. Sebuah buku. Judulnya Soeharto dan Anak-anak. Lalu, saya harus pulang. Quote dipintu depan itu seolah menghardik saya untuk pamitan.

Foto: NeMu (Gerbang Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah)

Wednesday, June 6, 2007

PLN


Negara, lewat agen-agen birokrasinya, sesekali suka bolos dikota ini. Kira-kira sejak jam 18.00 sampai 22.00 (12/12/06) listrik padam. Tidak disemua rumah-rumah dikota ini, mungkin. Beberapa orang mengiyakan. Dan biasanya memang selalu begitu. Sebelumnya (08/12/06) juga sama. Listrik dipadamkan. Ada kisaran 4 hari untuk urusan ini negara hadir dan lalu bolos lagi. Seperti ketika kota-kota besar lainnya yang pasokan listriknya suka ngadat karena berbagai alasan. Rusak pembangkit, atau pasokan minyak dari Pertamina -juga agen negara ini, telat datang. Ngelesnya kadang "technical erorr" Lalu ada pembagian serupa jatah untuk wilayah tertentu yang harus dimenangkan dan yang lainnya dibuat sebaliknya. "katanya pltd-nya rusak" seseorang lain menambahkan. Lalu, "dulu ada bantuan asing untuk mesin pembangkit tenaga air. Mau ditaruh disalah satu danau, warga sekitar danau diadvokasi untuk menolak. Bantuan mesin pindah ke tetangga di selatan."

"?"

Bolos, dan itu artinya warga harus punya bujet lebih untuk menyediakan lilin yang mudah-mudahan tidak dikelola negara menjadi bumn baru, menjadi, misalnya, perusahaan lilin negara. Juga harus saving dimasa depan untuk keperluan servis barang elektronik rumahan yang, konon, bakal rusak dikemudian hari karena sedang on dan lalu off mendadak gara-gara listrik mati. Lifetime elektronik di remisi negara yang sesekali bolos ini. Saya tidak tahu dengan yang sekelas pabrik atau kantor yang lembur, bagaimana kalkulasi ruginya waktu lampu mati dan mesin mati, komputer, printer, mati.

Karena bolos artinya kurang lebih tidak hadir tanpa konfirmasi, atau hadir lalu pergi diam-diam, seorang penjaga warnet yang saya tanya waktu online setelah listrik hidup bilang, "te ada pemberitahuan"


Saya jadi ingat jaman sekolahan. Kalau murid bolos lebih dari ketentuan sekolah, konsekuensinya sang murid dikeluarkan atau tidak naik kelas saat rapor dibagikan. Terus, bagaimana kalau negara yang bolos?


Good newsnya mungkin tidak akan lama lagi, kabarnya Januari, kata seseorang, sebuah pembangkit listrik akan segera diresmikan. Oleh RI 1. "Hmmm..."


Lainnya, saya bisa enreyen dvd player yang baru saya beli sesaat sebelum listrik mati dan memutar cakram dvd bajakan konser U2 di Boston. Sepenggal lirik Bob Marley dinyanyikan lantang Bono dikonser itu, "get up stand up, stand up for your rights, get up stand up, dont give up the fights." Saya membayangkan sesuatu. Didalam sebuah kelas dan seluruh murid beraksi. Gara-garanya gurunya yang suka bolos. Hmmm...

Foto: NeMu (Balai Desa Biromaru)

Postingan Sebelumnya..